Tuesday, November 12, 2019

Sebuah Perjalanan Menyusuri Indonesia


Tadinya tulisan ini gue ikut sertakan untuk kompetisi blog di Kementerian Perhubungan Indonesia, karena tulisan yang ngga serius jadilah ngga menang. Haha. Di tulisan ini gue memulainya dengan gimana awal karir di media sampe kepada kesempatan jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia, hingga bisa menikmati segala akses transportasi.

Note : Karena gue ngga menang kompetisi, tulisan yang menyombongkan kinerja kementerian perhubungan gue hapus ya. Bukan apa-apa, selain agar supaya angle-nya berubah, gue pun ngga dibayar untuk promo yekan. Haha

Yap, kita mulai.

November ini, genap empat tahun gue kerja di media. Ada dukanya, tapi lebih banyak sukanya. Kerjaan yang gue impikan dari masa kuliah, bisa jalan-jalan gratesss. Dulu mikirnya gitu doang, eh bener kesampaian.

Semuanya ngga gampang, ngga ujug-ujug lo bisa dapet di program jalan-jalan. Enam bulan pertama, gue studio, pegang program talkshow. Disini gue ditempa, belajar konten, buat naskah, nego narasumber, pokoknya dari proses pra-produksi, produksi sampe ke pasca produksi. Beberapa kali bantuin special program, kayak ulang tahun, konser amal, dan sejenisnya, yang kalo live degdegan mampus.



Inilah serunya kerja di broadcast. Sejauh itu gue masih suka, masih menikmati jadi anak baru.

Baru kemudian gue kena rolling ke program liputan. Tepatnya sih untuk liputan khusus clien ya. Kalo di kantor, nama divisinya media service. Jadi divisi ini yang handle untuk blockingan clien. Bentuknya ada beragam, mulai dari blocking program live sampe ke liputan biasa aja, yang dikenal sama istilah advertorial.

Nah, disini gue mulai dapet kesempatan keluar kantor. Mula-mula di Jakarta dulu, lama-lama bisa liputan ke luar kota. Liputan ke luar kota pertama gue yaitu ke Bali, waktu itu ada event UNICEF kalo ngga salah inget, Mei 2016. Ya, walaupun liputan pulang kampung, tetep gue syukuri. Ini jadi tugas dinas pertama ke luar kota. Dan sampai sekarang masih ngarep ditugaskan ke luar negeri (amin).

Setelah liputan pertama ke luar kota ini, gue dapet kesempatan yang belum tentu semua anak baru bisa dapet. Liputan ke Papua! Wah, sumpah seneng banget waktu itu gue dapet kabar disuruh tugas ke Papua. Disana gue liputan soal pemekaran kabupaten baru, namanya Yalimo. Jadi gue naik pesawat dari Jakarta ke Jayapura, kurang lebih 5 jam. Terus lanjut pake pesawat kecil jenis ATR gituh, dari Jayapura ke Wamena, dengan waktu tempuh sejaman. Ngga berhenti disitu, dari Wamena ke lokasi liputan yaitu Yalimo, gue tempuh darat dengan waktu 7 jam. Capek iya, tapi seneng banget. Gue jadi punya cerita yang ngga akan habis gue bagi nantinya. Waktu itu kondisi jalannya baru 20 persen aspal, sisanya batu kapur dan tanah gitu. Lewatin tengah hutan. Kalo engga salah waktu itu bulan Juli 2016. Sekitar 3 tahun yang lalu. Jalan Trans-Papua belum jadi betul. Belum kayak sekarang, mulus. Kebayang kan gimana susahnya orang sana kalo butuh transportasi.





Gue  di Yalimo kurang lebih 7 hari. Ada banyak moment yang gue dapet, mulai dari acara bakar batu hingga ke pembangunan sekolah, rumah sakit, pasar dan masih banyak lagi. Gue bahkan sempet nyobain pesawat kecil (ngga tau namanya apa), dari distrik satu ke distrik yang lain di Kabupaten Yalimo. Serius, ini dari masing-masing distrik ngebelah gunung dan hutan belantara. Pesawat kecil ini yang bawa bahan makanan, obat-obatan, atau ternak warga yang ingin dijual.





Pesawat itu juga pesawat charteran, yang ngga tentu ada kapan. Kebayang kan gimana orang sana sangat butuh akses. Pelan-pelan, mulai dari jalan, akses kesehatan, pendidikan sampe ke fasilitas umum lain. Beruntung banget gue lahir di Bali, terus hidup di Jakarta. Apa-apa mudah.

Tapi tenang, ini baru cerita awal tugas ke luar kota gue. Yaa, walaupun ngga sebanyak senior-senior di kantor, tapi seenggaknya gue diberi kesempatan, yang orang lain belum tentu dapet. Dan banyak yang ingin berada di posisi ini. Syukuri, nikmati, dan kerjakan tugas. Haha.







Setelah Papua, selama di divisi media service ini gue bisa jalan-jalan ke Padang, Pekanbaru, Tanjung Pinang, Makassar, Medan, dan Semarang. Wow! Judulnya sih liputan, tapi pasti selalu ada sela-sela buat menikmati kota.







Selanjutnya gue geser ke program seni. Belajar hal baru lagi, tanggung jawab lebih besar. Bukan PA kaleng-kaleng lagi. Waktu itu pegang program dokumenter cuy, gimana engga belajar banyak. Terus yang gue angkat adalah senimannya maestro semua. Asli.

Gue berangkat ke Jogja buat liputan Djoko Pekik, Didik Nini Thowok, Sidik Martowidjojo, Eko Nugroho, Butet Kertaradjasa, Heri Dono, dan masih banyak lagi.








Terus ke Solo gue ketemu Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, Sardono Waluyo Kusumo, Entang Wiharso, dan banyak lagih. Duh ileh, senengnya ngga nanggung-nanggung.



Sampe ke Bali, ada Nyoman Erawan, Pak Manggu (idolaku), Ibu Restu sampe ke Alm. Niang Raka Rasmi. Jakarta juga ngga kalah keren.





Gue ketemu Pak Teguh Ostenrik, Bapak Sapardi dan Pak Putu Wijaya, dan masih banyak lagi. Seru!







Ada cerita menarik lagi soal Pak Putu Wijaya (Semoga bapak masih diberi kesehatan hingga sekarang, Amin). Jadi pas kuliah gue dapet tugas buat dokumenter sejarah, dan kita pilih topiknya Bandung Lautan Api. Nah datenglah gue ke bererapa perpustakaan di Bandung kan, sampe ketemu buku Putu Wijaya.


Baca salah dua novelnya, gue langsung jadi fans karbitan Pak Putu. Disitu gue berharap, nanti bisa ketemu Putu Wijaya, buat dokumenter tentang beliau. Dan apa yang terjadi, 3 tahun kemudian gue beneran ketemu dan buat dokumenter biografi beliau. Mukjizat, tentu. Tapi harus dengan usaha dong ya. Semua ngga dateng cuma-cuma.


Dan syukur selanjutnya adalah gue dapet program jalan-jalan yang bahas seni budaya. Akh, gue bisa keliling Indonesia!



Lebay sih lebay. Haha

Tapi serius, gue dapet kesempatan untuk kenal budaya-budaya di Indonesia.

Gue berangkat ke Palembang, melihat tarian tradisional, kuliner khas, sampe ke rumah adat.



Terus gue jalan ke Palu, Kutai, Lasem, Jember, Lampung, Belitung.







Oh Belitung!

Pertama kali menginjakkan kaki ke belitung dan langsung jatuh cinta. Pantainya, sejarah, dan seni budayanya.


Terus gue berkesempatan ke Tanah Sumba. Magis!


Kenal budaya Marapu, sama mama-mama masak di dapur, makan makanan khas Sumba. Plis, iri sama gue plis. Haha. Orang-orang ngeluarin banyak duit untuk datang ke Sumba, dan gue bisa wisata sambil kerja. Eh maap. Kerja sambil wisata. Gimana engga happy.


Dari Sumba gue ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Liat rumah adat Bima, yang masih bertahan sampe sekarang. 



Terus gue ke Tomohon, Manado. Snorkeling di Bunaken. Oh God. Gue snorkeling di taman laut terindah se Indonesia.



Gue ke Banyuwangi, ke Kawah Ijen.


Ke Pare-pare, rumah kecil Eyang Habibie.


Ke Dieng, liat ruwatan rambut gimbal.


Ini sih yang epic, gue ke Samosir. Ke tanah Batak.  Oh God!


Tahun 2019 ini gue diberi kesempatan untuk jalan-jalan ke beberapa daerah di Indonesia. Dari semua perjalanan itu (dan semoga ngga berhenti sampe disini) gue selalu belajar sesuatu. Mengenal orang lokal, melihat tradisi setempat, dan yang paling penting memahami diri sendiri. Bersikap apa dalam situasi bagaimana.

Ya gitu doang sih. Haha

Semoga tulisan ini memotivasi kalian untuk giat bekerja dan mencoba hal-hal baru ya. Gue juga sama.

Selamat tahun baru 2020, semuah!

edit : 4 Januari 2019




Thursday, June 6, 2019

Berkunjung ke Bima, Kota Eksotis di Pulau Sumbawa


Perjalanan Idenesia kali ini membawa saya ke Bima, sebuah kota kecil di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Dari Jakarta, perjalanan ke Bima bisa ditempuh menggunakan pesawat terbang dalam waktu sekitar 5 jam, sudah termasuk waktu untuk transit di Bandara Ngurah Rai Bali.

Sesaat sebelum landing di Bandara M. Salahuddin Bima, sempatkan melihat ke jendela, karena kalian akan disuguhkan pemandangan menawan alam Bima. Ada gunung, bukit, sawah, pantai, lengkap semua.


Tidak jauh dari Bandara Salahuddin Bima, kalian bisa mampir ke Museum Asi Mbojo.


Museum ini dulunya adalah Istana Kesultanan Bima, yang dibangun tahun 1927 hingga 1929. Istana Kesultanan Bima ini beberapa kali mengalami perubahan fungsi, terutama setelah wafatnya Sultan Muhammad Salahuddin.

Baru di tahun 1986 Bupati Bima yang menjabat saat itu, Umar Harun, mengusulkan agar istana digunakan sebagai museum. Di dalam museum terdapat baju adat Bima, baju yang digunakan Sultan Bima. Ada pula alat pertanian, keris, benda pustaka, dan foto bersejarah.






Yang menarik dalam museum ini adalah adanya kamar Bung Karno. Jadi diceritakan di tahun 1950, Bung Karno pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Bima dan menginap di Istana Kesultanan Bima.

Menurut cerita dari bapak yang jaga museum, Bung Karno sendiri dan Sultan M. Salahuddin memiliki kedekatan. Bahkan katanya dulu, Bima termasuk daerah yang hampir menyandang predikat daerah istimewa. Ya karena masalah politik dan lain hal, makanya ngga jadi.








Dengan berkeliling museum, kalian akan melihat bagaimana peradaban masyarakat di Bima. Lengkap dengan silsilah kesultanan Bima dari pertama sampai terakhir, termasuk pula bagaimana asal nama Bima itu sendiri. Jangan takut nanya sama yang jaga ya, si bapak akan dengan senang hati ngasi tau.

Satu lagi yang harus ditaati sebelum masuk museum, yaitu buka alas kaki. Karena museum ini dulunya adalah istana, pengunjung pun patut menjaga kebersihan dan kesucian tempat. Ada beberapa kali kejadian lah yang dialami turis karena masih bandel. Ada baiknya kita percaya.

Setelah museum, lokasi selanjutnya yang harus dikunjungi adalah Uma Lengge. Apa itu?


Nah, Uma Lengge ini dulunya adalah rumah tinggal masyarakat Bima. Namun seiring perkembangan jaman, Uma Lengge ini sekarang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi oleh masyarakat.



Uma sendiri artinya rumah, dan Lengge artinya mengurucut. Jadi bentuk Uma Lengge ini mengerucut dibagian atapnya. Bangunan Uma Lengge ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu lantai pertama (bagian bawah) untuk menerima tamu. Lantai kedua untuk tempat tidur dan dapur. Sedangkan di lantai tiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan.

Sangat perlu untuk diketahui. Uma Lengge yang sekarang berfunsgi sebagai lumbung padi ini melambangkan kecerdasan masyarakat Bima dalam mengelola sumber daya alam, loh. Misalnya padi disimpan jauh dari rumah, agar supaya seandainya rumah mereka terbakar atau terkena bencana, mereka masih bisa menyelamatkan padi sebagai bahan makanan. Selanjutnya dari struktur bangunan. Uma Lengge ini terbuat dari kayu, ada yang beratap alang-alang dan seng. Dibuat sedemikian rupa agar tikus ngga bisa masuk untuk mencuri padi.


Jika beruntung dan sedang ada banyak turis, ada satu tarian yang digunakan untuk menyambut tamu yaitu ‘Tari Wura Bongi Manca’. Penari akan menaburkan beras kuning kepada tamu yang datang sebagai wujud penghormatan dan kemakmuran. Wow!


Waktu itu, disini saya juga mendapat kesempatan untuk melihat proses pembuatan makanan tradisional Bima. Cuma ngga sempet nyobain langsung, karena sibuk grabag-grubug untuk shooting.



Setelah melakukan wisata budaya di Uma Lengge, mari kita melihat wisata alam yang menggoda, yaitu Pantai. Pantai yang saya kunjungi namanya Pantai Lariti. Pantai Lariti ini letaknya di selatan Kabupaten Bima, yaitu di Desa Soro. Kondisi pantai yang masih sepi, membuat kalian bisa sepuasnya menikmati panorama pantai.



Yang terkenal di Pantai Lariti ini adalah hamparan pasir yang membelah laut. Keren ngga tuh? Jadi ada pulau gitu ngga jauh dari pantai. Sayang banget pas saya kesana air lautnya lagi pasang. Jadi ngga bisa lari-lari lucu gitu sambil difoto.

Ohya, jarak dari Kota Bima ke pantai ini lumayan jauh. Butuh waktu sekitar 1,5 jam sih kalo engga salah. Tapi kalian ngga bakal rugi sih. Karena selain pantai yang oke punya, perjalanan menuju pantai pemandangannya ngga kalah indah.




Satu lagi yang ngga bisa dilewatkan kalo ke Bima, beli oleh-oleh Tenun khas Bima. Lokasi yang saya kunjungi itu di Koperasi Nur Sakura, unit usaha milik ibu-ibu rumah tangga gitu. Jadi disini anggota koperasi adalah pengerajin tenun, yang nantinya hasil kain akan dijual. Ada banyak warna dan jenis tenun, cuma yang paling terkenal disini adalah motif zig-zag (bukan ziggi zagga) motif khas Bima.


Harganya terjangkau dan produknya ngga cuma kain doang. Dari kaos, tas sampe dompet juga ada.




Nah, yang unik itu justru si penenun. Ada beberapa penenun yang masih pake ‘rimpu’, kayak kerudung sarung gitu. Dulu sebelum ada jilbab, bu-ibu pakenya rimpu. Tapi karena udah ada hijab, mulai bergeser pemakaian rimpu ini. Tapi beberapa masih ada yang pake kok.



Kalo masih ada waktu, sempatkan melihat sunset yang indah di Pantai Kalaki. sunset disini indah banget.


Cuma sayang, masyarakat di Bima kurang peduli sama lingkungan. Masih banyak banget yang buang sampah sembarang, apalagi sampah plastik. Di beberapa pantai Bima juga udah kotor. Tidak elok.


Gue sendiri melihat langsung gimana warga buang sampat ke laut. Dengan tampang tidak berdosa, warung-warung dipinggir pantai itu buang sampah ke laut. Pas mau ambil hp buat foto, udah ilang tuh ibu-ibu. Sayang banget.

Karena waktu yang tidak banyak, gue ngga bisa mengunjungi tempat wisata Bima yang lain. Masih ada Gunung Tambora yang katanya butuh waktu sekitar 4 jam dari Kota Bima. Gunung Sanghyang, juga. Lain kali kalo ada waktu dan rejeki, pasti akan disinggahi.

Jadi posisi Kota Bima itu pas banget di teluk, di Pulau Sumbawa. Nah itu yang buat Kota Bima kayak dikelilingi pantai, kalian bisa liat gunung dari seberang pantai pula.

(sumber: google.com)

Semua di Bima indah, tak terkecuali langitnya. Super indah.


Sekian cerita gue kali ini, semoga membantu buat yang ingin melakukan perjalanan ke Bima. Yang gue sayangkan dari Bima ini adalah pengelolaan potensi wisata sih. Ada banyak yang bisa jadi tempat wisata, tapingga dimanfaatkan maksimal.  Tata ruang Kota Bima sendiri menurut gue tidak rapi. Mungkin saran ini bisa jadi bahan pertimbangan pemda setempat ya.

Jika kota Bima memiliki tata ruang yang baik, akses wisata yang memadai, dan bersih dari sampah platik, ya pasti akan ada banyak turis yang datang. Dan ini akan menguntungkan untuk masyarakat Bima pada umumnya.

Dah!