Semalem, sebelum pulang kantor, mentor gue ngasi tau kalo besok (hari ini) akan dilaksanakan 'kuliah umum' buat karyawan training mengenai 'Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)' oleh Wina Armada Sukardi. Untuk itu, pagi-pagi buta gue baca materi yang udah dikasi tadi malem. Alasannya, biar kita (anak training) ngga cengok pas di 'kuliahin'.
Setelah beres baca materi dari kantor, gue iseng buka folder 'kuliah' trus buka lagi folder yang gue namain 'etika regulasi'. Etika regulasi adalah mata kuliah gue di semester 5. Materi demi materi gue baca, dan ternyata emang ngga jauh-jauh dari situ soal Kode Etika dan P3 SPS. Yang menarik, gue nemuin sebuah tugas menulis opini atau essay gitu oleh dosen gue dulu.
Membaca tulisan gue yang udah lama ngga terjamah, gue jadi inget dengan 'ketidakpuasan' dengan dosen yang ngajarin matakuliah Etika Regulasi waktu itu. Maaf karena mengatakan ini. Menurut gue, dosen lebih mementingkan absensi dan nilai ketimbang pemahaman mahasiswa tentang materi yang dibawakan. Eh sebentar. Yang dibawakan? Bahkan untuk masuk kelas pun dosen ini jarang. Gue sempet menjadi bulan-bulan dosen ini, hanya karena beberapa kali mengeluarkan pendapat saat jam kuliah berlangsung. Termasuk pada insiden pulpen merah.
Teman-teman sekelas gue pasti ketawa kalo denger ini. Jadi gue sempet dimarah hanya karena, pulpen yang gue pake buat absen adalah spidol merah. Gue dibilang, mahasiswa tak ber'etika'. Ya, gue salah. Mungkin mahasisiwa seperti 'saya' ini sangat butuh bimbingan dari dosen macam anda.
Bapak Dosen yang saya hormati, ini tulisan yang dulu pernah saya buat saat tugas bapak yang mungkin luput bapak baca. Dan langsung memberi saya nilai atas sikap saya terhadap bapak. Terimaksih telah meluluskan saya pada kuliah bapak.
Sekarang ijinkan saya memposting tulisan ini di blog saya, karena saya takut mahasiswa-mahasiswa lain, khsususnya mahasiswa Broadcasting menjadi korban para pengajar yang hanya menganggap bahwa mendidik adalah masalah bisnis. Terimakasih.
Pengajaran Etika Regulasi Bukan Cuma Soal Nilai dan Absensi
Oleh: Ni Wayan Primayanti
Etika Regulasi
Penyiaran adalah aturan mengenai benar atau salah, baik atau buruk serta
tanggung jawab sebuah konten media dalam fungsinya menyebarluaskan informasi,
mendidik serta menghibur khalayak. Sebenarnya, jika membicarakan etika tidak ada
ukuran yang pasti mengenai penilaian terhadap sebuah etika. Hanya saja, di
suatu tempat orang-orang menyamakan persepsi pelanggaran etika berdasarkan
budaya, adat dan norma yang berlaku di daerah tersebut.
Etika dalam Kamus Besar
Bahasaa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban. Sedangkan menurut K. Bertens, etika adalah
nilai-nilai dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sedangkan Penyiaran menurut
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) adalah
kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana
transmisi darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum
frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat
diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat
penerimaan siaran.
Dan Lembaga Penyiaran dalam
pengertian yang berbeda menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 adalah media komunikasi
massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan
ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial.
Konten siaran yang
termasuk dalam Etika Regulasi Penyiaran ini adalah program siaran baik isi,
kemasan maupun penayangannya. Di Indonesia sendiri, isi atau konten program
siaran banyak macamnya. Misalnya siaran berita, hiburan atau lawak, acara
anak-anak, olahraga, film, dan masih banyak lagi. Sedangkan kemasan, adalah
bagaimana suatu tim kreatif yang bertidak dalam menciptakan konsep program
memperlihatkan atau mengemas sebuah program siaran. Misalnya saja, acara berita
yang sering kita saksikan di TV One terlihat sangat serius apabila kita
bandingkan dengan NET TV justru santai. Lembaga penyiaran sendirilah yang
menetapkan konsep keseluruhan dalam program siarannya.
Berbicara mengenai penayangan,
di Indonesia sendiri waktu penyiaran sebuah program telah di bagi berdasarkan
segmentasinya. Misalkan anak-anak di plotkan jam satu siang atau tayangan untuk
orang dewasa ditayangkan lebih dari pukul 10 malam. Penayangan yang sudah
tersusun ini tidak akan mampu membatasi khalayak yang menonton tayangan
tersebut. Bisa saja seorang anak kecil belum tidur hingga pukul 11 malam dan
menonton apa yang seharusnya tidak ia tonton.
Kembali lagi soal etika
regulasi, untuk menjaga aturan yang diperuntukan bagi lembaga penyiaran adalah
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menurut UU Nomer 32 Tahun 2002 adalah
lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang
tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta
masyarakat di bidang penyiaran. KPI biasanya menerima aduan dari masyarakat
mengenai pelanggaran sebuah program siaran. Dan nantinya, keputusan ada di
tangan KPI apakah program bersangkutan diberi peringatan, teguran bahkan
menonaktifkan penanyangannya.
Tugas KPI ini sangat
membutuhkan bantuan dari masyarakat secara luas, karena KPI tidak bisa selalu
melihat pelanggaran yang terjadi di sebuah media. Masyarakatlah sebagai
khalayak disini harus berperan aktif untuk membentengi diri dan melaporkan apabila
ada tayangan yang tidak berkualitas, menyalahi aturan sehingga tidak layak
menjadi tontonan. Sehingga dalam program kerja KPI, dengan sukarela KPI siap
datang ke perguruan tinggi atau daerah-daerah yang membutuhkan informasi
mengenai kelayakan sebuah program siaran. Sekali lagi disini ditekankan,
masyarakat tidak harus menjadi bahan pembodohan media Indonesia yang
menayangkan tayangan tidak berkualitas.
Tidak berhenti disitu.
Tugas KPI kini dimudahkan dengan dosen yang tentunya mengajar mata kuliah Etika
Regulasi Penyiaran di tiap kampus untuk jurusan Broadcasting. Setidaknya, mahasiswa yang nantinya direncanakan akan
bekerja di media ini tahu dan paham mengenai kode etik, aturan atau larangan
mengenai standar sebuah program siaran. Sasaran tersebut akan tercapai, apabila
sistem pengajaran dan pengenalan mengenai etika regulasi ini dilakukan dengan
benar.
Ukuran benarnya? Ya,
gampang saja. Pengajar Etika Regulasi tidak hanya berbicara soal teori semata,
karena pada kenyataannya media di Indonesia terlalu ‘kebal’ dari aturan yang
telah disepakati dan dibuat. Ditambah campur tangan pemilik modal media yang
secara keseluruhan mempengaruhi isi konten berita yang ditayangkan. Pengajaran
juga seharusnya me-review satu
persatu kesalahan apa saja yang telah membudaya pada media kita. Jangan sampai
seorang pengajar Etika Regulasi yang notabene adalah seorang praktisi media
justru tidak tahu batasan larangan sebuah media. Akibatnya, tentu ada pada
mahasiswanya yang tetap berjalan ke arah yang salah dan tidak menerima
pemahaman yang jelas mengenai Etika Regulasi itu sendiri. Jika kasusnya seperti
ini gimana kesalahan pada media ini akan berubah?
Peraturan mengenai
Sistem Regulasi Penyiaran di Indonesia kini begitu banyak dibanding diawal
kemunculan media-media di Indonesia. Mahasiswa seharusnya tidak hanya
dipastikan untuk tahu
Undang-undang apa saja yang terkait dengan penyiaran tetapi juga harus bisa
mengkaji atau menganalisis perbedaan di tiap peraturannya. Ada aturan yang
sekian banyak tapi tidak tahu digunakan untuk apa ya percuma. Pantas saja masih
banyak pelanggaran yang terjadi. Termasuk juga pengajar harus tahu kemampuan
mahasiswanya. Tidak semua mahasiswa memiliki pengetahuan yang sama akan
aturan-aturan Etika Regulasi. Jika hanya mendengar presentasi dari seorang
teman di kelas dan membaca sendiri di pedoman yang telah diberikan, mungkin
saja mereka memiliki persepsi yang berbeda akan suatu hal yang sama. Ini bisa
saja terjadi ditambah pengajar yang tidak mau tahu sebatas apa yang
mahasiswanya ketahui.
Terakhir, sebagai
pengajar apalagi mengenai Etika Regulasi mahasiswa butuh penghargaan secara
personal. Mahasiswa tak hanya butuh nilai tinggi dari hapalan begitu banyak
pasal dalam Undang-undang untuk mencapai kelulusan maksimal, atau absensi
kehadiran di tiap semester tapi mahasiswa butuh dihargai atas ide, inovasi dan
apa yang mereka hasilkan. Beri mereka sebuah kasus dan biarkan mereka melakukan
koreksi atas apa yang menurut mereka ada pelanggaran yang dilakukan. Bukankah
para Mahasiswa Broadcasting inilah yang
nantinya juga akan terjun ke dalam media dan menciptakan program-program yang
bermutu.
Etika bukan saja
mengenai teori tertulis mengenai pengertian etika, pembagian atau dasar
filsafatnya. Melainkan apa yang pengajar perlihatkan kepada mahasiswanya, akan
menjadi penilaian mengenai etika tersendiri menurut mereka. Termasuk pada
sebuah media. Apabila mahasiswanya sendiri tidak diberi ruang mengkoreksi
kesalahan yang diwariskan media kini, apa yang bisa ia perbaiki di masa depan.
No comments:
Post a Comment