Tuesday, March 28, 2017

Nyepi yang tidak Sepi

Cuma mau curhat rasanya Nyepi di rantuan.
Ketika semua (orang hindu di Bali) pada sibuk mengabadikan
gambar ogoh dalam story instragram,
Apalah gue yang cuma jadi viewers mereka.

Sebenernya bukan masalah besar, tidak melakukan Catur Brata Penyepian di rumah, di Bali. Cuma yang buat meringis adalah, ketika gue berada pada lingkungan yang baru dan banyak orang pengen tau Nyepi itu apa.
Maksudnya?

Nah, dulu banyak temen kuliah gue yang nanya soal Nyepi, hanya di tahun pertama. Tahun berikutnya, mereka cuma ngucapin (kalo inget). Jadi tidak setiap tahun gue harus jelasin makna Nyepi itu apa. Nah, ketika gue pindah ke lingkungan yang baru, jelas banyak orang baru yang juga memiliki rasa penasaran yang sama soal Nyepi. Ini yang kadang bikin gregetan hingga berujung pada homesick.

Dari setiap pertanyaan mereka, gue jadi lebih ingin tahu makna Nyepi biar keliatan kayak pemeluk agama yang teguh. Tapi, pertanyaan mereka justru memunculkan kegalauan buat gue, “apakah keputusan gue ngga balik pas Nyepi itu salah?”. Begitu terus setiap ada yang nanya.

Cuma pas dipikir-pikir lagi, belum tentu mereka yang me-Nyepi di tempat yang lebih ‘kerasa’, taat melaksanakan pantangan Nyepi dibanding orang yang berada dirantauan, kayak gue.

Beberapa hari yang lalu, gue pernah nanya ini ke temen, yang juga orang Hindu, dan sedari kecil tinggal di luar Bali.
“Lo Nyepi puasa gak?”
“Puasa”
“setiap Nyepi?”
“iya”

Gue yang sudah menjalani Nyepi selama 24 tahun engga pernah tuh yang namanya puasa. Betapa mereka sangat ‘tahan’ atas terpaan godaan yang jauh berkali-kali lipat lebih banyak daripada mereka yang tinggal di Bali.

Untuk konsep berpuasa pada saat Nyepi sendiri, yang gue tau dalam pelaksaan Nyepi dikenal dengan istilah Catur Barata Penyepian. Catur Brata penyepian, disebut juga dengan empat pantangan yang harus dijalankan saat melaksanakan Hari Raya Nyepi. Keempat itu adalah:
  1. Amati Karya, tidak berkerja
  2. Amati Lelungan, tidak bepergian
  3. Amati Lelanguan, tidak mencari hiburan
  4. Amati Geni, tidak menyalakan api (secara implisit ini tentu melarang untuk memasak, sehingga umat berpuasa)


Ada juga yang punya pemahaman kalo puasa itu bukan kewajiban, melainkan pilihan. Tapi dari portal berita Hindu yang gue baca, dikatakan untuk melaksanakan Nyepi yang benar-benar spritual, maka dilakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Apa itu?
Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam untuk penyucian diri. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran kepada Tuhan untuk mencapai keheningan. Dan Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah.

Oke, tercerahkan.

Menurut gue yang dangkal ilmu agama, Nyepi itu soal diri dan alam semesta. Bagaimana melepaskan sifat ‘buruk’ dalam diri. Mengembalikan ingatan tentang kesalahan  yang telah dilakukan, berdamai dengan itu, berjanji untuk tidak mengulangi. Sehingga di tahun baru, tahun baru saka, kita lahir kembali (secara niskala) menjadi pribadi yang lebih baik.

Perwujudan sifat jahat yang mempengaruhi manusia juga dilambangkan dengan ogoh-ogoh. Patung raksasa besar, yang dibuat bersama-sama dalam satu banjar. Melambangkan bagaimana sifat raksasa, serakah, angkuh dan lainnya mempengaruhi manusia. Itu kenapa setelah euporia selesai, ogoh-ogoh harus dibakar. Filosofinya menghilangkan semua sifat buruk itu.

Dan yang paling penting, bagaimana membayar kebaikan alam yang telah diberikan yang Maha Kuasa. Saat Nyepi, semua jalan di Bali dan semua tempat sepi, dihentikan segala kegiatan. Alam bisa bernafas. Penelitian yang dilakukan BMKG, menunjukan dampak positif dengan adanya perayaan Nyepi. Yakni berkurangnya gas karbon dioksida sebanyak 50 persen.

Artinya menyelamatkan bumi (secara global) dari ancaman global warming. Ketika semua Negara begitu gencarnya melaksanakan earth hour, kami (orang hindu di Bali) bahkan telah melaksanakan ini selama ribuan tahun. Tidak ada paksaan bagi kami untuk melakukan ini. Karena sebagai umat Hindu kami percaya, apa yang Tuhan berikan harus kami jaga.

Nyepi bukan lagi hanya menjadi urusan kami dengan Tuhan kami, tapi dengan alam kami. Tuhan kami mengajarkan, bahwa yang perlu di bela adalah alam kami.

Balik lagi soal Nyepi di rantuan…

Nyepi di rumah (Bali) atau di rantauan tentu aja ngga bisa dibandingin, karena tentu saja kondisinya berbeda. Yang terpenting adalah melaksanakan Nyepi degan sepenuh hati. Nah.

Saturday, March 18, 2017

Ziarah, Menelisik Cinta dalam Sejarah

Jika kemarin ‘Istirahatlah kata-kata’ mengangkat soal tokoh yang terlibat langsung dalam sejarah kelam bangsa, berbeda dengan Ziarah. Ia memilih objek lain, pelan-pelan menyusuri sejarah, hingga pada sebuah jawaban.

Saya berpikir lama untuk menulis ulasan film ini. Saya takut, tulisan saya yang tidak seberapa ini justru membuat mereka yang ingin menonton Ziarah menjadi ‘takut’.

Mengapa? Karena Ziarah sangat sangat sangat filosofi, begitu dekat dan nyata. Setelah menonton akan muncul pertanyaan, ‘apakah kisah ini benar-benar ada?’. Jika iya, bahkan tidak ada satupun orang yang sanggup menyeka air mata. Saya sama sekali tidak menangis selama film diputar, tapi hati saya meringis.

Sutradara jenius yang berhasil meracik Ziarah adalah BW Purba Negara. Ia kelahiran Yogya, pantas saja Ziarah begitu kental dengan budaya. Ziarah adalah film pertama yang saya tonton hasil karya Mas BW.

 (sumber: google.com)

Ziarah bercerita tentang perjalanan Mba Sri (Ponco Sutiyem) yang mencari makam asli mendiang suaminya, Prawiro. Sebelumnya ia mempercayai bahwa gundukan tanah dengan bambu runcing dan bendera merah putih diatasnya adalah makam sang suami. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang veteran tentara yang kemudian bercerita tentang kisah akhir hidup Prawiro. Meski usianya sudah menginjak 95 tahun, ia dengan tekad yang kuat ingin mencari makam asli sang suami. Maka perjalanan pun dimulai, menyusuri sejarah.

Mbah Sri berpisah dengan suaminya, sejak terjadi Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta. Prawiro ikut berperang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Dan setelah itu, suaminya tidak pernah kembali. Mba Sri memilih untuk tidak menikah lagi. Mba Sri tinggal bersama seorang cucunya.

Ziarah mengajak kita memahami kesimpangsiuran sejarah. Dan yang terpenting, Ziarah mengajarkan kita untuk berdamai dengan masa lalu. Begitu pula dengan perjalanan Mbah Sri yang menziarahi masa lalu dan menemukan sebuah jawaban.

Adegan dalam Film Ziarah
(sumber: google.com)

Dari yang saya ketahui, hampir semua pemeran di film ini adalah mereka yang sebelumnya tidak pernah terjun ke dunia akting. Justru aktingnya sangat alami, dan apa adanya. Kesederhaan adegan dalam film, membuat Ziarah lebih terlihat sebagai film dokumenter bukan menjadi drama.

Dari Ziarah, saya sendiri belajar. Belajar berdamai dengan diri sendiri dan juga masa lalu. Bahwa kesetiaan yang paling dalam adalah mengikhlaskan.

9/10 buat Mas BW, apik tenan karyane mas.