Mungkin
kurang lebih itu pesan yang gue tanggap dari film koh ernest, Susah Sinyal. Seriusan, buat nulis ini sebenarnya malas
minta ampun. Tapi untuk menggenapi trilogi review film koh ernest, gue harus. Lebay.
Nontonnya
udah lama, bahkan sebelum tahun baru. Jadi banyak yang gue lupa nama tokohnya.
Kita buat singkat dan general aja ya.
Singkat
ceritanya itu, Ellen (Adinia Wirasti) seorang pengacara yang ngga punya waktu
banyak bersama anaknya. Sibuk yekan, ngurusin masalah artis cerai. Sampe pada
suatu kesempatan, dia akhirnya bisa berlibur bareng anaknya, Kiara (Aurora
Ribero) ke Sumba. Sumba wujudnya surga, indah banget.
Koh ernest sendiri berperan sebagai
partner sekaligus sahabat satu-satunya Ellen. Yang selalu ada, pas Ellen butuh.
Termasuk nganterin Kiara beli kain di pasar. Dalihnya kan cina jago
nawar.
Susah
sinyal menurut gue tidak sebagus Cek Toko Sebelah. Tidak selucu CTS,
iya. Tapi bukan berarti film ini jelek, engga. Pendekatannya berbeda. Kalo
kemaren CTS ayah dan anak, sekarang ibu dan anak. Koh ernest juga dibantuk mbak mei, istrinya kan buat cerita ini.
Keunikan
koh ernest adalah membuat judul yang
tidak mencakup garis besar film. ‘Susah Sinyal’ hanya sebagian potongan dialog,
bukan generalisasi dari cerita. Ya mungkin karena susah sinyal itu mereka jadi
semakin dekat. Gue ngga tau ini termasuk kekurangan apa engga. Tapi judulnya
menjual. Ditambah promosi koh ernest
yang sampe ada tour stand up kemana-mana, yang harusnya film ini lebih meledak
dibanding CTS ya.Atau koh ernest tau, dari segi cerita ini
ngga bisa melawan CTS jadi dia butuh tour biar penonton makin penasaran. Gue
juga ngga tau.
Beberapa
elemen nampak kosong dan ngga dalam menurut gue. Cerita ibu dan anak kurang
dramatis. Konflik tidak kompleks, terlalu sederhana. Dengan ada sinyal pun bisa
terselesaikan. Tidak ada hubungan yang amat dalam dari Ellen dan Kiara. Atau
actingnya Aurora kebanting sama Adinia, mungkin kali ya. Gue merasa konfliknya
terlalu gampang terselesaikan. Beda pas gue nonton wonder. Ah beda kelas,
sudahlah. Jadi kayak setiap karakter ada motivasi 'kenapa' yang kuat. Ini ngga
ada di Susah Sinyal. Hubungan kedekatan yang kurang, kurang emosional.
Oh
my god. Darius perannya terlalu sedikit. Padahal kan bisa jadi pemanis scene.
Bapak-bapak ini masih aja ganteng udah punya anak banyak. Haha. Gue ingin
Darius bisa lebih nakal sih disini. Dalam artian, peranan ke Ellen lebih
banyak. Bukan cuma soal kerjaan, dan muncul pas di akhir.
Duet
Abdur sama Arie Kriting, pecah sih. Pas. Walau ada beberapa part yang emang garing. Ditambah Ge Pamungkas dan Angie yang hadir
sebagai pasangan norak. Ge ini emang jago acting, btw. Apa aslinya emang
norak ya. haha. Satu lagi duet keren disini, adalah Aci sama Dodit. Pembantu rumah
tangga yang tipe-tipe ngeselin, tapi bikin rame.
Salah
satu yang gue suka lagi adalah, pemilihan musik. Soundtrack dari koh ernest emang selalu jenius. Enak,
terngiang.
Keseluruhan,
koh ernset emang lebih matang di film
ini. Landscape Sumba menawan. Cuma cerita yang kurang lengkap dan kuat.
Apakah kebebasan gue nulis sekarang, karena Kartini?
Mungkin.
Atau sebagai wanita punya kesempatan bersekolah
tinggi dan bekerja, juga gara-gara Kartini? Mungkin.
Semua kemungkinan tentu aja ada, tapi yang jelas
walau ngga secara langsung, melalui pelajaran sejarah, kisah Kartini melekat
pada diri kita masing-masing, khususnya perempuan. Ya, walaupun taunya cuma ‘Siapa
Kartini’? Tokoh emansipasi wanita. ‘Dari mana?’ dari Jepara. ‘Tanggal berapa
diperingati Hari Kartini?’ 21 April. Eh Sorry, atau gue doang yang taunya itu,
tadinya.
Inilah kenapa Mas
Hanung berinisiatif membuat film Kartini. Ya agar, Warga Indonesia yang katanya
bangsa yang besar ini ndak lupa perjuangan pahlawannya. Apalagi pahlawan
wanita. Ya toh?
Mungkin udah sekitar seminggu yang lalu gue nonton
Film Kartini, dan baru berniat nulis sekarang. Bukan karena filmnya ngga bagus,
makanya niatnya agak susah, bukan. Tapi karena motivasi setelah nonton film itu
cuma bertahan beberapa menit. Tadinya pengen ini, pengen itu, mana tau bisa
menyaingi Raden Ajeng Kartini. Eh ternyata engga. Males tetep jadi musuh
terbesar, disamping waktu libur kerja yang makin tipis. Ternyata susah juga ya
jadi Kartini. Lah opo toh.
Gini, gini,gini, gue mau cerita sedikit tentang film Kartini-nya
Mas Hanung. Yang udah nonton silakan
di flashback, yang belum nonton ini
bukan spoiler loh ya.
Jadi dalam film ini diceritakan bagaimana Kartini
(Dian Sastro) tumbuh di lingkungan bangsawan. Menjadi anak seorang bupati
Jepara (Deddy Sutomo), dan ibu Kartini, Ngasirah (Christine Hakim) yang harus
rela berpisah tempat tinggal dengan Kartini, hanya karena bukan keturunan
ningrat.
Kartini mulai bersemangat hidup dalam lingkungan keraton
dikarenakan sang kakak (Reza Rahardian) yang menghadianya buku-buku. Dari
sanalah mimpi demi mimpi Kartini muncul. Ingin menjadi wanita cerdas, dan
mengangkat derajat wanita. Terutama dalam hal pendidikan.
Yang membuat cerita ini semakin seru adalah kehadiran
dua adik Kartini, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita). Ya setidaknya
film drama-perjuangan selama dua jam ini, ada lucunya, sedikit.
Ada banyak sekali artis hebat Indonesia yang juga
main disini. Ada Djenar Maesa Ayu, Nova Eliza, Adinia Wirasti, Dwi Sasono, Deny
Sumargo, Rianti Cartwright dan masih banyak lagi.
Okay, sebagai penikmat film, gue sangat mendukung
sineas Indonesia membuat karya soal tokoh-tokoh berpengaruh. Disamping mereka
sendiri belajar mengenal tokoh itu, dan hanyut dalam perjalanan hidup tokoh
itu, sama seperti ketika gue liputan beberapa tokoh seniman, dan tentu saja
penonton juga jadi menggali ingatan soal sejarah. Soal perjuangan yang betapa
sangat tidak mudah untuk sampai ke titik ini.
Cuma menurut gue, film ini menjadi tidak fokus karena
terlalu luas memperlihatkan soal perjalanan hidup tokoh. Gue sama sekali tidak
meragukan visual film Kartini. Bagus banget. Cerita juga cukup bagus. Hanya aja,
sebagai penonton gue kurang puas. Boleh dong ya.
Gue hanya merasa perlawanan Kartini dalam film ini
lebih kepada budaya. Kepada tradisi yang terjadi di dalam lingkungan keraton,
atau kebangsawanan itu sendiri. Ya walaupun ia akhirnya juga harus menyerah
dengan mau menjadi istri ketiga seorang bupati Rembang. Alasannya pun mulia.
Gue tidak benar-benar melihat sosok emansipasi wanita
yang membuat penonton geger dengan tulisan-tulisannya Kartini. Bukankah di usia
yang baru 19 tahun, Kartini berhasil melahirkan sebuah tulisan yang dimuat
dalam jurnal di negeri Belanda. Mengapa kita tidak diajak menyelami tulisan
itu. Mengapa kita tidak diajak mengenal Kartini melalui tulisannya, yang bahkan
orang luar mengakui kalau beliau begitu berbakat.
Atau saat Kartini mengirimi Stela surat. Surat demi
surat yang akhirnya kumpulan surat itu akhirnya terbit dalam sebuah buku “Habis
Gelap Terbitlah Terang”. Atau mungkin kenapa seorang wanita jawa, kok ya bisa
memiliki pemikiran yang begitu maju di jamannya. Tak peduli ia dikekang oleh
tradisi.
Yang gue liat Hanung justru lebih memperlihatkan
fenomena poligami. Ya dengan ciri khas Hanung lah ya. Bagaimana seorang
bangsawan yang secara semena-mena bisa menambah istri lagi dan lagi.
Ditambah kehidupan sebagai wanita bangsawan yang
mungkin menurut sebagian besar orang sangat enak, namun justru kontradiksi.
Kalo gue kutip dari pernyataan penulis Oka Rusmini, mereka dan juga Kartini
mengalami “Kekerasan Kultural” yang mungkin sampai sekarang masih kita rasakan.
Sama seperti film Kartini, Mas Hanung pasti memiliki sebuah gambaran, apa yang ingin
dimunculkan dan tidak, dengan pertimbangan tertentu. Begitu pula dengan
sejarah, beberapa kisah sejarah mungkin tidak dimunculkan atau bahkan dibuat
berbeda, sesuai dengan kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan penguasa
saat itu.
Ekspektasi gue adalah munculnya itu dalam Film
Kartini. Orang biasanya Mas Hanung
itu berani kok. Eh ternyata tidak. Bagaimana pandangan Kartini soal Agama,
dengan situasi krisis toleransi seperti yang kita hadapi sekarang. Ini belum
pernah diangkat kan. Atau pemikiran Kartini, yang tentu saja ada pada
tulisan-tulisannya tentang betapa ‘inginnya’ Kartini mengenal wanita keturuan
cina dengan hasrat belajar yang begitu tinggi. Pemikiran-pemikiran itulah yang
kami perlukan Mas. Bukankan emansipasi
itu lahir dari pemikiran yang seperti itu? Bukan cuma soal kebaya.
Seperti yang kita lihat, peringatan hari Kartini
selalu identik dengan kebaya. Muncul lah lomba-lomba mengenakan kebaya, atau
sejenisnya. Itu terlalu simbolik. Kartini kan dikenal pemikirannya bukan
kebayanya. Itu menurut gue loh ya.
Dan juga, menurut gue film Kartini situasinya terlalu
santai. Tidak terlihat seperti kita dalam masa penjajahan Belanda. Emang dulu,
kaum bangsawan ngga ngerasain dijajah toh
Mas? Jadinya agak kurang greget gitu loh
mas. Mungkin kegetiran saat penjajahan, ditambah kekerasan kultural,
konflik keluarga, bisa buat cerita Kartini lebih hidup. Maaf Mas, mintanya kebanyakan.
Tapi bagaimana pun, film ini berhak dan harus
mendapat pujian. Adegan artis senior Christine Hakim yang begitu mengagumkan. Tak
kalah juga, Djenar sebagai ibu tiri yang begitu ditakuti juga menyimpan luka. Betapa
tradisi yang diagungkan, dan dirasakan membelit dalam waktu bersamaan.
Plus, art director yang sangat amat bagus. Properti,
desain dekorasi, yang mungkin kru art
nya sudah bekerja sangat keras. Apik.
Gue tetep kagum kok sama karyane Mas Hanung. Bisa jadi Kartini lebih tidak bagus, kalo orang lain
yang garap. Setelah menonton dan menelaah, 7.5/10 buat perlawanan Kartini,
dalam film Kartini.
Oke, hari pertama di tahun baru ini gue buka dengan nonton Film Indonesia. Yes, karena gue cinta Film Indonesia. Udah penasaran sejak lama, karena gue juga nonton film koh Ernest yang pertama kemarin 'Ngenest' gue jadi pengen tau kayak apa sih film keduanya.
and then...
Gue cerita sedikit, siapa aja pemain dan alur cerita Film Cek Toko Sebelah.
(Sumber: google.com)
Mirip seperti Ngenest, Cek Toko Sebelah juga mengangkat cerita soal keturunan etnis tionghoa yang hidup di Indonesia. Jika dalam Ngenest, cerita dan masalah 'fisik' dari keturunan etnis ini menjadi benang merahnya, tidak dalam Cek Toko Sebelah. Di film ini lebih kepada stigma bahwa 'orang cina' emang suka dagang. Seperti itulah kira-kira.
Cerita dimulai dari Koh Afuk (Chew Kin Wah) yang memiliki sebuah toko sembako di Jakarta, udah ngga kuat lagi menjalankan tokonya karena kondisi fisik yang udah tua. Atas pertimbangannya, Koh Afuk mewariskan toko ini kepada sang anak Erwin (Ernest Prakasa). Erwin yang ingin berkarir dibidang lain, sempet galau untuk menerima. Ditambah Nathalie (Gisella Anastasia) yang ngga setuju kalo Erwin harus jagain toko.
Di sisi lain, Yohan (Dion Wiyoko) kakak dari Erwin, yang berprofesi jadi photografer awalnya ngga setuju dengan ide ini. Ia menganggap ayahnya, selalu pilih kasih. Berkat sang istri, Ayu (Adinia Wirasti) ia akhirnya bisa menerima.
Sebenarnya konflik terjadi ketika Erwin harus mencoba membahagiakan hati ayahnya dan setuju untuk jagain toko. Ditambah, masalah lain yang buat Koh Afuk akhirnya menjual toko yang udah dibangun bersama almarhum istrinya.
Penasaran? Elo harus nonton. Wajib.
Okay, setelah menonton keseluruhan film, ada beberapa hal yang menurut gue janggal. Pertama, adalah pemilihan judul film 'Cek Toko Sebelah' ini. Gue kira dengan judul itu, masalah yang dimunculkan adalah saingan antara satu toko dan toko yang lain. Ditambah Koh Afuk dan pemilik toko sebelah (kayaknya namanya Danan, gue lupa) yang beda secara budaya. Seperti saingan pelanggan, harga atau semacamnya. Tapi ini lebih kepada masalah keluarga. Okey, gue rasa judulnya hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan cerita.
Ke dua adalah, gue agak kurang sreg sama adanya Gisel ada film ini. Bukan karna acting-nya, tapi cuma lebih kepada menurut gue Gisel dikenal dengan image cewek ramah yang murah senyum sekarang harus main antagonis. Jadi sok sweet-nya ngga dapet kayak Lala Karmela kemaren koh. Ini cukup subjektif sih, cuma gimana gitu ya. Haha. Beda sama mbak Asti yang emang cocok jadi apa aja.
Satulagi, dari beberapa angle shootclose up yang diambil gue rasa ada yang kurang pas. Misalnya terlalu sering close up pas bagian dodit ngomong. Kenapa ngga dari samping, trus tiba-tiba di akhir kalimat Dodit noleh kesamping, arah kamera. Sepertinya akan jadi lucu. Mengingat Dodit acting-nya yang super absurd.
Tapi, diluar itu semua gue sangat menyarankan elo nonton film ini. Lucu banget. Kocak. Dan humor dan emosi lu bakal diaduk dalam satu waktu yang bersamaan. Misalnya kayak elo yang udah bersiap nangis mungkin, tapi ujungnya bakal ketawa. Bahkan lo mungkin ngga tau, air mata yang keluar itu karna lo nangis atau ketawa yang berlebihan.
Lucunya dimana sih?
Gini, ada banyak banget komik dan youtubers yang main di film ini. Ada Awwe, ada Dodit, Yuda Keling, Lian, Arafah, Adjis Doaibu, Hifdzi, Abdur, dan lo tau? Ada anak Pak Jokowi juga, Kaesang. Unpredictable.
Gue akuin, koh Ernest sangat sangat detail menggarap film ini. Ngga cuma dialog, bahkan baju, poster dan semua macam properti juga mengandung kelucuan. Porsi konflik, drama dan humor juga pas banget.
Bukan bandingin, dulu gue sempet nonton beberapa nonton filmnya Bang Raditya Dika, mulai dari Kambing Jantan, Cinta dalam Kardus, Cinta Brontosaurus, menurut gue dari segi cerita, guyonan, dan konflik, gue rasa koh Ernest lebih berhasil memadukan ini. Film comedy yang sama sekali ngga terasa garing kek kerupuk.
Dan....koh Dion keren banget koh. Ngga cukup lo keliatan keren pas travelling, disini juga lo keliatan sangat keren. Dapet banget feelnya. Aku padamu koh...
Gue sangat amat gembira karena tadi studionya penuh. Gue yakin mereka semua nunggu karya koh Ernest. Dan sama seperti film sebelumnya, koh Ernest selalu menyelipkan behind the scene disela-sela credit title. Sebuah ide menarik, karena orang bakal nonton sampe creditnya bener-bener habis. Gue ngerasin koh, kerja di TV yang namanya mejeng di credit itu bangganya luar biasa. Lebay. hahahha
Oya, lupa nyebutin diawal. Dalam film ini, Ernest bertugas selain menjadi pemeran utama, ia juga jadi penulis naskah sekaligus sutradara. Hebat.
Diluar itu semua, ada pesan-pesan yang nempel di otak gue setelah nonton film ini. Gue jadi rindu, bapak. Rindu keluarga di Bali. Apapun yang kita ingin raih di kota seberang, atau dimana pun, rumah adalah tempat kembali yang paling indah. Paling hangat.
Okeh, 8/10 buat koh Ernest dan tim di film Cek Toko Sebelah ini. Ditunggu karya selanjutnya koh!
Setelah menahan beberapa bulan, akhirnya gue menyerah. Gue ngga bisa melewatkan untuk tidak me-review film Train to Busan. Film ini terlalu bagus jika harus dilewatkan dalam bentuk tulisan dan dibagi kepada semua penonton, ngga melulu mereka yang fanatik sama film Korea.
Oke, gue mulai.
Gue kenal Drama Korea sejak kelas 5 SD, dan mulai benar-benar suka tahun kedua kuliah. Semua waktu luang yang ada, gue habiskan untuk nontonin oppa-oppa ganteng, termasuk tingkah konyol mereka di variety show. Kenapa gue suka Korea? Ini ngga cuma soal wajah cakep hasil oplasan. Tapi memang cerita mereka yang orisinil dan beda sama drama atau series lain. Termasuk sinetron Indonesia. Yeah, sinetron yang bisa tayang seumur hidup sampe season tak terhingga. Tapi Train to Busan, menurut gue, tanpa melebihkan-lebihkan ke-keren-an aksi Gong Yoo, dari segi cerita, visual, pesan dan porsi drama yang tidak berlebihan memang harus menerima pujian. Bahkan, dunia hollywood sana mau memproduksi ulang film ini, tapi tentunya dengan kondisi yang disesuakan. Dengan capaian jumlah penonton hingga 10 juta, di minggu kedua penayangannya jauh diatas Warkop DKI Reborn, elo masih mau gengsi nonton Film Korea?
Train to Busan, sebuah film bergenre action, suspense, thriller yang disutradarai oleh Yeon Sang-Ho juga sekaligus sebagai penulis naskah bersama Park Joo-Suk. Seperti yang udah gue bilang tadi, Train to Busan dibintangi oleh aktor populer Gong-Yoo. Ngga main-main film ini diputar pertama kali di Festival Film Cannes 2016 lalu, serta meraih penghargaan di the 20th Fantasia International Film Festival.
Film ini bercerita tentang seorang anak bernama Soon An (Kim So Ahn) yang ikut bertemu ibunya di Busan. Ayah Soon An - Seok Wok (Gong Yoo) memiliki masalah dengan istrinya yang membuat ia tinggal terpisah. Masalah muncul ketika Gong Yoo dan Soon An yang berada dalam kereta menuju Busan dengan penumpang lain, harus menerima kenyataan bahwa ada seorang penumpang yang telah terjangkit virus aneh dan berbahaya masuk ke dalam kereta. Virus itu yang membuat ia menjadi zombi lalu memangsa penumpang lainnya.
Ada banyak sekali adegan berbahaya, tragis, bahkan dramatis di dalam kereta. Bahkan saking banyaknya gue ngga bisa sebut satu-satu. bagaimana aksi heroik Sang Hwa (Ma Dong Seok) yang harus merelekan dirinya digigit dan terinfeksi demi menyelamatkan penumpang yang lain, sementara sang istri sedang hamil tua. Bagaimana adegan dramatis Young Gook (Choi Woo Sik) yang harus akhirnya juga harus menjadi zombie karena orang yang ia cintai terinfeksi. Dan tentu saja masih banyak lagi.
Gue pernah sesekali nonton film zombie versi barat tapi ngga semenyentuh ini. Apa ya, emosianal penonton bener-bener diaduk dalam setiap adegannya. Alurnya pas menurut gue, diawal kita disuguhkan hiburan dari beberapa candaan anak SMA, hingga di tengah film penononton bahkan tidak dibiarkan bernafas saat mereka menembus lorong demi lorong untuk menyelamatkan orang yang mereka kasihi. Bahkan sampai akhir film pun, saya yakin anda akan dibuat menangis. Walau gue sendiri ngga nangis, karena terlalu gengsi untuk mengeluarkan air mata diantara riuh orang bisokop. Haha.
Film ini menyuratkan kasih sayang ayah kepada anak perempuannya, bagaimana dia harus membayar waktu yang selama ini ia gunakan untuk bekerja. Action, thriller, drama lengkap ada dalam film ini. Inilah berbedaan budaya ketika film digarap. Mungkin jika orang barat membuat film zombie, tidak akan ada kisah dramatis seperti orang timur. Sentuhan-sentuhan keluarga, 'rasa', dan banyak kata yang tidak bisa diungkapkan, ada dalam film ini. Ditambah visual yang begitu ciamik.
Bahkan setelah keluar dari bioskop gue parno kalo-kalo disamping gue ada zombie yang siap gigit. Lebay sih, tapi apa mau dikata. Hahaha. Dan gue searching, dulu keberadaan zombie itu dikatakan pernah ada dibelahan bumi mana gue lupa. Mereka adalah orang mati yang kemudian bangkit lalu menyebarkan virus berbahaya.
Yang kurang dalam film ini cuma satu, kenapa pemeran utama harus mati di akhir. Terlalu sayang...Huft.
Setelah lo nonton film ini, cepat ambil hp dan hubungi keluarga lo lalu katakan, kalo kalian sayang mereka. Ini memang terlalu bodoh. Tapi gue cukup yakin, seberapa banyak waktu yang tidak mereka habiskan untuk elo tapi bekerja, adalah demi lo juga. Ngga sedikit orang tua atau bahkan anak, gengsi berucap sayang.
Oke gue kasi dua jempol untuk Train to Busan, dan rating 9/10. Daebak!
eh kabarnya, akan ada sequel dari fim ini yang akan diperankan oleh Kim Jong Ki. Tapi gue rasa ngga akan sebagus yang pertama. Yoih, tungguin aja.
Pertama, gue mau menyampaikan rasa
bangga gue karena sudah menonton film Indonesia. Yeah!
Tapi hampir sama dengan film Siti,
jumlah penonton A Copy of My Mind pas gue nonton ngga lebih dari 20 orang.
Sangat sedikit.
A Copy of My Mind (kita singkat
ACMM aja biar ngga kepanjangan ngetiknya) adalah film karya salah satu
sutradara terbaik di Indonesia, Mas Joko Anwar. Lah akrab bener manggilnya pake
mas? Eits, gue udah kenalan. Dia
pernah jadi narasumber di program acara gue. Cie gitu.
Nih
Sumber: dokumentasi pribadi
Pertama kali gue nonton film karya
Joko Anwar, judulnya Janji Joni. Dan itu menurut gue film yang keren.Gue suka
banget film yang ceritanya cuma sehari, tapi pesannya dalem. Seperti film Siti
contohnya. Semenjak itu gue terobsesi bikin film yang setting waktunya cuma sehari.Karena terinspirasi dari Janji Joni,
di semester 3 pas matakuliah pengantar broadcast
gue ditugaskan buat film. Film pertama gue. Gue kasi judul, ‘KSATRIA’. Film
pendek tanpa dialog berdurasi 5 menit yang ceritanya cuma, perjalanan sang
cowok buat nepatin janji ketemu sama pacarnya.As simple as that. Kenapa judulnya Ksatria? Yah karena, pertama
nama Joni udah keambil sama Mas Joko.
Haha. Kedua karena menurut gue, Ksatria bukan cuma soal membela yang benar di
medan perang. Tapi Ksatria adalah orang yang mampu menepati janjinya. Selain
nama si Cowo itu di film emang Ksatria.
Sebentar. Kok jadi ngomongin film
gue.
Kita lanjut ke ACMM.
ACMM bercerita tentang Sari (Tara
Basro) seorang pegawai salon yang gemar membeli dvd bajakan. Tapi Sari sering
dapet dvd dengan subtitleyang ngawur.
Suatu ketika, Sari protes ke tukang yang jualan dvd. Nah momennya pas banget
pas Sari komplen ada Alek (Chico Jericho), si penerjemah dvd bajakan.
Sari yang kesal karena protesnya
tidak mendapat ganti rugi, ia lalu pergi dari toko dengan mengambil satu dvd
bajakan tanpa ijin. Tindakan itu diliat oleh Alek yang langsung membuntuti Sari
pergi. Alek kemudian ‘menjebak’ Sari agar mau ikut ke kosannya. Dan Sari mau.
Setelah hari itu, mereka bertemu
lagi. Sepertinya Alek udah suka sama Sari dari pertama pas mereka ketemu. Kalo
bisa dibilang ini kayak FTV versi alusnya, ngga langsung tabrakan jatuh cinta.
Anehnya, aneh banget pas pertemuan kedua mereka yang sepertinya ‘udah saling
jatuh cinta’ melakukan hubungan layaknya suami-istri. ‘baru dua kali ketemu
loh, cepet amat’ pikir gue. Pas adegan kayak gini, gue malah sibuk liatin
ekspresi penonton. Haha. Tapi gue masih heran kenapa lolos sensor ya. Hhmm.
Makin hari, cinta mereka semakin
kuat.
Sari yang bosen sama tempat
kerjanya yang lama nyobain cari tempat kerja baru yang ngga jauh dari salonnya
yang lama. Di salon yang baru, Sari harus training
sekitar 2 minggu baru diperbolehkan handlepelanggan.
Jadi setelah diterima, kerjanya si Sari cuma ngeliatin senior therapist-nya. Karena bosen, Sari ngadu
ke Manajernya biar dia bisa langsung handle
pelanggan.
Gara-gara itu, Sari akhirnya
diutus untuk memberikan perawatan wajah pada seorang narapidana di penjara yang
punya banyak relasi di kalangan atas. Narapidana tersebut dipenjara karena
kasus korupsi, bisa dibilang juga dia makelar korupsi gitu. Yang hubungin
pejabat dengan pengusaha gitulah.
Mas Joko seperti mengangkat kisah
di negeri ini, atau justru ingin menyindir seseorang. Penjara yang menurut
orang-orang termasuk Sari, adalah tempat yang kotor, sempit dan bau ternyata
kenyataannya tidak demikian. Dalam selnapi kasus korupsi yang
dimainkan oleh Maera Panigoro ini, lebih mewah dari
kos-kosan pada umumnya. Ruangannya bersih ber-AC, ada kulkas, dan home theater
yang lengkap koleksi dvd.
Setelah memberi perawatan, Sari diam-diam mengambil
koleksi dvdnya. Adegan menegang ketika, sebelum pulang Sari dipaksa membuka
tasnya untuk diperiksa. Takut-takut kalo ada penyadap yang dibawa Sari.
Sesampainya di kos Alek, Sari mengajak Alek menonton bersama. Tapi ternyata dvd
curian Sari adalah rekaman korupsi para pejabat tinggi dan juga salah satu
calon presiden saat itu. Ketika Sari dan Alek mengetahui hal itu, bahaya mengancam
mereka berdua.
Setelah menonton ACMM, gue serasa
melihat ada yang ingin Joko Anwar sampaikan secara implisit dan eksplisit. Semacam
tragedi masa lalu, dimana apabila seorang merugikan pejabat saat itu akan dihabisi
nyawanya. Atau paparan fakta bahwa koruptor di Indonesia, yang katanya di
penjara ternyata hidupnya lebih enak dari rakyat yang telah menjadi miskin
karena haknya tidak diperhatikan.
Gue tau Joko Anwar memang vokal
kalo ngomongin soal politik di Indonesia. Beberapa kali nonton Mata Najwa yang
ada Mas Joko-nya, sangat-sangat terlihat kalo Mas Joko anti pejabat yang
beruntang janji. Ini juga terlihat dari tweetMas
Joko di Twitter yang ngga hentinya-hentinya mengkritik pemerintah.
Momen proses produksi film ini
juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden tahun 2014, kemaren. Dimana Mas Joko dengan lantang dan tegas
mendukung Jokowi-JK kala itu. Nah yang jadi pertanyaan gue adalah, (1) Apakah film ini dibuat bertepatan dengan
momen pemilihan presiden, dimana Mas Joko terinspirasi dari salah satu calon
presiden yang memiliki ketrkaitan kuat dengan kasus 1998? Atau (2) cerita film ini sudah dibuat lama, hanya
secara kebetulan momen yang pas saat pemilihan presiden? Jawab dong Mas
Joko.
Teka-tekinya udah ya, gue akan
mencoba memberi penilaian terhadap film ACMM.
Visual film ACMM seperti
dokumenter kalo menurut gue, dari warna dan shoot-shoot
yang diambil. Banyak close up bahkan extreme close up. Kamera moving yang mem-follow objek juga banyak. Sesekali gue suka, cuma kalo keseringan
jadi pusing juga. Sepertinya gue paham maksudnya disini, bahwa kita (penonton)
diajak lebih dekat dengan tokoh. Baik Siti ataupun Alek. Karena garis besar
film ini yang menceritakan masyarakat bawah, gambar soal kemiskinan, anak
terlantar, sebagai sisipianatau
transisi juga banyak. Ini gue suka. Inilah Indonesia, mungkin tepatnya Jakarta.Angle pengambilan gambar sangat beragam,
tidak hanya satu atau dua titik. Penonton tidak akan bosan, gue yakin.
Gue juga suka transisi musik.
Mungkin bukan trasisi, tapi perpindahan suasana dari sepi tiba-tiba berpindah
ke tempat rame. Bener-bener membuat penonton terkejut.Nah tapi, apa ini menurut
gue doang ya. Kok kayaknya tempat kosan Alek, adalah rumah yang sama, sama
rumahnya Rio Dewanto yang di Filosofi Kopi. Terasa sangat familier. Iya ngga
si?
Gue puas dengan wardrobe dan makeup yang bisa buat Sari jadi beneran orang pinggiran. Cuman kok
rasa-rasanya, Tara Basro menurut gue kurang ‘greget’ ya. Beda sama Sekar Sari
yang memerankan sosok Siti. Gue masih heran, kok bisa ya dapet Pemeran Utama Wanita terbaik di FFI kemaren. Tapi siapa gue, yang ngga ada tandingannya sama
juri. Kalo Ciko mah ngga usah ditanya. Gue selalu suka dia jadi apapun. Apalagi
kalo karakter cowok keras, maco, suka berantem dan yang pasti pemberontak.
Alek yang ngga punya KTP, seperti
sebuah realitasbahwa masih banyak
rakyat di negeri ini yang ‘seakan’ tidak dianggap. Sebenarnya ada banyak
realita-realita disampaikan dalam film ini, termasuknya usaha dvd bajakan yang
ngga pernah surut.
Kira-kira durasi film ACMM sekitar
2 jam. Cukup panjang. Alurnya juga terlalu lambat. Di awal gue sempet ‘agak’
bosen. Terlalu bertele-tele. Ya walaupun adegan sensual tadi jadi penyemangat.
Loh. Bukan itu maksudnya. Itu cuma bumbu-bumbu dari film ini. Toh yang nonton
dan banyak diputer juga di luar negeri kan? Jadi ya gue paham sih.
Kalo boleh jujur, dengan banyak
respon orang yang suka sama film ini, kok rasa-rasanya gue kurang puas ya.
Padahal yang bikin gue semangat nonton adalah testimoni Goenawan Mohamad, yang
bilang film ini menakjubkan. Tapi kok gue engga ya. Gue kecewa sama Mas Joko. Tapi jangan khawatir Mas, apalah gue yang hanya satu penonton
yang tak puas dari sekian banyak yang memuji film karya Mas Joko.
Ending yang Mas ciptakan, membuat gue setidaknya harus tau kelanjutan dari
kisah Sari. Bagaimana kelanjutan buramnya politik negeri ini yang Mas ingin perlihatkan.
Oya, dari pengambilan gambar di
ACMM gue seakan merasa kalo penonton diajak untuk fokus ke tokoh Sari dan Alek.
Coba lihat, gambar tokoh lain selain pemeran utama diambil hanya beberapa
detik. Sekelebat. Ditambah kadang tidak fokus atau lighting. Kayaknya ingin menciptakan ruang gerak yang sempit untuk
mengenal tokoh lain. Kecuali, Bude ibu kosan Alek.
Pesanyang gue dapet dari film ACMM ini adalah
potret betapa tidak adilnya hidup di Indonesia. Betapa tragisnya ketika rakyat melolong
mendukung mati-matian tokoh yang ia pilih untuk memimpin agar bisa merubah
nasibnya, ternyata ia lah yang merebut kebahagian rakyat bahkan yang turut
andil dalam ‘nasib buruk’ yang menimpa rakyat tersebut. Ternyata ada banyak
permainan politik di dalam negeri yang katanya menjunjung
tinggi Demokrasi Pancasila.
Okey Mas Joko, gue tunggu bagaimana Mas
Joko merepresentasikan politik di negeri ini dalam kelanjutan kisah Sari.
Tapi maaf ya Mas, gue cuma bisa kasi
7/10 buat rating dari ACMM.