Senja,
menjelang malam. Di sebuah gubuk reot, seorang wanita tinggal. Di depan rumah
berdiri sebuah batu nisan, bertuliskan Topan. Diantara hamparan savvana, ia
sendiri. Marlina (Marsha Timothy) namanya.
Seorang
laki-laki kurus masuk. Rambutnya gondrong, sudah tua. Sejak saat itu hidup Marlina
berubah, menjadi penuh amarah. Semua hewan ternaknya diambil paksa oleh sekelompok orang.
Ia pun akan di perkosa, digilir tujuh pria.
Tapi
ini bukan film feminis, jika Marlina hadir tanpa perlawanan. Ia pun memenggal
kepala Markus (Egi Fedly). Tidak berhenti disitu, ia terus berjalan, menuntut
keadilan.
Begitu
kira-kira gambaran film terbaru dari Sutradara Mouly Surya, ‘Marlina Si
Pembunuh dalam empat babak’. Ini film kedua dari Mouly yang gue tonton, setelah
Fiksi. Mouly menurut gue memang fokus pada cerita wanita.
Dari
info yang gue dapet, cerita Marlina dimulai tahun 2014. Ide cerita awalnya dari
Garin Nugroho, yang kemudian dikembangkan Mouly. Setelah persiapan dan
mematangkan cerita, akhirnya film diproduksi sekitar tahun 2016 akhir.
Penonton
sangat dimanjakan oleh indanhnya landscape Sumba. Dari sudut manapun sumba
begitu indah. Ditambah kecerdikan sang DOP mengambil angle shoot dari beberapa
sudut yang begitu cantik. Simbolik dan bernarasi. Shoot yang panjang dan lebar
beberapa kali ditemukan disini.
Cerita
yang ditawarkan Mouly juga begitu segar. Dengan gaya menggunakan babak. Gue sendiri
sangat jarang menonton film dengan treatment
babak. Baru Setan Jawa dan Marlina. Kalo dalam Setan Jawa, fungsi babak
adalah untuk memberi benang merah cerita, karena Setan Jawa sendiri adalah film
bisu. Dan jika di Marlina, gue belum menemukan fungsinya sendiri. Tanpa penekanan
babak pun gue paham cerita. Jika ini hanya soal ‘gaya’ mungkin gue yang tidak
paham betul cerita film dengan babak.
Yang
menarik perhatian gue lagi adalah pemain. Semua pemainnya bagus, tidak perlu
ada yang menyangkal. Tapi sebagai penonton awam, gue tidak melihat orang sumba
sebagai pemain kunci disini. Terlalu banyak orang luar. Ini yang membuat gue
kurang dekat dengan cerita. Menurut gue loh ya. Kalo memang kendalanya adalah
kesulitan mencari pemain lokal, gue maklumi. Toh ngga gampang mendidik aktor
kan. Tapi ketika gue liat suami Novi (Dea Panendra) pun bukan orang lokal, gue
kecewa.
Tapi
diluar itu, Marlina terbungkus rapi dan menakjubkan. Lelucon dalam dialog yang
sederhana, kepolosan, semua mengesankan. Ditambah beberapa selipan kritik,
bagaimana citra polisi di negeri ini. Dan bagaimana Tuhan tetap diburu, bagi
para pendosa. Kecuali Marlina, ia tidak merasa berdosa.
Musiknya.
Musiknya sungguh keren. Musiknya berhasil menjadi sebuah representasi bagaimana
alam berbicara.
Sebagai
sebuah film, Marlina komplit. Pantas jika Marlina sering melanglang buana,
mendapat banyak penghargaan dan apresiasi yang begitu besar.
Tapi
menurut gue, ketika Marlina disebut sosok pahlawan gue menolak.
7.8/10
untuk Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak.