Friday, November 20, 2015

Gimana Rasanya kalo Film Kita Ditonton?

Jaman SMA, gue pernah ikut ngumpul di aula nonton film yang dibuat sama temen gue sendiri. Gue inget banget, ada tiga film yang di puter waktu itu. Kesemuanya adalah film dokumenter. Asing banget denger kata ‘dokumenter’. Ya gimana, gue bukan penggiat film waktu itu. Film-film karya temen gue itu akan di lombakan, di tingkat nasional. Keren kan? Trus gue bayangin, gimana ya rasanya film yang kita buat di tonton orang banyak dan dapet tepuk tangan.

Wah, bangganya minta ampun.

Tapi besoknya gue lupa, gue pernah nghayalin itu.

Sekarang, setelah masuk di jurusan Ilmu Komunikasi, gue banyak belajar tentang produksi program acara, termasuk film. Dari sinilah gue beberapa kali membuat film, ya..cuma tugas kampus biasa. Lama-kelamaan gue jadi suka nonton film. Dan lingkungan mendukung itu. Gue sadar memproduksi film sangat tidak mudah. Dan punya pengalaman buat beberapa film apalagi hanya tugas kuliah, belum bisa bikin kita disebut film maker. Apalagi pengetahuan film gue yang sangat amat masih cetek.

Pernah dateng ke salah satu diskusi film, itupun karna gue diminta tolong hadir soalnya film yang kita garap menang di salah satu kompetisi film nasional. Waktu itu turut hadir, Mas Harris, sutradara film Surat Untuk Tuhan. Mas Harris bilang, buat film itu pekerjan yang paling menyenangkan. Kenapa? Karena di setiap kalian memproduksi film, kalian belajar banyak hal baru. Misalnya saja, saat produksi film A, kalian pasti riset, nyari tau, bahkan harus tau banyak tentang apa yang akan kalian sampaikan pada penonton nantinya. Setelah itu kalian buat film B, di film B kalian juga menjadi orang baru lagi. Mencari tau dan menjadi tau.

Ini sangat masuk akal.

Saat terlibat langsung dalam produksi film dokumenter ‘Longser’ gue belajar banyak soal teater tradisional Sunda yang mulai ditinggalkan. Munculnya pembaharuan, dengan adanya Longser gaul agar supaya budaya ‘Longser’ tidak hilang di jaman modern. Setelah itu, gue ikut jadi kru film Opor Operan. Gue belajar tentang budaya Sunda (lagi) yang dimana saat lebaran menukar makanan. Ini adalah bentuk tradisi tradisional yang masih ada sampe sekarang. Setiap film yang kalian buat, ada hal baru yang harus dipelajari. Setiap film yang kalian tonton ada pengetahuan baru yang kalian dapat. Gue bukan pengamat film, kritikus film, atau wartawan majalah film kayak temen gue. Gue cuma penikmat film, ya suka film karena memang suka.

Sekarang, khayalan yang pernah mampir di otak gue jadi nyata. Salah satu film kami (Sebelas Sinema) yang berjudul ‘Opor Operan’ dan ‘Ojo Sok-sokan’ akan di puter di Blitz BEC di Bandung. Sebuah kebanggan atas kerja keras tim dan semangat yang terus menyala. Opor Operan sempat meraih Best Editing dan Best Skenario di ajang BCA Shovia 2015, beberapa minggu yang lalu. Dan kami memutuskan film ini harus ditonton. Kepuasan yang terbesar bagi pembuat film bukan saat filmnya mendapat penghargaan, karna itu cuma bonus, tapi film lo bisa di tonton. Kepuasan yang tak ternilai harganya.


Mengalami proses panjang dari pra produksi, produksi hingga pasca produksi, kami yang tergabung dalam kru film masih membawa semangat yang sama. Semangat untuk terus berkarya, dan semoga film kami dapat menginspirasi. 

Opor Operan
Menceritakan tradisi masyarakat Sunda, yang sebelum lebaran saling menukar makanan, Opor. Setting film di daerah Cisarua (ke arah Lembang naik lagi atau bisa lewat Cimahi). Disutradari oleh Mustafa dan skenario dari Ryan Sindu Pradana. Film ini sangat kuat akan nilai budaya masyarakat Sunda.




Ojo Sok-sokan
Masih ngga jauh-jauh dari budaya, Ojo Sok-sokan menceritan bagaimana seharusnya kita bangga menggunakan bahasa daerah. Sepele namun dampaknya besar. Bahasa adalah alat berkomunikasi. Bahasa adalah refleksi diri. Jangan malu berbahasa daerah, cuma karena kalian ingin terlihat keren. Kali ini skenario ditulis oleh Wiwid Septiyardi, dan masih disutradarai oleh Mustafa.

Dan gue? Nonton film penuhnya. Liat di credit gue sebagai apa. Biasakan nonton film sampe credit titlenya abis ya. :))







Datang dan Saksikan!


Thursday, November 19, 2015

Pengajaran Etika Regulasi Bukan Cuma Soal Nilai dan Absensi

Semalem, sebelum pulang kantor, mentor gue ngasi tau kalo besok (hari ini) akan dilaksanakan 'kuliah umum' buat karyawan training mengenai 'Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)' oleh Wina Armada Sukardi. Untuk itu, pagi-pagi buta gue baca materi yang udah dikasi tadi malem. Alasannya, biar kita (anak training) ngga cengok pas di 'kuliahin'.

Setelah beres baca materi dari kantor, gue iseng buka folder 'kuliah' trus buka lagi folder yang gue namain 'etika regulasi'. Etika regulasi adalah mata kuliah gue di semester 5. Materi demi materi gue baca, dan ternyata emang ngga jauh-jauh dari situ soal Kode Etika dan P3 SPS. Yang menarik, gue nemuin sebuah tugas menulis opini atau essay gitu oleh dosen gue dulu.

Membaca tulisan gue yang udah lama ngga terjamah, gue jadi inget dengan 'ketidakpuasan' dengan dosen yang ngajarin matakuliah Etika Regulasi waktu itu. Maaf karena mengatakan ini. Menurut gue, dosen lebih mementingkan absensi dan nilai ketimbang pemahaman mahasiswa tentang materi yang dibawakan. Eh sebentar. Yang dibawakan? Bahkan untuk masuk kelas pun dosen ini jarang. Gue sempet menjadi bulan-bulan dosen ini, hanya karena beberapa kali mengeluarkan pendapat saat jam kuliah berlangsung. Termasuk pada insiden pulpen merah.

Teman-teman sekelas gue pasti ketawa kalo denger ini. Jadi gue sempet dimarah hanya karena, pulpen yang gue pake buat absen adalah spidol merah. Gue dibilang, mahasiswa tak ber'etika'. Ya, gue salah. Mungkin mahasisiwa seperti 'saya' ini sangat butuh bimbingan dari dosen macam anda. 

Bapak Dosen yang saya hormati, ini tulisan yang dulu pernah saya buat saat tugas bapak yang mungkin luput bapak baca. Dan langsung memberi saya nilai atas sikap saya terhadap bapak. Terimaksih telah meluluskan saya pada kuliah bapak.

Sekarang ijinkan saya memposting tulisan ini di blog saya, karena saya takut mahasiswa-mahasiswa lain, khsususnya mahasiswa Broadcasting menjadi korban para pengajar yang hanya menganggap bahwa mendidik adalah masalah bisnis. Terimakasih.



Pengajaran Etika Regulasi Bukan Cuma Soal Nilai dan Absensi

Oleh: Ni Wayan Primayanti


Etika Regulasi Penyiaran adalah aturan mengenai benar atau salah, baik atau buruk serta tanggung jawab sebuah konten media dalam fungsinya menyebarluaskan informasi, mendidik serta menghibur khalayak. Sebenarnya, jika membicarakan etika tidak ada ukuran yang pasti mengenai penilaian terhadap sebuah etika. Hanya saja, di suatu tempat orang-orang menyamakan persepsi pelanggaran etika berdasarkan budaya, adat dan norma yang berlaku di daerah tersebut.
Etika dalam Kamus Besar Bahasaa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Sedangkan menurut K. Bertens, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sedangkan Penyiaran menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerimaan siaran.
Dan Lembaga Penyiaran dalam pengertian yang berbeda menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 adalah media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial.
Konten siaran yang termasuk dalam Etika Regulasi Penyiaran ini adalah program siaran baik isi, kemasan maupun penayangannya. Di Indonesia sendiri, isi atau konten program siaran banyak macamnya. Misalnya siaran berita, hiburan atau lawak, acara anak-anak, olahraga, film, dan masih banyak lagi. Sedangkan kemasan, adalah bagaimana suatu tim kreatif yang bertidak dalam menciptakan konsep program memperlihatkan atau mengemas sebuah program siaran. Misalnya saja, acara berita yang sering kita saksikan di TV One terlihat sangat serius apabila kita bandingkan dengan NET TV justru santai. Lembaga penyiaran sendirilah yang menetapkan konsep keseluruhan dalam program siarannya.
Berbicara mengenai penayangan, di Indonesia sendiri waktu penyiaran sebuah program telah di bagi berdasarkan segmentasinya. Misalkan anak-anak di plotkan jam satu siang atau tayangan untuk orang dewasa ditayangkan lebih dari pukul 10 malam. Penayangan yang sudah tersusun ini tidak akan mampu membatasi khalayak yang menonton tayangan tersebut. Bisa saja seorang anak kecil belum tidur hingga pukul 11 malam dan menonton apa yang seharusnya tidak ia tonton.
Kembali lagi soal etika regulasi, untuk menjaga aturan yang diperuntukan bagi lembaga penyiaran adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menurut UU Nomer 32 Tahun 2002 adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI biasanya menerima aduan dari masyarakat mengenai pelanggaran sebuah program siaran. Dan nantinya, keputusan ada di tangan KPI apakah program bersangkutan diberi peringatan, teguran bahkan menonaktifkan penanyangannya.
Tugas KPI ini sangat membutuhkan bantuan dari masyarakat secara luas, karena KPI tidak bisa selalu melihat pelanggaran yang terjadi di sebuah media. Masyarakatlah sebagai khalayak disini harus berperan aktif untuk membentengi diri dan melaporkan apabila ada tayangan yang tidak berkualitas, menyalahi aturan sehingga tidak layak menjadi tontonan. Sehingga dalam program kerja KPI, dengan sukarela KPI siap datang ke perguruan tinggi atau daerah-daerah yang membutuhkan informasi mengenai kelayakan sebuah program siaran. Sekali lagi disini ditekankan, masyarakat tidak harus menjadi bahan pembodohan media Indonesia yang menayangkan tayangan tidak berkualitas.
Tidak berhenti disitu. Tugas KPI kini dimudahkan dengan dosen yang tentunya mengajar mata kuliah Etika Regulasi Penyiaran di tiap kampus untuk jurusan Broadcasting. Setidaknya, mahasiswa yang nantinya direncanakan akan bekerja di media ini tahu dan paham mengenai kode etik, aturan atau larangan mengenai standar sebuah program siaran. Sasaran tersebut akan tercapai, apabila sistem pengajaran dan pengenalan mengenai etika regulasi ini dilakukan dengan benar.
Ukuran benarnya? Ya, gampang saja. Pengajar Etika Regulasi tidak hanya berbicara soal teori semata, karena pada kenyataannya media di Indonesia terlalu ‘kebal’ dari aturan yang telah disepakati dan dibuat. Ditambah campur tangan pemilik modal media yang secara keseluruhan mempengaruhi isi konten berita yang ditayangkan. Pengajaran juga seharusnya me-review satu persatu kesalahan apa saja yang telah membudaya pada media kita. Jangan sampai seorang pengajar Etika Regulasi yang notabene adalah seorang praktisi media justru tidak tahu batasan larangan sebuah media. Akibatnya, tentu ada pada mahasiswanya yang tetap berjalan ke arah yang salah dan tidak menerima pemahaman yang jelas mengenai Etika Regulasi itu sendiri. Jika kasusnya seperti ini gimana kesalahan pada media ini akan berubah?
Peraturan mengenai Sistem Regulasi Penyiaran di Indonesia kini begitu banyak dibanding diawal kemunculan media-media di Indonesia. Mahasiswa seharusnya tidak hanya dipastikan untuk tahu Undang-undang apa saja yang terkait dengan penyiaran tetapi juga harus bisa mengkaji atau menganalisis perbedaan di tiap peraturannya. Ada aturan yang sekian banyak tapi tidak tahu digunakan untuk apa ya percuma. Pantas saja masih banyak pelanggaran yang terjadi. Termasuk juga pengajar harus tahu kemampuan mahasiswanya. Tidak semua mahasiswa memiliki pengetahuan yang sama akan aturan-aturan Etika Regulasi. Jika hanya mendengar presentasi dari seorang teman di kelas dan membaca sendiri di pedoman yang telah diberikan, mungkin saja mereka memiliki persepsi yang berbeda akan suatu hal yang sama. Ini bisa saja terjadi ditambah pengajar yang tidak mau tahu sebatas apa yang mahasiswanya ketahui.
Terakhir, sebagai pengajar apalagi mengenai Etika Regulasi mahasiswa butuh penghargaan secara personal. Mahasiswa tak hanya butuh nilai tinggi dari hapalan begitu banyak pasal dalam Undang-undang untuk mencapai kelulusan maksimal, atau absensi kehadiran di tiap semester tapi mahasiswa butuh dihargai atas ide, inovasi dan apa yang mereka hasilkan. Beri mereka sebuah kasus dan biarkan mereka melakukan koreksi atas apa yang menurut mereka ada pelanggaran yang dilakukan. Bukankah para Mahasiswa Broadcasting inilah yang nantinya juga akan terjun ke dalam media dan menciptakan program-program yang bermutu.
Etika bukan saja mengenai teori tertulis mengenai pengertian etika, pembagian atau dasar filsafatnya. Melainkan apa yang pengajar perlihatkan kepada mahasiswanya, akan menjadi penilaian mengenai etika tersendiri menurut mereka. Termasuk pada sebuah media. Apabila mahasiswanya sendiri tidak diberi ruang mengkoreksi kesalahan yang diwariskan media kini, apa yang bisa ia perbaiki di masa depan.

Monday, November 16, 2015

Playboy Takut Istri

Setelah tersedu-sedu nonton Timeline, kali ini gue nonton film Thailand yang absurdnya tingkat dewa. Emang kenapa sih?!

Ada yang pernah nonton Lulla Man?

Gue merasa sangat tertinggal karena baru tau film ini di akhir tahun 2015, padahal Lulla Man sendiri udah rilis di Thailand, 9 desember 2010. Gila, udah lama banget man! Tak apalah. Mungkin masih banyak yang belum nonton bahkan ngga tau sama sekali tentang film ini. Seenggak, gue ngga merasa sia-sia menulis review yang sangat terlambat ini.

Menurut hasil riset gue, Lulla Man itu di sutradarai oleh Tunya Potiwijit. Dan dibintangi oleh Shakrit Yamnam, Jeab Chern-Yim, Passorn Bunyakiet, Petchtai Wongkamlao (Mum Jokmok), Ussanee Wattana. Yang gue tau pemeran Tan itu Shakrit Yamnam, sisanya gue ngga tau dia siapa dan perannya jadi apa. Walaupun ini film lama, tapi susah juga cari info lengkap filmnya. Film ini bergenre komedi, makanya aktor dan aktrisnya pada koplak semua.

Ceritanya itu tentang 3 sahabat, Tan, Joon sama Tu yang masing-masing udah beristri dan mereka bertiga tinggal satu rumah. Walaupun udah menikah, 3 cowok ini masih suka main wanita alias playboy. Tan berprofesi sebagai photographer, yang jelas pekerjaannya itu banyak sama wanita-wanita cantik. Ngga beda jauh sama Joon, sebagai musisi  Joon sering manggung di café-café dan penampilannya ditunggu-tunggu wanita. Nah kalo Tu gue ngga tau kerjaannya apa. Yang jelas, dimana ada Joon atau Tan, pasti ada Tu.

Bahkan suatu ketika, karena mabuk Joon pernah kencan sama waria. Doi baru tau pagi pas baru bangun, kaget yang diajak tidur ternyata cowok juga. Ngeri amat. Pas Joon keluar kamar, udah banyak waria yang ngantri biar bisa tidur bareng sama Joon. Ngga sampe disitu, bahkan satu komplek rumah susun itu isinya waria semua, yang kesemuanya pengen kencan sama Joon. Koplak banget. Tapi ngeri juga dikepung banci. Saking kompaknya, mereka bertiga juga pernah mengencani satu cewek yang sama.

Istri-istri ketiga sahabat ini udah tau banget sifat suami mereka, dan setiap pulang telat mereka bertiga selalu berjaga di depan rumah nungguin. Lebay sih, mereka sampe bawa pisau atau barang-barang dapur gitu. Buat mukulin suaminya kalo ketauan selingkuh. Gue liat sih, istri Tan yang paling cantik. Tan juga ganteng. Kalo istri Joon karakternya agak tua, beda sama istri Tu yang sangat kekanak-kanakan.

Anehnya, setiap ketauan selingkuh, Joon, Tan dan Tu selalu bisa ngeles dan cari alasan. Padahal udah jelas-jelas bukti di depan mata. Ini yang buat gue gregetan kalo nonton. Masa cewek di bego-begoin. Tapi sesekali, pas mereka mergokin si suami  selingkuh, mereka pake kekerasan fisik buat ngasi pelajaran suami. Kayak mukul atau apalah.

Dari awal sampe akhir, film ini sih nyeritain gimana bandelnya suami-suami ini selingkuh dari istrinya. Puncak cerita itu pas si Tan akhirnya bener-bener suka sama cewek cantik yang namanya Suzie. Suzie itu modelnya Tan. Sampe suatu ketika, Tan rela dateng nyelametin Suzie padahal dia lagi dalam situasi baikan sama istrinya karena ulahnya kemaren-kemaren. Singkat cerita, Tan, Joon sama Tu disandera sama suami Suzie karena Tan ketauan selingkuh sama Suzie.

Dan jeng..jeng… datenglah istri-istri ketiga sahabat itu buat nyelametin mereka. Para istri rela disuruh apapun demi nyelametin suami-suami mereka. Agak terharu sih sedikit. Dan para suami akhirnya sadar, kalo sebenernya yang mereka lakukan selama ini menyia-nyiakan istri demi kesenangan sesaat itu salah. Suzie bebas, namun Tan harus menerima pil pahit, istri Tan milih pisah karena sudah sangat sakit hati. Duh aduh.

Tapi tenang, di akhir mereka rujuk lagi kok.







Lulla Man sendiri berasal dari nama Café tempat mereka nongkrong. Dimana di café itu isinya cowok-cowok nakal semua. Dan di akhir, mereka berkeinginan untuk buat café yang isinya pencinta istri. Dan ide itu gagal, beberapa detik setelah diucapkan. Yang namanya playboy emang ngga bisa diubah. Kalo kata mentor gue, nafsu emang harusnya disalurkan bukan ditahan.

Dari keseluruhan film, beberapa kali gue ngerasa komedi yang mereka bawain terlalu berlebihan. Ya, walaupun di beberapa ada yang lucu banget. Ceritanya juga agak ngga masuk akal menurut gue. Misalnya aja, masa Joon harus mukul kepalanya pake botol biar keliatan sakit dan bisa mengelabui istrinya kalo dia habis mabuk bukan nginep di rumah selingkuhannya. Banyak lagi lah pokoknya. Kalo dari gambar, cukup bagus. Mata lo akan dimanjain sama yang namanya cewek cantik berbaju seksi. Film ini sangat mengeksplor keindahan tubuh wanita. Gue agak miris tentang itu.

Overall, film ini sangat ringan dan lo dengan gampang bisa mengerti isi ceritanya. Pesan yang bisa ambil dari film ini, terutama buat kaum lelaki yang tak pernah puas, jangan pernah meremehkan bahkan menyakiti orang yang sayang sama lo. Karena seberapa pun kejamnya dunia, mereka akan selalu ada di dekat lo. Cakep.


Kalo rating dari gue buat film ini, 6/10.