Tahun 2015, Indonesia mengalami
kebakaran hutan paling parah sepanjang sejarah. Lebih dari 100.000 kebakaran
melahap juataan hektare hutan di Indonesia, antara bulan Juni hingga Oktober. Korban
berjatuhan. Dampak ekonomi diperkirakan lebih dari US$15 miliar, atau 196
Triliun.
Membakar hutan menjadi cara yang
paling sering digunakan bagi para petani atau perusahaan untuk membuka lahan
demi bubur kayu, minyak sawit, karet atau perternakan skala kecil. Di
Indonesia, cara ini digunakan lebih dari 20 tahun.
Bagi yang tinggal jauh dari lokasi
kebarakan hutan, tentu tidak merasakan. Tapi tahukan kalian, ada setengah juta
orang dirawat di rumah sakit akibat asap yang dihasilkan kebakaran hutan kala
itu. Dan diperkirakan sekitar 1,7 miliar ton karbon dilepaskan ke atmosfer.
Tidak hanya merugikan manusia,
dalam kondisi hutan yang dibakar ada pula yang dinamai lahan gambut yang ikut
terkena dampaknya.
Apa itu lahan gambut?
Penjelasan soal apa itu gambut
secara ilmiah, saya temukan di http://www.mongabay.co.id.
Gambut disebutkan sebagai tumupukan material organik yang terbentuk secara
alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan
terakumulasi pada lahan rawa. Ketebalan vertikal di lahan gambut dapat mencapai
belasan bahkan hingga puluhan meter.
Sederhananya menurut pengertian
saya, lahan gambut itu adalah lahan tanah di hutan, hasil tumpukan daun-daun
kering atau yang jatuh. Hal ini berlangsung selama ribuan bahkan puluhan ribu
tahun. Kondisi inilah yang menyebabkan kesuburan tanah. Disamping itu, dalam
lahan gambut ini ternyata menyimpan air. Gambut bisa diibaratkan seperti spons.
Lahan gambut yang ada di pulau-pulau seperti Kalimantan, Sumateran dan Papua
bisa diibaratkan waduk yang menyimpan jutaan kubik air yang berasal dari air
hujan.
Inilah kenapa gambut disebut
sebagai harta karun, yang dapat menjaga iklim bumi.
Perusakan gambut di Indonesia di
mulai dari tahun 1920, yaitu pembukaan lahan gambut pertama di Kecamatan
Gambut, Kalimantan Selatan.
22 tahun setelah merdeka, kabut
asap pertama terjadi di Palembang. Pembukaan lahan gambut dilakukan untuk lahan
transmigran. Kemudian, terjadi lagi kebarakan gambut di Kalimantan Selatan.
Pada era Soeharto, lahan gambut
menjadi sasaran proyek 1 juta hektar untuk pertanian. Kebakaran hutan hebat
terjadi tahun 1997. Pak Harto tak bergeming, justru memerintahkan daripada
menjaga gambut, mending laksanakan proyek 1 juta hektar demi kebutuhan pangan rakyat.
Lain di jaman Joko Widodo. Saat
blusukan ke Sei Tohor, Kepulauan Meranti, Riau, 27 November 2014, beliau
memberi pernyataan, bahwa lahan gambut tidak bisa diremehkan harus dilindungi,
karena merupakan ekosistem.
Dan, di tahun 2015 terjadilah
kebarakan hutan hebat sepanjang sejarah.
Presiden Jokowi mengambil tindakan
cepat untuk mengantisipasi dampak kebakaran gambut agar tidak terulang di masa
depan. Jokowi mengeluarkan Perpres No. 1 Tahun 2016 tentang pendirian Badan
Restorasi Gambut (BRG). BRG adalah lembaga non struktural yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. BRG diminta untuk bekerja sama dengan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Bappenas, Badan Informasi dan Geospasial
(BIG), dan sejumlah organisasi nonpemerintah.
Tugas BRG adalah melaksanakan
restorasi, penetapan zona fungsi lindung budidaya, penataan ulang area terbakar
hingga pembasahan gambut. Pada tahun 2016, BRG fokus meretorasi lahan gambut
semuas 834.491 hektar yang dilakakukan di empat kabupaten, Kepualauan Meranti
(Riau), Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) dan Pulau Pisau
(Kalimantan Tengah).
Kita biarkan pemerintah
melaksanakan tugasnya, dan mari pantau restorasi gambut di Indonesia di http://pantaugambut.id/.
Atau jika kalian tertarik
mengetahui apa tugas BRG, bisa mampir ke https://brg.go.id/
dan cek peta restorasi dan perkembangan dari rencana kerja yang telah
dilakukan.
Sebagai orang awam, gue harus apa?
Kalo mungkin untuk jadi relawan
yang sibuk berkampanye soal restorasi lahan gambut, kalian tidak punya banyak
waktu, setidaknya mari peduli.
Sebagai generasi milenial, yang
katanya melek media, cukuplah menebar kebencian di
media sosial. Mending disalurkan ke hal positif. Misalnya kalo ada berita
tentang lingkungan, dibaca, dipahami, dan ditelaah. Jangan sok cuek, kayak
sifat dia ke kamu. Eh.
Selanjutnya, kalian bisa
berpartisipasi dengan mulai mengurangi pemakaian kertas. Gue sendiri sejak
kuliah lebih banyak menggunakan kertas bekas dibanding kertas baru (tergantung
dosen sih). Apalagi yang namanya buat bimbingan skripsi. Sayang ngga sih,
kertas cuma buat dicoret-coret terus dibuang?
Dan kebiasaan itu berlanjut
sekarang di kantor. Untuk beberapa keperluan cetak, gue pake kertas bekas. Print
rundown, naskah editing, dan lain-lain. Halangan untuk jadi ‘sadar’ jaga
lingkungan memang datang dari segala penjuru. Misalnya, pas ada temen gue
negur. ‘Sok peduli lingkungan lo’. Gue kesel sekesel-keselnya. Tapi yaudah. Seengaknya
gue peduli, dan elo engga. Itu nilai plus buat gue.
Bahkan termasuk cetak resi atm. Gue
kalo yang bukan transaksi transfer, gue jarang banget yang namanya cetak resi
saldo. ya karena gue mengurangi pemakaian kertas, saldo tabungan gue ngga bisa
dibanggakan. Haha.
Dan terakhir, bagi kaum wanita
atau kaum pria yang suka pake make up,
pakailah yang ramah lingkungan. Ada banyak banget merk make up yang ramah lingkungan. Yang mungkin harganya memang agak
mahal. Salah satu kelebihan mereka adalah menukarkan, botol kosong atau kemasan
make up habis pakai dan dapet point. Sejak kerja dan berpenghasilan
sendiri, gue pake make up itu, walau
belinya ngos-ngosan. Walau orang bilang muka gue sama aja, pake make up mahal dan engga, sama-sama
keliatan ngga mandi ya bodo amat. Serius. Kalo gue mau dandan, yang gue ikutin mereka
dong. Tapi ini murni karena gue komitmen buat jaga apa yang gue bisa jaga dari
kekayaan bumi ini.
Begitulah kira-kira.
Jujur, sebenarnya gue buat
tulisan soal gambut di blog ini awalnya mau ngincar hadiah. Ngga banyak, tapi
lumayan nopang hidup di ibukota sebulan. Tapi semakin gue baca, gue riset, gue
baca lagi soal gambut, ternyata lahan gambut yang perannya begitu besar makin
terancam. Gue ngga merasakan kebakaran hutan di riau, gue cuma liat di tv
doang. Ternyata untuk jangka yang panjang itu, sangat mengancam kehidupan
makhluk bumi.
Baiklah, semoga cerita gue soal
gambut ini sedikit banyak bisa membuka mata yang baca, betapa tragisnya kondisi
alam, hutan, terlebih gambut di Indonesia.
Kalo kata seniman yang pernah gue
liput, kata ‘bela’ berarti kita membela hak hidup yang dimiliki orang. Begitu juga
dengan ngambut. Jadi, jangan pernah surut bela gambut!
Sumber: