Friday, May 26, 2017

Setan Jawa

Dengan senang hati gue akan bercerita soal kesempatan menonton Film Setan Jawa karya-nya Mas Garin Nugroho beberapa waktu lalu dalam rangka ARTJOG di Sanatorium Sanata Dharma, Yogyakarta. Ini salah satu dari keuntungan dari sekian banyak hal, kerja di media. Yeah.

Tidak berlama-lama, Flm Setan Jawa karya Mas Garin ini merupakan perayaan 35 tahun belio berkarya. Bukan cuma film, 35 tahun eksistensi Garin juga menghasilkan sebuah buku soal sinema Indonesia, berjudul “Krisis dan Paradoks Film Indonesia (1910-2013)” dan instlasi seni di ARTJOG dengan judul Air Mata Dali.

Ngomong-ngomong soal Setan Jawa, gue sangat kagum.

 (sumber: google.com)

Terimakasih Mas Garin, telah memberikan pengalaman menyaksikan sinema yang luar biasa buat saya. Ini baru pertama kalinya gue nonton film hitam putih, dengan music gambelan secara live. Film bisu tanpa dialog, namun dikuatkan dengan nyanyian sinden yang menurut gue luar biasa. Lagi-lagi, terimakasih Mas Garin. Pantes tiket nonton film ini sangat mahal, karena yang kita tonton bukan film biasa, tapi karya seni yang luar biasa.

Cerita sedikit soal Setan Jawa, film ini mengisahkan tragedi cinta dan kemanusian, dengan latar waktu abad ke 20. Era kolonial ini ditandai dengan lahirnya era industri yang menyisakan kemiskinan. Seiring dengan meluasnya kemiskinan, maka bertumbuh subur pula cara-cara mistik untuk meraih kekayaan, termasuk pesugihan kandang bubrah.

Artis sekaligus penari yang bermain begitu apik di Setan Jawa adalah Asmara Abigail. Perempuan kelahiran 1992, ini mampu memberi nyawa peran Asih, tokoh utama Setan Jawa. Suksesnya Setan Jawa tentu saja tidak terlepas dari pemain music gambelan, yang di komposeri oleh Rahayu Supanggah dan suara merdu penembang, salah satunya Peni Candra Rini.

(sumber: google.com)

Dari judulnya, mungkin kebanyakan orang menyangka ini adalah film horror atau sesuatu hal yang begitu mistis. Menurut gue iya, tapi tidak itu titik beratnya. Gue melihat Setan Jawa adalah sebuah film perjuangan perempuan. Betapa tangguhnya seorang perempuan hidup dalam tradisi sekaligus berjuang untuk orang yang ia cintai. Yang terkadang itu justru menyakiti dirinya.

Walaupun tidak ada dialog sama sekali, tidak ada naskah dalam film ini, Mas Garin menggambarkan secara jelas melalui gerak, olah tubuh, dan mimik. Ditambah cerita film dibagi dalam beberapa babak dengan sub judul.

Untuk kebutuhan program tv, gue mewawancarai Garin Nugroho, sutradara sekaligus penulis naskah Setan Jawa, serta Asmara Abigail yang berperan sebagai Asih dalam film ini. Karena Mas Garin sangat sibuk, gue cuma punya waktu sedikit untuk wawancara. Nah berikut kutipan singkatnya.


Garin Nugroho (Sutradara Film Setan Jawa)

(foto oleh: Dedi Hutasoit)

Mengapa tercetus sebuah ide untuk memproduksi film Setan Jawa, sebuah film bisu dengan latar hitam putih?
Pertama adalah mistisisme, hal-hal mistis itu adalah bagian dari hidup bangsa ini yang luar biasa. Mau dari sosial, ekonomi, politik, kalo ngga ada mistis ngga ada dukun-dukunnya itu bukan bangsa ini. Dan itu tidak ada diberbagai tempat ya. Dalam kesenian mistisme itu paling kaya, dimana pun itu, itu satu.

Kemudian hitam putih dan film bisu. Sebetulnya film bisu adalah kultur film terbesar dan terindah menurut saya. Dan sebetulnya wayang kulit itu juga film bisu, karena warna hitam putih diiringi gambelan, persis dengan Setan Jawa. Ada film hitam putih, diiringi gambelan, jadi sama kulturnya. Jadi Setan Jawa apa yang disebut dengan kerja budaya, menggabungkan unsur-unsur terpenting dari mulai film bisu sebagai seni tertinggi kemudian gambelan sebagai seni tertinggi, tari juga, bahkan sastra.

Ada misi khusus dalam film ini?
Misi khususnya untuk melihat kembali, dengan dunia virtual sekarang justru menjadi kembali ke masa lampau sebagai sumber penciptaan itu justru menjadi sangat penting. Dan itu akan banyak memberi ilham bagi bangsa ini. Bagi sejarah politik, ekonomi, seni dan sebagainya.

Proses pembuatannya sendiri, memakan waktu berapa lama?
Ya kalo proses cukup panjang ya, sekitar 2 tahun, walaupun syuting hanya 6 hari. Ini proses kerja dengan musik, dengan Mas Pranggah satu setengah tahun dan sebagainya, lalu ada workshop-workshop, workshop memanggil setan. Haha

Pemutaran Setan Jawa lebih banyak di luar negeri, dibanding negeri asalnya Indonesia yang super mistis ini. Kenapa?
Penyelenggaraannya mahal untuk karya semacam ini. Maka kita akan pentas di Amsterdam, Singapore, dan London. Dan saya harapkan setiap orang yang melihat karya ini di negeri ini menjadi jatuh cinta, jika ada kesempatan lihat saja baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Kesulitannya dalam produksi film ini?
Tantangannya menggabungkan kebudayaan unsur-unsur yang beragam, ada unsur tari, acting, vokal, sastra dan musik itu.

Asmara Abigail (Pemeran Asih, dalam Film Setan Jawa)

(screen capture video wawancara)

Bagaimana peran seoarang Asih dalam film ini?
Asih itu sebagai sosok wanita, lemah keliatannya tapi dia juga yang menyelesaikan masalah suaminya. Ini fenomena biasa dalam rumah tangga, apalagi perempuan jawa, dimana menurut kepada suami, mengabdi kepada suami, dimana kesalahan suami kita juga yang menanggung. Jadi menurut saya, dalam kelemahan perempuan itulah sumber kekuatannya.

Kesulitan memerankan tokoh, tanpa dialog hanya dengan gerakan tari, apa saja?
Kebetulan ini film pertama saya, jadi saya tidak bisa membandingkan film dengan script dengan film bisu. Kebetulan dalam film ini saat pengadegan kita menggunakan lagu, menurut saya itu sangat membantu emosi, jadi segala macam gerakan  dan emosi itu mengalir begitu saja dengan lagu. Kesulitannya, karena ini improvisasi jadi kita harus bisa membaca gerakan lawan main itu seperti apa.

Proses pembuatan film, semistis yang terlihat ngga sih?
Engga, dan saya yakin alam persetanan ada disisi kita, syutingnya fun banget, nyaman banget, dan jauh dari kesan horror ya.

Ada yang lucu menurut saya dari pemutaran dan diskusi film ini. Beberapa pertanyaan dari wartawan dijawab seperti tidak serius oleh Mas Garin, padahal itu serius. Beliao mampu membuat penonton menertawakan hal yang sacral seperti agama tanpa merusak esensi agama itu sendiri. Misalnya, “Saya membuat film mistis karena, itu bebas. Hal-hal yang berbau mistis dan persetanan itu penuh dengan kebebasan, tidak seperti agama”. “terimakasih kepada setan-setan yang turut menyukseskan film ini,….” Ungkapan seperti itu simbolis menurut gue. Sesuatu yang kaku, tapi bisa jadi guyonan.

Jangan terlalu serius gitu ah.

(foto tidak serius)


Sukses 35 tahun berkarya, dan semoga karyane tetep istimewa ya Mas Garin.

Tuesday, May 9, 2017

Turah: Akhir Sang Pemberontak


Warga Kampung Tirang hidup dengan menjadi buruh ‘sang tuan tanah’ tanpa upah yang jelas. Mereka seakan ‘menghamba’, menerima pemberian berkedok belas kasihan.

Kampung Tirang tidak mendapat aliran listrik dari pemerintah setempat. Terisolir, padahal jarak tidak terlalu jauh dari pusat kota. Air bersih apalagi, rumah warganya malah jauh dari kata layak.

Terletak di pinggir pantai, pemandangan bayi mati lalu mengapung menjadi lumrah. ‘Upaya warga?’ bahkan polisi yang sering wara-wiri, tidak mampu memecahkan kasus. Mungkin bukan tidak mampu, tapi tidak mau.

Warga kampung bahkan sudah nyaman dengan rasa takut dan pesimisme. Hingga kemudian muncul sang pemberontak, Jadag. Ia menjadi provokator, agar warga melawan, melepas bayang-bayang Darso, sang tuan tanah dan ajudannya yang licik, Pakel.

Ini yang dimunculkan Wicaksono Wisnu Legowo, dalam film-nya Turah.


(sumber: google.com)

Tadinya gue sangsi, bener ngga sih ada lokasi yang seperti ini. Eh pas liat credit title, ternyata bener. Baca berbagai referensi dan latar belakang sutradara buat film ini, ternyata memang benar-benar ada. Percuma 72 tahun, Indonesia merdeka.

Kampung Tirang berlokasi nyata di pesisir pantai utara, dekat Pelabuhan Tegalsari Kota Tegal. Sebuah perkampungan yang berdiri di atas tanah timbul. Di kelilingi air laut, kampung ini termasuk wilayah kategori miskin serta terpencil. Listrik menyala hanya pada malam hari dan tidak ada air bersih.

Kondisi ini yang membuat Mas Wisnu tertarik mengangkat cerita soal Kampung Tirang, dengan memunculkan tokoh penghidup cerita, yang dibumbui konflik. Film ini diproduseri langsung oleh Ifa Isfansyah.

Film ini dibuka dan ditutup dengan kematian. Mas Wisnu memperlihatkan suasana kelabu pada keseluruhan film.

Diawal film juga dibuka dengan sensus penduduk, yang mendata warga karena akan diadakan pemilu. Lucunya, diterangkan selalu ada pendataan menjelang pemilu. Tapi toh setelah nyoblos, ngga ada perubahan.

Turah (Ubaidillah) adalah seorang yang diberi tanggung jawab oleh sang tuan tanah untuk menjaga keamanan kampung. Lakonnya rajin dan santun, ditambah seorang istri yang begitu pengertian. Namun gue justru tertarik dengan karakter Jadag (Slamet Ambari). Bapak tua dengan hobi judi, yang akhirnya buka suara. Meneriaki ketidakadilan, melakukan provokator, agar warga kampung melawan. Termasuk Turah. Jadag-lah yang menurut gue menghidupkan cerita Turah. Jadag diperlihatkan begitu emosial, dengan kata-kata yang vulgar.

Istri Turah, Kanti (Narti Diono) bahkan belum mau memiliki anak karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Dia takut anaknya nanti tidak bisa hidup dengan layak.

Naskah cerita, dialog, semua begitu apik. Sangat keren. Pake Bahasa dan dialek tegal yang menurut gue sangat natural. Udahlah Bahasa daerah ngga usah jadi bahan olok-olokan. Ini kan kekayaan budaya.

Pemainnya lebih keren lagi. Kesemua pemain adalah anggota teater dan penduduk lokal, dimana film ini dibuat. Akting nya bahkan lebih keren dari aktor nasional.

Gue jatuh cinta sama set nya, ceritanya, pengambilan gambar dan semua komponen. Film non komersial kayak gini menurut gue selalu menawarkan cerita yang beda, antimeanstream, ngga ikut-ikutan selera pasar. Dia selalu menemukan penonton setia. Menurut gue peradaban bangsa itu tercermin dari film-filmnya yang kayak gini. Indonesia butuh lebih banyak sutradara kayak Eddie Cahyono yang buat Siti, Mas BW sama Ziarah atau mas Wisnu sama Turah. Ya kita hidup dengan realita, dengan konflik-konflik sederhana, tapi itu justru yang luput.

Film yang bagus menurut gue adalah film yang melahirkan banyak pertanyaan soal isi film setelah kita nonton. Dan ini ada di Turah. Kenapa bayi mati menjadi lumrah, kenapa film harus dibuka dengan kematian dan ending juga sama, kenapa harus ada scene yang memunculkan roji (anak jadag) pas bapaknya ditemukan tewas digantung, padahal dalam keseluruhan film ngga ada sama sekali dialog antara Roji Jadag, kenapa Turah memilih melarikan diri ketimbang mengungkapkan kematian Jadag, kenapa harus ada seorang nenek sakit yang ngga mau ninggalin desa, kenapa cucu si nenek itu pinter gambar, kenapa seorang sarjana yang justru begitu licik membodohi warga kampung, ini kan cukup simbolik ya. Seakan-akan pesannya buat pemerintah yang ternyata orang-orang pinter yang jadi wakil rakyat toh kepentingannya bukan memakmurkan rakyat. Ah ada banyak sekali. Sayang gue dateng ngga pas diskusi film ini.

Bahkan film ini diakhiri dengan, ‘lah kok udah’. Ngga ada klimaksnya. What a great film, dengan plot dan cerita yang sederhana.

Gue butuh banyak film yang kayak gini, sebagai bahan perenungan. Ditunggu Mas Wisnu karyanya yang luar biasa lagi. 9/10 untuk Turah yang udah mampu keliling dunia.

Sorry gue menyelipkan isu politik di review film Turah ini. Moment nya pas ketika Ahok, Gubernur Jakarta divonis bersalah dan dengan tuntutan penjara 2 tahun. Ahok terbukti menistakan agama, dan membuat kegaduhan umat. Gue sedih, sesedih-sesedihnya dibanding diputuskan pacar.

Relevansi dengan film Turah adalah cerita yang hampir mirip. Kenapa?

Jadag dibunuh, lalu digantung oleh orang yang tidak dikenal. Ya, secara tersirat itu rencana si tuan tanah. Jadag berani melawan sang tuan tanah, dan membeberkan kelicikan Pakel sang ajudan. Jadag juga bukan pria baik, tapi dia berani. Dia ngga mau warga desa terus dalam kemiskinan.

Inilah yang terjadi di Jakarta. Gubernur yang begitu berani ini, akhirnya dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya pake isu agama. Kalo Jadag digantung, Ahok dijebloskan dalam penjara. Drama hukum Indonesia yang begitu dekat dengan kepentingan. Dimana keputusan tergantung pada jumlah massa. Mending putusan Hakim yang katanya terhormat pake polling sms aja.

Ah sudahlah. Sedihnya memang keterlaluan, tapi hidup tetap harus dilanjutkan. Semoga ada kabar baik, yang buat kami (gue) tidak pesimis jadi warga Indonesia.


Kalo turah sampe tembus ke layar bioskop, Lo harus nonton!


Sunday, May 7, 2017

Perlawanan Kartini

(Sumber: google.com)

Apakah kebebasan gue nulis sekarang, karena Kartini? Mungkin.
Atau sebagai wanita punya kesempatan bersekolah tinggi dan bekerja, juga gara-gara Kartini? Mungkin.

Semua kemungkinan tentu aja ada, tapi yang jelas walau ngga secara langsung, melalui pelajaran sejarah, kisah Kartini melekat pada diri kita masing-masing, khususnya perempuan. Ya, walaupun taunya cuma ‘Siapa Kartini’? Tokoh emansipasi wanita. ‘Dari mana?’ dari Jepara. ‘Tanggal berapa diperingati Hari Kartini?’ 21 April. Eh Sorry, atau gue doang yang taunya itu, tadinya.

Inilah kenapa Mas Hanung berinisiatif membuat film Kartini. Ya agar, Warga Indonesia yang katanya bangsa yang besar ini ndak lupa perjuangan pahlawannya. Apalagi pahlawan wanita. Ya toh?

Mungkin udah sekitar seminggu yang lalu gue nonton Film Kartini, dan baru berniat nulis sekarang. Bukan karena filmnya ngga bagus, makanya niatnya agak susah, bukan. Tapi karena motivasi setelah nonton film itu cuma bertahan beberapa menit. Tadinya pengen ini, pengen itu, mana tau bisa menyaingi Raden Ajeng Kartini. Eh ternyata engga. Males tetep jadi musuh terbesar, disamping waktu libur kerja yang makin tipis. Ternyata susah juga ya jadi Kartini. Lah opo toh.

Gini, gini,gini, gue mau cerita sedikit tentang film Kartini-nya Mas Hanung. Yang udah nonton silakan di flashback, yang belum nonton ini bukan spoiler loh ya.

Jadi dalam film ini diceritakan bagaimana Kartini (Dian Sastro) tumbuh di lingkungan bangsawan. Menjadi anak seorang bupati Jepara (Deddy Sutomo), dan ibu Kartini, Ngasirah (Christine Hakim) yang harus rela berpisah tempat tinggal dengan Kartini, hanya karena bukan keturunan ningrat.

Kartini mulai bersemangat hidup dalam lingkungan keraton dikarenakan sang kakak (Reza Rahardian) yang menghadianya buku-buku. Dari sanalah mimpi demi mimpi Kartini muncul. Ingin menjadi wanita cerdas, dan mengangkat derajat wanita. Terutama dalam hal pendidikan.

Yang membuat cerita ini semakin seru adalah kehadiran dua adik Kartini, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita). Ya setidaknya film drama-perjuangan selama dua jam ini, ada lucunya, sedikit.

Ada banyak sekali artis hebat Indonesia yang juga main disini. Ada Djenar Maesa Ayu, Nova Eliza, Adinia Wirasti, Dwi Sasono, Deny Sumargo, Rianti Cartwright dan masih banyak lagi.

Okay, sebagai penikmat film, gue sangat mendukung sineas Indonesia membuat karya soal tokoh-tokoh berpengaruh. Disamping mereka sendiri belajar mengenal tokoh itu, dan hanyut dalam perjalanan hidup tokoh itu, sama seperti ketika gue liputan beberapa tokoh seniman, dan tentu saja penonton juga jadi menggali ingatan soal sejarah. Soal perjuangan yang betapa sangat tidak mudah untuk sampai ke titik ini.

Cuma menurut gue, film ini menjadi tidak fokus karena terlalu luas memperlihatkan soal perjalanan hidup tokoh. Gue sama sekali tidak meragukan visual film Kartini. Bagus banget. Cerita juga cukup bagus. Hanya aja, sebagai penonton gue kurang puas. Boleh dong ya.

Gue hanya merasa perlawanan Kartini dalam film ini lebih kepada budaya. Kepada tradisi yang terjadi di dalam lingkungan keraton, atau kebangsawanan itu sendiri. Ya walaupun ia akhirnya juga harus menyerah dengan mau menjadi istri ketiga seorang bupati Rembang. Alasannya pun mulia.

Gue tidak benar-benar melihat sosok emansipasi wanita yang membuat penonton geger dengan tulisan-tulisannya Kartini. Bukankah di usia yang baru 19 tahun, Kartini berhasil melahirkan sebuah tulisan yang dimuat dalam jurnal di negeri Belanda. Mengapa kita tidak diajak menyelami tulisan itu. Mengapa kita tidak diajak mengenal Kartini melalui tulisannya, yang bahkan orang luar mengakui kalau beliau begitu berbakat.

Atau saat Kartini mengirimi Stela surat. Surat demi surat yang akhirnya kumpulan surat itu akhirnya terbit dalam sebuah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Atau mungkin kenapa seorang wanita jawa, kok ya bisa memiliki pemikiran yang begitu maju di jamannya. Tak peduli ia dikekang oleh tradisi.

Yang gue liat Hanung justru lebih memperlihatkan fenomena poligami. Ya dengan ciri khas Hanung lah ya. Bagaimana seorang bangsawan yang secara semena-mena bisa menambah istri lagi dan lagi.

Ditambah kehidupan sebagai wanita bangsawan yang mungkin menurut sebagian besar orang sangat enak, namun justru kontradiksi. Kalo gue kutip dari pernyataan penulis Oka Rusmini, mereka dan juga Kartini mengalami “Kekerasan Kultural” yang mungkin sampai sekarang masih kita rasakan.

Sama seperti film Kartini, Mas Hanung pasti memiliki sebuah gambaran, apa yang ingin dimunculkan dan tidak, dengan pertimbangan tertentu. Begitu pula dengan sejarah, beberapa kisah sejarah mungkin tidak dimunculkan atau bahkan dibuat berbeda, sesuai dengan kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan penguasa saat itu.

Ekspektasi gue adalah munculnya itu dalam Film Kartini. Orang biasanya Mas Hanung itu berani kok. Eh ternyata tidak. Bagaimana pandangan Kartini soal Agama, dengan situasi krisis toleransi seperti yang kita hadapi sekarang. Ini belum pernah diangkat kan. Atau pemikiran Kartini, yang tentu saja ada pada tulisan-tulisannya tentang betapa ‘inginnya’ Kartini mengenal wanita keturuan cina dengan hasrat belajar yang begitu tinggi. Pemikiran-pemikiran itulah yang kami perlukan Mas. Bukankan emansipasi itu lahir dari pemikiran yang seperti itu? Bukan cuma soal kebaya.

Seperti yang kita lihat, peringatan hari Kartini selalu identik dengan kebaya. Muncul lah lomba-lomba mengenakan kebaya, atau sejenisnya. Itu terlalu simbolik. Kartini kan dikenal pemikirannya bukan kebayanya. Itu menurut gue loh ya.

Dan juga, menurut gue film Kartini situasinya terlalu santai. Tidak terlihat seperti kita dalam masa penjajahan Belanda. Emang dulu, kaum bangsawan ngga ngerasain dijajah toh Mas? Jadinya agak kurang greget gitu loh mas. Mungkin kegetiran saat penjajahan, ditambah kekerasan kultural, konflik keluarga, bisa buat cerita Kartini lebih hidup. Maaf Mas, mintanya kebanyakan.

Tapi bagaimana pun, film ini berhak dan harus mendapat pujian. Adegan artis senior Christine Hakim yang begitu mengagumkan. Tak kalah juga, Djenar sebagai ibu tiri yang begitu ditakuti juga menyimpan luka. Betapa tradisi yang diagungkan, dan dirasakan membelit dalam waktu bersamaan.

Plus, art director yang sangat amat bagus. Properti, desain dekorasi, yang mungkin kru art nya sudah bekerja sangat keras. Apik.


Gue tetep kagum kok sama karyane Mas Hanung. Bisa jadi Kartini lebih tidak bagus, kalo orang lain yang garap. Setelah menonton dan menelaah, 7.5/10 buat perlawanan Kartini, dalam film Kartini.