Keisengan setelah beribadah mampir ke Gramedia,
berbuah gue akhirnya beli beberapa buku diskonan yang harga cukup murah. Buku lama
sih, cuman lumayan dapet 10.000, kan lagi kan. Buku yang gue beli itu ada 3
macam, tapi salah satu bukunya, buku mbak Djenar Maesa Ayu yang judulnya, ‘T(w)ITIT!’.
Buku terbitan tahun 2012, tapi masih enak dibaca sampe sekarang.
Gue tau Mbak Djenar itu seorang penulis, sutradara
juga, pernah denger judul tulisannya ‘Mereka Bilang, Saya Monyet’, tapi gue
sama sekali belum pernah baca buku karya Mbak Djenar. Duh, sedih. Maka dari
itu, di momen diskonan ini, gue pengen mengenal Mbak Djenar lebih jauh lewat
bukunya.
T(w)ITIT! adalah buku kumpulan cerpen yang terbit
di tahun 2012, dan sudah mencapai cetakan ketiga. Buku ini berisikan 99 halaman
pas, dengan 11 judul cerpen di dalamnya. Gue sendiri cuma butuh waktu sekitar
sejam untuk menghabiskan membacanya. Untung cuma 10 ribu, ada perasaan gitu. Haha.
Dari semua cerita pendek yang ada dalam buku ini
menceritakan tokoh dengan nama yang sama, yaitu Nayla. Awalnya gue sempet
mikir, kenapa ngga judulnya Nayla aja. Soalnya kesemua cerita dinamai Nayla.
Tapi kalo gitu, jadi ngga seru dong. Iya toh Mbak?
Bahasa yang dipake Mbak Djenar itu apik tenan,
sastra banget lah. Banyak kalimat yang memiliki akhiran yang sama. Pengucapan yang
sama. Padu. Gue awalnya ngira, cerita satu ke cerita lainnya itu nyambung. Soalnya
masih saru dengan nama tokoh yang sama. Ditambah Mbak Djenar ini pinter sekali
buat ending, ngga terduga. Bisa juga dia nyambung ke cerita berikutnya, bisa
juga engga. Bingung dan penasaran jadi satu. Kok kayak sikapmu, padaku? *elaah.
Oya, dari nama tokoh Nayla ini sudah jelas cerita
yang diangkat seputar wanita. Ada beberapa cerpen yang membuat gue tersentuh. Misalnya
judulnya, ‘Nayla’, eh pas banget Nayla judul cerpennya. Dalam cerpennya itu
diceritakan seorang anak yang bernama Nayla, yang saat berusia 7 tahun
setengah, harus kehilangan sosok ayahnya. Ayah Nayla adalah seorang pegawai di
kantor, yang dipecat karena ketauan melakukan maksiat di tempat kerjanya. Kemudian
sang ayah kabur dari rumah, hingga akhirnya ayahnya jatuh miskin gara-gara
berjudi dan memilih menceraikan istrinya, ibu Nayla.
Uniknya, Mbak Djenar mengangkat yang bersalah
dimata Nayla tidak seperti kebanyak orang. Biasanya kan pasti cowok yang salah.
Itu hukum alam. Haha. Tapi disini, menurut Nayla yang salah adalah ibunya
sendiri. Kenapa? Karena penampilan ibunya yang dia anggap sangat tidak pantas
menjadi ibu rumah tangga.
“….Suami mana yang tak akan jemu jika setiap hari
menemukan istrinya berpenampilan tak ubahnya babu”.
Kejam sih, ya mau bagaimana lagi, begitu keadannya.
Ini sempat membuat gue mikir, berat sekali tugas ibu rumah tangga. Mengurus rumah
tangga, merawat anak, selalu terlihat cantik seperti apa yang suami mau.
Akhirnya Nayla harus menerima keadaan dimana ia dan
ibunya kekurangan uang tanpa nafkah dari ayahnya. Mulailah masa sulit-sulit
itu. Yang membuat gue geram, Nayla jadi semakin kesal dengan ibunya.
Kekesalan Nayla memudar ketika, sang ibu mampu
memberikan nayla sedikit rejeki untuk hidupnya sehari-hari. Dengan apa? Kini ibu
Nayla mulai bersolek, mempercantik penampilan, untuk menjual diri. Miris.
Nayla menyadari tidak ada yang harus ia tuntut
lagi. Bahkan rok sekolah merahnya sudah diatas tumit. Nayla tidak ingin
membebani ibunya dengan membeli rok baru. Toh sebentar lagi ia akan naik SMP. Nayla
juga tidak ingin ibunya tau, jika ia ditegur guru karena rok seragamnya sudah
diatas tumit sehingga bisa menimbulkan nafsu.
Dilanjutkan, ibu Nayla menerima selembar surat di tangannya.
Matanya basah, saat petugas mengatakan bahwa anaknya harus tinggal semalam demi
menuntaskan pemeriksaan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya dalam angkutan
umum, karena keterangan saksi mengenai rok Nayla yang di atas tumit harus
benar-benar diusut demi terlaksananya keadilan dalam penegakan hukum.
Gue sendiri tertegun. Bingung harus merespon apa. Seorang
anak SD yang harus menerima hukuman atas ke-tau-diri-an dari kondisi keluarganya. Kerelaan sang ibu
yang harus membiayai anaknya harus dibayar dengan itu. Hidup memang tak lucu.
Itu baru satu dari banyak cerita haru yang
disajikan Mbak Djenar. Ada 10 cerita lagi yang mampu menganduk emosi.
Gue sendiri baru ‘nggeh’ kalo Nayla ini sama sekali
tidak nyambung antara satu cerita dengan cerita lainnya di cerpen ketiga. Saking
membingungkannya. Hehe. Kadang, gue juga agak terganggu dengan sajak yang
muncul di setiap cerpen ini. Indah sih, tiap kalimat berakhiran kata atau
pengucapan yang sama, tapi kadang agak janggal juga arti kalimatnya.
Tapi isi dari cerita-cerita ini ada yang mengandung
kritikan. Terutama seperti judulnya, T(w)ITIT! yang menyerukan bahwa status
twitter seseorang kadang diterima oleh orang yang salah.
Kumpulan cerpen dari Mbak Djenar lumayan jadi bahan
begadang, padahal harus kerja hari di minggu. Gue jadi tertarik buat baca novel
Mbak Djenar yang lain. Semoga dapet diskonan lagi. Hehe.
No comments:
Post a Comment