Thursday, November 19, 2015

Pengajaran Etika Regulasi Bukan Cuma Soal Nilai dan Absensi

Semalem, sebelum pulang kantor, mentor gue ngasi tau kalo besok (hari ini) akan dilaksanakan 'kuliah umum' buat karyawan training mengenai 'Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)' oleh Wina Armada Sukardi. Untuk itu, pagi-pagi buta gue baca materi yang udah dikasi tadi malem. Alasannya, biar kita (anak training) ngga cengok pas di 'kuliahin'.

Setelah beres baca materi dari kantor, gue iseng buka folder 'kuliah' trus buka lagi folder yang gue namain 'etika regulasi'. Etika regulasi adalah mata kuliah gue di semester 5. Materi demi materi gue baca, dan ternyata emang ngga jauh-jauh dari situ soal Kode Etika dan P3 SPS. Yang menarik, gue nemuin sebuah tugas menulis opini atau essay gitu oleh dosen gue dulu.

Membaca tulisan gue yang udah lama ngga terjamah, gue jadi inget dengan 'ketidakpuasan' dengan dosen yang ngajarin matakuliah Etika Regulasi waktu itu. Maaf karena mengatakan ini. Menurut gue, dosen lebih mementingkan absensi dan nilai ketimbang pemahaman mahasiswa tentang materi yang dibawakan. Eh sebentar. Yang dibawakan? Bahkan untuk masuk kelas pun dosen ini jarang. Gue sempet menjadi bulan-bulan dosen ini, hanya karena beberapa kali mengeluarkan pendapat saat jam kuliah berlangsung. Termasuk pada insiden pulpen merah.

Teman-teman sekelas gue pasti ketawa kalo denger ini. Jadi gue sempet dimarah hanya karena, pulpen yang gue pake buat absen adalah spidol merah. Gue dibilang, mahasiswa tak ber'etika'. Ya, gue salah. Mungkin mahasisiwa seperti 'saya' ini sangat butuh bimbingan dari dosen macam anda. 

Bapak Dosen yang saya hormati, ini tulisan yang dulu pernah saya buat saat tugas bapak yang mungkin luput bapak baca. Dan langsung memberi saya nilai atas sikap saya terhadap bapak. Terimaksih telah meluluskan saya pada kuliah bapak.

Sekarang ijinkan saya memposting tulisan ini di blog saya, karena saya takut mahasiswa-mahasiswa lain, khsususnya mahasiswa Broadcasting menjadi korban para pengajar yang hanya menganggap bahwa mendidik adalah masalah bisnis. Terimakasih.



Pengajaran Etika Regulasi Bukan Cuma Soal Nilai dan Absensi

Oleh: Ni Wayan Primayanti


Etika Regulasi Penyiaran adalah aturan mengenai benar atau salah, baik atau buruk serta tanggung jawab sebuah konten media dalam fungsinya menyebarluaskan informasi, mendidik serta menghibur khalayak. Sebenarnya, jika membicarakan etika tidak ada ukuran yang pasti mengenai penilaian terhadap sebuah etika. Hanya saja, di suatu tempat orang-orang menyamakan persepsi pelanggaran etika berdasarkan budaya, adat dan norma yang berlaku di daerah tersebut.
Etika dalam Kamus Besar Bahasaa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Sedangkan menurut K. Bertens, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sedangkan Penyiaran menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerimaan siaran.
Dan Lembaga Penyiaran dalam pengertian yang berbeda menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 adalah media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial.
Konten siaran yang termasuk dalam Etika Regulasi Penyiaran ini adalah program siaran baik isi, kemasan maupun penayangannya. Di Indonesia sendiri, isi atau konten program siaran banyak macamnya. Misalnya siaran berita, hiburan atau lawak, acara anak-anak, olahraga, film, dan masih banyak lagi. Sedangkan kemasan, adalah bagaimana suatu tim kreatif yang bertidak dalam menciptakan konsep program memperlihatkan atau mengemas sebuah program siaran. Misalnya saja, acara berita yang sering kita saksikan di TV One terlihat sangat serius apabila kita bandingkan dengan NET TV justru santai. Lembaga penyiaran sendirilah yang menetapkan konsep keseluruhan dalam program siarannya.
Berbicara mengenai penayangan, di Indonesia sendiri waktu penyiaran sebuah program telah di bagi berdasarkan segmentasinya. Misalkan anak-anak di plotkan jam satu siang atau tayangan untuk orang dewasa ditayangkan lebih dari pukul 10 malam. Penayangan yang sudah tersusun ini tidak akan mampu membatasi khalayak yang menonton tayangan tersebut. Bisa saja seorang anak kecil belum tidur hingga pukul 11 malam dan menonton apa yang seharusnya tidak ia tonton.
Kembali lagi soal etika regulasi, untuk menjaga aturan yang diperuntukan bagi lembaga penyiaran adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menurut UU Nomer 32 Tahun 2002 adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI biasanya menerima aduan dari masyarakat mengenai pelanggaran sebuah program siaran. Dan nantinya, keputusan ada di tangan KPI apakah program bersangkutan diberi peringatan, teguran bahkan menonaktifkan penanyangannya.
Tugas KPI ini sangat membutuhkan bantuan dari masyarakat secara luas, karena KPI tidak bisa selalu melihat pelanggaran yang terjadi di sebuah media. Masyarakatlah sebagai khalayak disini harus berperan aktif untuk membentengi diri dan melaporkan apabila ada tayangan yang tidak berkualitas, menyalahi aturan sehingga tidak layak menjadi tontonan. Sehingga dalam program kerja KPI, dengan sukarela KPI siap datang ke perguruan tinggi atau daerah-daerah yang membutuhkan informasi mengenai kelayakan sebuah program siaran. Sekali lagi disini ditekankan, masyarakat tidak harus menjadi bahan pembodohan media Indonesia yang menayangkan tayangan tidak berkualitas.
Tidak berhenti disitu. Tugas KPI kini dimudahkan dengan dosen yang tentunya mengajar mata kuliah Etika Regulasi Penyiaran di tiap kampus untuk jurusan Broadcasting. Setidaknya, mahasiswa yang nantinya direncanakan akan bekerja di media ini tahu dan paham mengenai kode etik, aturan atau larangan mengenai standar sebuah program siaran. Sasaran tersebut akan tercapai, apabila sistem pengajaran dan pengenalan mengenai etika regulasi ini dilakukan dengan benar.
Ukuran benarnya? Ya, gampang saja. Pengajar Etika Regulasi tidak hanya berbicara soal teori semata, karena pada kenyataannya media di Indonesia terlalu ‘kebal’ dari aturan yang telah disepakati dan dibuat. Ditambah campur tangan pemilik modal media yang secara keseluruhan mempengaruhi isi konten berita yang ditayangkan. Pengajaran juga seharusnya me-review satu persatu kesalahan apa saja yang telah membudaya pada media kita. Jangan sampai seorang pengajar Etika Regulasi yang notabene adalah seorang praktisi media justru tidak tahu batasan larangan sebuah media. Akibatnya, tentu ada pada mahasiswanya yang tetap berjalan ke arah yang salah dan tidak menerima pemahaman yang jelas mengenai Etika Regulasi itu sendiri. Jika kasusnya seperti ini gimana kesalahan pada media ini akan berubah?
Peraturan mengenai Sistem Regulasi Penyiaran di Indonesia kini begitu banyak dibanding diawal kemunculan media-media di Indonesia. Mahasiswa seharusnya tidak hanya dipastikan untuk tahu Undang-undang apa saja yang terkait dengan penyiaran tetapi juga harus bisa mengkaji atau menganalisis perbedaan di tiap peraturannya. Ada aturan yang sekian banyak tapi tidak tahu digunakan untuk apa ya percuma. Pantas saja masih banyak pelanggaran yang terjadi. Termasuk juga pengajar harus tahu kemampuan mahasiswanya. Tidak semua mahasiswa memiliki pengetahuan yang sama akan aturan-aturan Etika Regulasi. Jika hanya mendengar presentasi dari seorang teman di kelas dan membaca sendiri di pedoman yang telah diberikan, mungkin saja mereka memiliki persepsi yang berbeda akan suatu hal yang sama. Ini bisa saja terjadi ditambah pengajar yang tidak mau tahu sebatas apa yang mahasiswanya ketahui.
Terakhir, sebagai pengajar apalagi mengenai Etika Regulasi mahasiswa butuh penghargaan secara personal. Mahasiswa tak hanya butuh nilai tinggi dari hapalan begitu banyak pasal dalam Undang-undang untuk mencapai kelulusan maksimal, atau absensi kehadiran di tiap semester tapi mahasiswa butuh dihargai atas ide, inovasi dan apa yang mereka hasilkan. Beri mereka sebuah kasus dan biarkan mereka melakukan koreksi atas apa yang menurut mereka ada pelanggaran yang dilakukan. Bukankah para Mahasiswa Broadcasting inilah yang nantinya juga akan terjun ke dalam media dan menciptakan program-program yang bermutu.
Etika bukan saja mengenai teori tertulis mengenai pengertian etika, pembagian atau dasar filsafatnya. Melainkan apa yang pengajar perlihatkan kepada mahasiswanya, akan menjadi penilaian mengenai etika tersendiri menurut mereka. Termasuk pada sebuah media. Apabila mahasiswanya sendiri tidak diberi ruang mengkoreksi kesalahan yang diwariskan media kini, apa yang bisa ia perbaiki di masa depan.

No comments:

Post a Comment