Saturday, February 11, 2017

Singa itu Mencari Keluarganya

Sutradara : Garth Davis
Skenario  : Luke Davies, berdasarkan buku karya Saroo Brierley
Pemain     : Dev Patel, Nicole Kidman, Sunny Pawar, Abhishek Bharate, Ronney Mara

Beruntung saya diberi kesempatan untuk menonton Film Lion yang diputar secara gratis di Bioskop XXI Senayan City beberapa pekan lalu oleh Kedubes Australia, dalam Festival Sinema Autralia-Indonesia.

Saya sudah kesemsem pengen nonton Lion, sejak lihat trailer-nya di youtube. Ditambah yang main adalah Dev Patel. Sekali lagi, DEV PATEL. Menurut gue, dia adalah salah satu aktor India yang potensial. Udah sering melanglang buana di Hollywood.

Lion adalah sebuah film yang bercerita tentang kisah nyata seorang anak di India yang hilang, kemudian di adopsi oleh sepasang suami-istri di Australia. Lion berhasil menyambet 6 nominasi Academy Awards, yakni  Film terbaik, Aktris dan Aktor pendukung terbaik, Sinematografi terbaik, dan Skenario adaptasi cerita terbaik. Wow!

Saroo (Sunny Pawar), seorang anak berusia 5 tahun yang harus menghadapi berbagai terpaan penderitaan. Saroo harus kehilangan sang kakak di stasiun, saat ia memaksa untuk ikut bekerja bersama Guddu (Abhishek Bharate). Ibu Saroo hanya seorang pembantu, jadi Guddu bekerja serabutan untuk membantu menghidupi keluarga. Saroo kemudian masuk dalam kereta dan terbawa 1.600 kilometer, menuju Kolkata dari kampung halamannya di Madhya Pradesh. Ini terjadi di sekitar tahun 1986.

Lion sendiri diangkat dari sebuah buku berjudul, A Long Way Home yang ditulis oleh Saroo Brierley berdasarkan pengalaman hidupnya. Saat kehilangan Guddu, Saroo harus merasakan menjadi gelandangan, bagaimana kejamnya waktu malam di India. Bagaimana anak-anak diperbudak, di jual-beli, hingga mendapat kekerasan. Saroo sendiri pernah hamper dijual, oleh seorang laki-laki yang ia kira baik sebelumnya.

Saroo kemudian masuk ke dalam yayasan yatim piatu. Dibanding anak-anak yang lain, Saroo beruntung. Ia kemudian diadopsi oleh sepasang suami istri di Australia. Tak hanya Saroo, orang tua angkat Saroo juga mengadopsi anak laki-laki yang juga orang India.

Saat Saroo tumbuh dewasa, ia pikiran mengenai dari mana ia berasal mulai muncul. Bahkan bayangan mengenai sosok sang kakak, Gaddu seakan begitu nyata. Saroo akhirnya membulatkan niatnya untuk serius mencari tempat ia berasal di India. Dengan bantuan google earth, Saroo menghabiskan waktu selama 6 tahun untuk mencari darimana ia berasal. Ia tidak tahu daerah tempatnya tinggal, tidak bisa berbahasa India, bahkan nama Ibu nya sendiri. Saat ia kecil, ia hanya memanggil Ami, yang artinya Ibu.

Setelah yakin, Saroo memutuskan untuk pergi ke India dan mencari tempat darimana dulu ia berasal. Cerita ini begitu haru. Hampir semua orang yang berada di studio bioskop saya lihat mengusap air mata (terkecuali gue).

Masing-masing kalian pasti bertanya, kenapa diberi judul Lion. Saat melihat trailernya saya juga penasaran, apa hubungan film ini dengan judulnya sendiri. Di akhir film kalian akan tau. Saroo dalam Bahasa India harusnya dibaca Sheruu, namun Saroo kecil mengeja namanya Saro, yang berarti Singa dalam Bahasa India. Kurang lebih begitu. karena sudah menonton semingguan yang lalu, jadi saya sendiri agak lupa.

Lion, sebuah film biografi yang menurut saya tidak membosankan. Lion hadir dari sebuah realita hidup di Indonesia. Dimana banyak terjadi krimininalisasi terhadap anak-anak, perdagangan manusia, penelantaran, yang semua berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Saya sendiri terkagum-kagum dengan sinematografi yang luar biasa dari film ini. Begitu indah, bahkan untuk situasi yang menyedihkan. Pantas jika masuk dalam nominasi Oscar.

Cerita Saroo sendiri tidak dibuat banyak darama, natural apa adanya. Beda halnya dengan di Indonesia yang biasanya bumbu drama pasti jadi pelaris film biografi. Cerita yang runut, dengan para actor yang luar biasa. Selain Dev Patel, Sunny begitu apik memaikan Saroo. Begitu lincah, begitu kuat, begitu menyedihkan. Bahkan, menurut Saroo asli, Saroo kecil atau Sunny Pawar kita telah menjadi seorang bintang cilik yang luar biasa. Dia bahkan telah main film lagi. Ah, semoga kelak dia bisa melebihi Dev Patel. Banyak artis dan aktor India menurut saya hanya jago dikandang.

Oya, dalam film ini juga dibumbui ciri khas film Bollywood, yaitu berdialog sembari bernyanyi. Lucu. Ini yang dinamakan kolaborasi budaya.

Ceritanya begitu lengkap. Tidak ada adegan yang sia-sia, ditambah sinematografi apik. Cuma seorang Dev Patel menurut saya terlalu ganteng untuk berperan dalam film ini. Haha sangat subjektif.

Sebelum lupa, ada yang begitu menempel di ingatan saya setelah menonton film ini. Itu adalah alasan ibu angkat Saroo mengangkat anak. Karena saat di film, Saroo menanyakan ini pada ibunya. Kenapa ia harus mengangkat anak, apa karena dia tidak bisa punya anak. Kurang lebih begini jawaban sang ibu,

Aku sudah memutuskan ini dengan laki-laki yang mencintaiku. Aku menerima dia karena dia menghargai dan menghormati keputusanku. Aku bukannya tidak bisa memiliki, aku bisa, kalau aku mau. Tapi aku tidak akan memberi dunia ini beban yang lebih, dengan menambah jumlah manusia. Aku akan merawat manusia yang justru yang membutuhkan orang tua. Memberikan kalian kesempatan untuk merasakan kasih saying, jauh leboh baik. Dan aku sangat mencintai kalian.

Begitu kurang lebih, cuplikan dialognya. Kalo gue sendiri sih terenyuh. Gimana dengan kalian?


Semasih film ini di bioskop, saya sarankan untuk ditonton. Karena Garth Davis memperlihatkan pada dunia, bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup layak. Film ini juga bekerja sama dengan asosiasi orang hilang di Indonesia. Semacam gerakan social untuk menyelamatkan anak-anak di India. 8.5/10 untuk Lion. Tetaplah Mengaung seperti Singa, Saroo!

 Saat Saroo berada di yayasan yatim piatu


Saroo pertama kali bertemu orang tua angkatnya di Australia 


 Dialog bersama the real Mr. Saroo, jadi kisah nyata ini beneran Nyata.


gue ngga nonton sendiri loh ya, cuma yang di foto maunya satu. *ngeles*

catatan:
gue memfoto cuma sedikit, karena temen sebalah gue ngatain gue kampung. Huft!

So, enjoy Lion guys!

Tuesday, February 7, 2017

Pelarian Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-Kata

Tapi apakah hidupku masih butuh perumpamaan?
Namaku diumumkan di koran-koran, 
rumahku digerebek,
biniku diteror,
dipanggil koramil,
diinterogasi,
diintimidasi.

Anakku 4 tahun melihatnya.
Masihkan kau butuh perumpamaan?
Untuk mengatakan, aku tidak merdeka!



Puisi diatas, saya kutip dari musikalisasi Fajar Merah saat sedang tampil di salah satu TV swasta di Indonesia. Fajar Merah adalah seorang anak dari aktivis bernama Wiji Tukul yang sampai saat ini tidak pernah terdengar gaungnya. 

Saya tidak kenal dengan Wiji, tidak akrab dengan karya-karyanya. Ketertarikan saya terhadap sastra datang terlambat. Tapi tentu itu bukan masalah. Saya pertama kali membaca salah satu puisi Wiji dengan judul "tetangga sebelahku" di line (kalo tidak salah). Tergoda dengan dengan satu puisinya, saya mencoba mencari puisinya yang lain. Termasuk mencari sosok Wiji yang begitu misterius. Saya hanya tahu ia adalah seorang yang hilang dalam pelarian, saat rezim Soeharto. Cukup. Saya tidak mencarinya lagi. Sampai ketika muncul film Istrahatlah Kata-Kata.

Saking penasarannya, saya rela membeli tiket yang jauh lebih mahal dibanding biasanya.


Jika biasanya, film biografi khususnya di Indonesia adalah untuk tokoh terkenal, seperti Habibie, Tjokroaminoto, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Tapi berbeda dengan ini. Yosef Anggi Noen justru mengangkat kisah Wiji Thukul yang bahkan sampai sekarang tidak jelas nasibnya. 

Film ini dibuka dengan adegan di kantor polisi, saat seorang polisi menangih kesaksian dari anak Wiji (Gunawan Maryanto), Fitri. Ia dipaksa memberikan informasi tentang keberadaan Sang Ayah. Fitri masih kecil. Begitu lugu. Cukup menyedihkan, pada usia sekecil itu dia harus merasakan kebejatan rezim yang berkuasa. Fitri tidak sendiri, ada Sipon (Marissa Anita), istri Wiji yang selalu setia menanti kedatangan Wiji Thukul.

Wiji sebelumnya tinggal bersama anaknya dan istrinya di Solo. Ia seorang buruh, pimpinan demonstran, aktivis gerakan kiri dan penyair yang sajaknya ditakuti pemerintah jaman itu. Karena alasan itulah ia menjadi bulan-bulanan, hingga menjadi buronan. Wiji melakukan pelarian ke Pontianak dibantu temannya. Inilah yang paling banyak diceritakan dalam Istirahatlah Kata-Kata, bagaimana pelarian seorang Wiji Tukul.

Jika digambarkan dengan 3 kata, menurut saya Istirahatlah Kata-Kata adalah film yang Sunyi, Simbolik dan Sederhana.

Sunyi.
Banyak sekali gambar yang menjelaskan kesunyin Wiji, keheningan, 'diam'nya Wiji. Seorang pemberontak, harus bersembunyi demi mempertahankan hidupnya. Berpindah-pindah, ketakutan, dan asing. Film ini diantarkan dengan narasi yang berasal dari puisi Wiji Thukul. Mungkin itu salah satu faktor yang membuat film ini semakin sunyi. Puisi Wiji yang kental dengan pembelaan kaum tertindas. Yang betapa ketirnya harus menaruh rasa curiga pada setiap orang yang menatap dirinya. 

Tiap adegannya pun yang saya rasakan, diambil terlalu lama, dengan long shoot sangat sangat gambar dari film ini close up. Saya sendiri geregetan, harusnya durasi mungkin bisa dipangkas dengan shoot adegan yang diambil terlalu lama. Disisi lain, Anggi mungkin ini membuat penonton merasakan apa yang ada di sekeliling Wiji. Merasakan betapa sepinya hidup menjadi seorang pelarian.

Simbolik.
Film ini sarat dengan simbol-simbol. Sepertinya ada alasan atas setiap simbol yang dimunculkan. Misalnya saat Midah (Joned Suryatmoko) meminjam sikat gigi dan odol kepada Sipon, dengan paksaan. Cola-cola, kacang dan sabun yang ada di Motel di Solo. Bulu Tangkis, saat ia melakukan pelarian di Pontianak. Dan mungkin ada banyak lagi, yang saya sendiri sampai lupa.

Bahkan celana 'gemes' merah yang dibelikan Wiji untuk Sipon. Tentu saja ini adalah gambaran hasyrat seks yang begitu luar biasa. Tapi yang saya salut adalah, perlakuan Anggi dalam ini yang mampu mengarahkan penonton kepada hasyrat Wiji tanpa harus memunculkan adegan yang tidak perlu. Sangat sederhana.

Sederhana.
Semua yang terjadi dalam film ini menurut saya begitu sederhana. Begitu nyata dan sepertinya dekat. Bagaimana hidup di masing-masing daerah yang menjadi tempat pelariannya.

Saya sengaja mengulur waktu menulis review film ini. Saya mencari beberapa pembenaran, sekaligus pendukung. "ada ngga si penonton, yang sama ngeliatnya sama kayak gue". 

Dan benar, beberapa artikel berita menulis beberapa ulasan dan kritikan terhadap film ini.

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-38254525

https://tirto.id/istirahatlah-kata-kata-film-penting-belum-tentu-bagus-chKf

kalo kata teman saya, Wiji Thukul disini seperti pengecut. Mungkin ada benarnya. Durasinya menurut saya terlalu panjang untuk cerita yang pendek. Banyak adegan dan dialog yang tidak penting. Adapula tokoh yang hanya melengkapi, bahkan dengan tidak ada dia pun film ini tidak kehilangan maknanya. Sama sekali tidak ada keberanian yang diperlihatkan Wiji, hanya dalam puisi. Cerita yang bagus, tapi pengemasan yang kurang proporsional. 

Tidak jelek, buktinya Istirahatlah Kata-Kata berhasil melang-lang buana hingga ke penjuru dunia. Tapi ya mungkin seharusnya bisa dibuat lebih bagus lagi. Apalagi dengan waktu riset hingga 1,5 tahun.

Saya sendiri, tertegun dengan narasi yang dimunculkan. Membuat saya mengira-ngira, seperti inikah sosok seorang Wiji.

"Rezim ini bangsat, tapi takut dengan kata-kata"

"aku tidak ingin kamu pergi,
aku tidak ingin kamu pulang,
aku ingin kamu ada"

Setidaknya film ini telah, mengusik ingatan kita kembali betapa kejamnya orde baru. Betapa banyaknya suara-suara yang dibungkap, nyawa yang dihilangkan, hanya demi mempertahankan kekuasaan. Dan Wiji Thukul hanya salah satu dari banyak pemberontak yang bernasib naas.

Keren Mas Anggi, atas untaian kata-kata dalam Istirahatlah Kata-Kata. 7.5/10.


Sunday, January 1, 2017

Cek Toko Sebelah, Ketawa dan Emosi Beradu

Happiest new year, everyone!

Oke, hari pertama di tahun baru ini gue buka dengan nonton Film Indonesia. Yes, karena gue cinta Film Indonesia. Udah penasaran sejak lama, karena gue juga nonton film koh  Ernest yang pertama kemarin 'Ngenest' gue jadi pengen tau kayak apa sih film keduanya.

and then...

Gue cerita sedikit, siapa aja pemain dan alur cerita Film Cek Toko Sebelah.


(Sumber: google.com)


Mirip seperti Ngenest, Cek Toko Sebelah juga mengangkat cerita soal keturunan etnis tionghoa yang hidup di Indonesia. Jika dalam Ngenest, cerita dan masalah 'fisik' dari keturunan etnis ini menjadi benang merahnya, tidak dalam Cek Toko Sebelah. Di film ini lebih kepada stigma bahwa 'orang cina' emang suka dagang. Seperti itulah kira-kira. 

Cerita dimulai dari Koh Afuk (Chew Kin Wah) yang memiliki sebuah toko sembako di Jakarta, udah ngga kuat lagi menjalankan tokonya karena kondisi fisik yang udah tua. Atas pertimbangannya, Koh Afuk mewariskan toko ini kepada sang anak Erwin (Ernest Prakasa). Erwin yang ingin berkarir dibidang lain, sempet galau untuk menerima. Ditambah Nathalie (Gisella Anastasia) yang ngga setuju kalo Erwin harus jagain toko.

Di sisi lain, Yohan (Dion Wiyoko) kakak dari Erwin, yang berprofesi jadi photografer awalnya ngga setuju dengan ide ini. Ia menganggap ayahnya, selalu pilih kasih. Berkat sang istri, Ayu (Adinia Wirasti) ia akhirnya bisa menerima.

Sebenarnya konflik terjadi ketika Erwin harus mencoba membahagiakan hati ayahnya dan setuju untuk jagain toko. Ditambah, masalah lain yang buat Koh Afuk akhirnya menjual toko yang udah dibangun bersama almarhum istrinya.

Penasaran? Elo harus nonton. Wajib.

Okay, setelah menonton keseluruhan film, ada beberapa hal yang menurut gue janggal. Pertama, adalah pemilihan judul film 'Cek Toko Sebelah' ini. Gue kira dengan judul itu, masalah yang dimunculkan adalah saingan antara satu toko dan toko yang lain. Ditambah Koh Afuk dan pemilik toko sebelah (kayaknya namanya Danan, gue lupa) yang beda secara budaya. Seperti saingan pelanggan, harga atau semacamnya. Tapi ini lebih kepada masalah keluarga. Okey, gue rasa judulnya hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan cerita.

Ke dua adalah, gue agak kurang sreg sama adanya Gisel ada film ini. Bukan karna acting-nya, tapi cuma lebih kepada menurut gue Gisel dikenal dengan image cewek ramah yang murah senyum sekarang harus main antagonis. Jadi sok sweet-nya ngga dapet kayak Lala Karmela kemaren koh. Ini cukup subjektif sih, cuma gimana gitu ya. Haha. Beda sama mbak Asti yang emang cocok jadi apa aja. 

Satulagi, dari beberapa angle shoot close up yang diambil gue rasa ada yang kurang pas. Misalnya terlalu sering close up pas bagian dodit ngomong. Kenapa ngga dari samping, trus tiba-tiba di akhir kalimat Dodit noleh kesamping, arah kamera. Sepertinya akan jadi lucu. Mengingat Dodit acting-nya yang super absurd.

Tapi, diluar itu semua gue sangat menyarankan elo nonton film ini. Lucu banget. Kocak. Dan humor dan emosi lu bakal diaduk dalam satu waktu yang bersamaan. Misalnya kayak elo yang udah bersiap nangis mungkin, tapi ujungnya bakal ketawa. Bahkan lo mungkin ngga tau, air mata yang keluar itu karna lo nangis atau ketawa yang berlebihan.

Lucunya dimana sih?

Gini, ada banyak banget komik dan youtubers yang main di film ini. Ada Awwe, ada Dodit, Yuda Keling, Lian, Arafah, Adjis Doaibu, Hifdzi, Abdur, dan lo tau? Ada anak Pak Jokowi juga, Kaesang. Unpredictable. 

Gue akuin, koh Ernest sangat sangat detail menggarap film ini. Ngga cuma dialog, bahkan baju, poster dan semua macam properti juga mengandung kelucuan. Porsi konflik, drama dan humor juga pas banget. 

Bukan bandingin, dulu gue sempet nonton beberapa nonton filmnya Bang Raditya Dika, mulai dari Kambing Jantan, Cinta dalam Kardus, Cinta Brontosaurus, menurut gue dari segi cerita, guyonan, dan konflik, gue rasa koh Ernest lebih berhasil memadukan ini. Film comedy yang sama sekali ngga terasa garing kek kerupuk. 

Dan....koh Dion keren banget koh. Ngga cukup lo keliatan keren pas travelling, disini juga lo keliatan sangat keren. Dapet banget feelnya. Aku padamu koh...

Gue sangat amat gembira karena tadi studionya penuh. Gue yakin mereka semua nunggu karya koh Ernest. Dan sama seperti film sebelumnya, koh Ernest selalu menyelipkan behind the scene disela-sela credit title. Sebuah ide menarik, karena orang bakal nonton sampe creditnya bener-bener habis. Gue ngerasin koh, kerja di TV yang namanya mejeng di credit  itu bangganya luar biasa. Lebay. hahahha

Oya, lupa nyebutin diawal. Dalam film ini, Ernest bertugas selain menjadi pemeran utama, ia juga jadi penulis naskah sekaligus sutradara. Hebat.

Diluar itu semua, ada pesan-pesan yang nempel di otak gue setelah nonton film ini. Gue jadi rindu, bapak. Rindu keluarga di Bali. Apapun yang kita ingin raih di kota seberang, atau dimana pun, rumah adalah tempat kembali yang paling indah. Paling hangat. 

Okeh, 8/10 buat koh Ernest dan tim di film Cek Toko Sebelah ini. Ditunggu karya selanjutnya koh!