Jaman SMA, gue pernah ikut
ngumpul di aula nonton film yang dibuat sama temen gue sendiri. Gue inget
banget, ada tiga film yang di puter waktu itu. Kesemuanya adalah film
dokumenter. Asing banget denger kata ‘dokumenter’. Ya gimana, gue bukan
penggiat film waktu itu. Film-film karya temen gue itu akan di lombakan, di
tingkat nasional. Keren kan? Trus gue bayangin, gimana ya rasanya film yang
kita buat di tonton orang banyak dan dapet tepuk tangan.
Wah, bangganya minta ampun.
Tapi besoknya gue lupa, gue
pernah nghayalin itu.
Sekarang, setelah masuk di
jurusan Ilmu Komunikasi, gue banyak belajar tentang produksi program acara,
termasuk film. Dari sinilah gue beberapa kali membuat film, ya..cuma tugas
kampus biasa. Lama-kelamaan gue jadi suka nonton film. Dan lingkungan mendukung
itu. Gue sadar memproduksi film sangat tidak mudah. Dan punya pengalaman buat
beberapa film apalagi hanya tugas kuliah, belum bisa bikin kita disebut film maker. Apalagi pengetahuan film gue
yang sangat amat masih cetek.
Pernah dateng ke salah satu
diskusi film, itupun karna gue diminta tolong hadir soalnya film yang kita
garap menang di salah satu kompetisi film nasional. Waktu itu turut hadir, Mas
Harris, sutradara film Surat Untuk Tuhan. Mas Harris bilang, buat film itu pekerjan
yang paling menyenangkan. Kenapa? Karena di setiap kalian memproduksi film,
kalian belajar banyak hal baru. Misalnya saja, saat produksi film A, kalian
pasti riset, nyari tau, bahkan harus tau banyak tentang apa yang akan kalian
sampaikan pada penonton nantinya. Setelah itu kalian buat film B, di film B
kalian juga menjadi orang baru lagi. Mencari tau dan menjadi tau.
Ini sangat masuk akal.
Saat terlibat langsung dalam
produksi film dokumenter ‘Longser’ gue belajar banyak soal teater tradisional
Sunda yang mulai ditinggalkan. Munculnya pembaharuan, dengan adanya Longser
gaul agar supaya budaya ‘Longser’ tidak hilang di jaman modern. Setelah itu,
gue ikut jadi kru film Opor Operan. Gue belajar tentang budaya Sunda (lagi) yang
dimana saat lebaran menukar makanan. Ini adalah bentuk tradisi tradisional yang
masih ada sampe sekarang. Setiap film yang kalian buat, ada hal baru yang harus
dipelajari. Setiap film yang kalian tonton ada pengetahuan baru yang kalian
dapat. Gue bukan pengamat film, kritikus film, atau wartawan majalah film kayak
temen gue. Gue cuma penikmat film, ya suka film karena memang suka.
Sekarang, khayalan yang pernah
mampir di otak gue jadi nyata. Salah satu film kami (Sebelas Sinema) yang
berjudul ‘Opor Operan’ dan ‘Ojo Sok-sokan’ akan di puter di Blitz BEC di
Bandung. Sebuah kebanggan atas kerja keras tim dan semangat yang terus menyala.
Opor Operan sempat meraih Best Editing dan Best Skenario di ajang BCA Shovia 2015,
beberapa minggu yang lalu. Dan kami memutuskan film ini harus ditonton. Kepuasan
yang terbesar bagi pembuat film bukan saat filmnya mendapat penghargaan, karna itu cuma
bonus, tapi film lo bisa di tonton. Kepuasan yang tak ternilai harganya.
Mengalami proses panjang dari pra
produksi, produksi hingga pasca produksi, kami yang tergabung dalam kru film
masih membawa semangat yang sama. Semangat untuk terus berkarya, dan semoga
film kami dapat menginspirasi.
Opor Operan
Menceritakan tradisi masyarakat Sunda, yang sebelum lebaran saling menukar makanan, Opor. Setting film di daerah Cisarua (ke arah Lembang naik lagi atau bisa lewat Cimahi). Disutradari oleh Mustafa dan skenario dari Ryan Sindu Pradana. Film ini sangat kuat akan nilai budaya masyarakat Sunda.
Ojo Sok-sokan
Masih ngga jauh-jauh dari budaya, Ojo Sok-sokan menceritan bagaimana seharusnya kita bangga menggunakan bahasa daerah. Sepele namun dampaknya besar. Bahasa adalah alat berkomunikasi. Bahasa adalah refleksi diri. Jangan malu berbahasa daerah, cuma karena kalian ingin terlihat keren. Kali ini skenario ditulis oleh Wiwid Septiyardi, dan masih disutradarai oleh Mustafa.
Dan gue? Nonton film penuhnya. Liat di credit gue sebagai apa. Biasakan nonton film sampe credit titlenya abis ya. :))
Datang dan Saksikan!