Jika kemarin ‘Istirahatlah
kata-kata’ mengangkat soal tokoh yang terlibat langsung dalam sejarah kelam
bangsa, berbeda dengan Ziarah. Ia memilih objek lain, pelan-pelan menyusuri
sejarah, hingga pada sebuah jawaban.
Saya berpikir lama untuk menulis ulasan
film ini. Saya takut, tulisan saya yang tidak seberapa ini justru membuat mereka
yang ingin menonton Ziarah menjadi ‘takut’.
Mengapa? Karena Ziarah sangat
sangat sangat filosofi, begitu dekat dan nyata. Setelah menonton akan muncul
pertanyaan, ‘apakah kisah ini benar-benar ada?’. Jika iya, bahkan tidak ada
satupun orang yang sanggup menyeka air mata. Saya sama sekali tidak menangis
selama film diputar, tapi hati saya meringis.
Sutradara jenius yang berhasil
meracik Ziarah adalah BW Purba Negara. Ia kelahiran Yogya, pantas saja Ziarah
begitu kental dengan budaya. Ziarah
adalah film pertama yang saya tonton hasil karya Mas BW.
(sumber: google.com)
Ziarah bercerita tentang
perjalanan Mba Sri (Ponco Sutiyem) yang mencari makam asli mendiang suaminya,
Prawiro. Sebelumnya ia mempercayai bahwa gundukan tanah dengan bambu runcing
dan bendera merah putih diatasnya adalah makam sang suami. Hingga akhirnya ia
bertemu dengan seorang veteran tentara yang kemudian bercerita tentang kisah
akhir hidup Prawiro. Meski usianya sudah menginjak 95 tahun, ia dengan tekad
yang kuat ingin mencari makam asli sang suami. Maka perjalanan pun dimulai,
menyusuri sejarah.
Mbah Sri berpisah dengan suaminya,
sejak terjadi Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta. Prawiro ikut berperang
untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Dan setelah itu, suaminya tidak
pernah kembali. Mba Sri memilih untuk tidak menikah lagi. Mba Sri tinggal
bersama seorang cucunya.
Ziarah mengajak kita memahami
kesimpangsiuran sejarah. Dan yang terpenting, Ziarah mengajarkan kita untuk
berdamai dengan masa lalu. Begitu pula dengan perjalanan Mbah Sri yang
menziarahi masa lalu dan menemukan sebuah jawaban.
Dari yang saya ketahui, hampir
semua pemeran di film ini adalah mereka yang sebelumnya tidak pernah terjun ke
dunia akting. Justru aktingnya sangat alami, dan apa adanya. Kesederhaan adegan dalam film, membuat Ziarah lebih terlihat sebagai film dokumenter bukan menjadi drama.
Dari Ziarah, saya sendiri
belajar. Belajar berdamai dengan diri sendiri dan juga masa lalu. Bahwa
kesetiaan yang paling dalam adalah mengikhlaskan.
9/10 buat Mas BW, apik tenan karyane mas.
No comments:
Post a Comment