Thursday, November 23, 2017

Marlina Si Pembunuh





Senja, menjelang malam. Di sebuah gubuk reot, seorang wanita tinggal. Di depan rumah berdiri sebuah batu nisan, bertuliskan Topan. Diantara hamparan savvana, ia sendiri. Marlina (Marsha Timothy) namanya.

Seorang laki-laki kurus masuk. Rambutnya gondrong, sudah tua. Sejak saat itu hidup Marlina berubah, menjadi penuh amarah. Semua hewan ternaknya diambil paksa  oleh sekelompok orang. Ia pun akan di perkosa, digilir tujuh pria.

Tapi ini bukan film feminis, jika Marlina hadir tanpa perlawanan. Ia pun memenggal kepala Markus (Egi Fedly). Tidak berhenti disitu, ia terus berjalan, menuntut keadilan.

Begitu kira-kira gambaran film terbaru dari Sutradara Mouly Surya, ‘Marlina Si Pembunuh dalam empat babak’. Ini film kedua dari Mouly yang gue tonton, setelah Fiksi. Mouly menurut gue memang fokus pada cerita wanita.

Dari info yang gue dapet, cerita Marlina dimulai tahun 2014. Ide cerita awalnya dari Garin Nugroho, yang kemudian dikembangkan Mouly. Setelah persiapan dan mematangkan cerita, akhirnya film diproduksi sekitar tahun 2016 akhir.

Penonton sangat dimanjakan oleh indanhnya landscape Sumba. Dari sudut manapun sumba begitu indah. Ditambah kecerdikan sang DOP mengambil angle shoot dari beberapa sudut yang begitu cantik. Simbolik dan bernarasi. Shoot yang panjang dan lebar beberapa kali ditemukan disini.

Cerita yang ditawarkan Mouly juga begitu segar. Dengan gaya menggunakan babak. Gue sendiri sangat jarang menonton film dengan treatment babak. Baru Setan Jawa dan Marlina. Kalo dalam Setan Jawa, fungsi babak adalah untuk memberi benang merah cerita, karena Setan Jawa sendiri adalah film bisu. Dan jika di Marlina, gue belum menemukan fungsinya sendiri. Tanpa penekanan babak pun gue paham cerita. Jika ini hanya soal ‘gaya’ mungkin gue yang tidak paham betul cerita film dengan babak.

Yang menarik perhatian gue lagi adalah pemain. Semua pemainnya bagus, tidak perlu ada yang menyangkal. Tapi sebagai penonton awam, gue tidak melihat orang sumba sebagai pemain kunci disini. Terlalu banyak orang luar. Ini yang membuat gue kurang dekat dengan cerita. Menurut gue loh ya. Kalo memang kendalanya adalah kesulitan mencari pemain lokal, gue maklumi. Toh ngga gampang mendidik aktor kan. Tapi ketika gue liat suami Novi (Dea Panendra) pun bukan orang lokal, gue kecewa.

Tapi diluar itu, Marlina terbungkus rapi dan menakjubkan. Lelucon dalam dialog yang sederhana, kepolosan, semua mengesankan. Ditambah beberapa selipan kritik, bagaimana citra polisi di negeri ini. Dan bagaimana Tuhan tetap diburu, bagi para pendosa. Kecuali Marlina, ia tidak merasa berdosa.

Musiknya. Musiknya sungguh keren. Musiknya berhasil menjadi sebuah representasi bagaimana alam berbicara.

Sebagai sebuah film, Marlina komplit. Pantas jika Marlina sering melanglang buana, mendapat banyak penghargaan dan apresiasi yang begitu besar.

Tapi menurut gue, ketika Marlina disebut sosok pahlawan gue menolak.


7.8/10 untuk Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak.