Friday, July 21, 2017

Jangan Surut Bela Gambut!

Tahun 2015, Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah sepanjang sejarah. Lebih dari 100.000 kebakaran melahap juataan hektare hutan di Indonesia, antara bulan Juni hingga Oktober. Korban berjatuhan. Dampak ekonomi diperkirakan lebih dari US$15 miliar, atau 196 Triliun.

Membakar hutan menjadi cara yang paling sering digunakan bagi para petani atau perusahaan untuk membuka lahan demi bubur kayu, minyak sawit, karet atau perternakan skala kecil. Di Indonesia, cara ini digunakan lebih dari 20 tahun.

Bagi yang tinggal jauh dari lokasi kebarakan hutan, tentu tidak merasakan. Tapi tahukan kalian, ada setengah juta orang dirawat di rumah sakit akibat asap yang dihasilkan kebakaran hutan kala itu. Dan diperkirakan sekitar 1,7 miliar ton karbon dilepaskan ke atmosfer.

Tidak hanya merugikan manusia, dalam kondisi hutan yang dibakar ada pula yang dinamai lahan gambut yang ikut terkena dampaknya.

Apa itu lahan gambut?

Penjelasan soal apa itu gambut secara ilmiah, saya temukan di http://www.mongabay.co.id. Gambut disebutkan sebagai tumupukan material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada lahan rawa. Ketebalan vertikal di lahan gambut dapat mencapai belasan bahkan hingga puluhan meter.

Sederhananya menurut pengertian saya, lahan gambut itu adalah lahan tanah di hutan, hasil tumpukan daun-daun kering atau yang jatuh. Hal ini berlangsung selama ribuan bahkan puluhan ribu tahun. Kondisi inilah yang menyebabkan kesuburan tanah. Disamping itu, dalam lahan gambut ini ternyata menyimpan air. Gambut bisa diibaratkan seperti spons. Lahan gambut yang ada di pulau-pulau seperti Kalimantan, Sumateran dan Papua bisa diibaratkan waduk yang menyimpan jutaan kubik air yang berasal dari air hujan.

Inilah kenapa gambut disebut sebagai harta karun, yang dapat menjaga iklim bumi.

Perusakan gambut di Indonesia di mulai dari tahun 1920, yaitu pembukaan lahan gambut pertama di Kecamatan Gambut, Kalimantan Selatan.

22 tahun setelah merdeka, kabut asap pertama terjadi di Palembang. Pembukaan lahan gambut dilakukan untuk lahan transmigran. Kemudian, terjadi lagi kebarakan gambut di Kalimantan Selatan.

Pada era Soeharto, lahan gambut menjadi sasaran proyek 1 juta hektar untuk pertanian. Kebakaran hutan hebat terjadi tahun 1997. Pak Harto tak bergeming, justru memerintahkan daripada menjaga gambut, mending laksanakan proyek  1 juta hektar demi kebutuhan pangan rakyat.

Lain di jaman Joko Widodo. Saat blusukan ke Sei Tohor, Kepulauan Meranti, Riau, 27 November 2014, beliau memberi pernyataan, bahwa lahan gambut tidak bisa diremehkan harus dilindungi, karena merupakan ekosistem.

Dan, di tahun 2015 terjadilah kebarakan hutan hebat sepanjang sejarah.

Presiden Jokowi mengambil tindakan cepat untuk mengantisipasi dampak kebakaran gambut agar tidak terulang di masa depan. Jokowi mengeluarkan Perpres No. 1 Tahun 2016 tentang pendirian Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG adalah lembaga non struktural yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BRG diminta untuk bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Bappenas, Badan Informasi dan Geospasial (BIG), dan sejumlah organisasi nonpemerintah.

Tugas BRG adalah melaksanakan restorasi, penetapan zona fungsi lindung budidaya, penataan ulang area terbakar hingga pembasahan gambut. Pada tahun 2016, BRG fokus meretorasi lahan gambut semuas 834.491 hektar yang dilakakukan di empat kabupaten, Kepualauan Meranti (Riau), Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) dan Pulau Pisau (Kalimantan Tengah).

Kita biarkan pemerintah melaksanakan tugasnya, dan mari pantau restorasi gambut di Indonesia di http://pantaugambut.id/.

Atau jika kalian tertarik mengetahui apa tugas BRG, bisa mampir ke https://brg.go.id/ dan cek peta restorasi dan perkembangan dari rencana kerja yang telah dilakukan.

Sebagai orang awam, gue harus apa?

Kalo mungkin untuk jadi relawan yang sibuk berkampanye soal restorasi lahan gambut, kalian tidak punya banyak waktu, setidaknya mari peduli.

Sebagai generasi milenial, yang katanya  melek media, cukuplah menebar kebencian di media sosial. Mending disalurkan ke hal positif. Misalnya kalo ada berita tentang lingkungan, dibaca, dipahami, dan ditelaah. Jangan sok cuek, kayak sifat dia ke kamu. Eh.

Selanjutnya, kalian bisa berpartisipasi dengan mulai mengurangi pemakaian kertas. Gue sendiri sejak kuliah lebih banyak menggunakan kertas bekas dibanding kertas baru (tergantung dosen sih). Apalagi yang namanya buat bimbingan skripsi. Sayang ngga sih, kertas cuma buat dicoret-coret terus dibuang?

Dan kebiasaan itu berlanjut sekarang di kantor. Untuk beberapa keperluan cetak, gue pake kertas bekas. Print rundown, naskah editing, dan lain-lain. Halangan untuk jadi ‘sadar’ jaga lingkungan memang datang dari segala penjuru. Misalnya, pas ada temen gue negur. ‘Sok peduli lingkungan lo’. Gue kesel sekesel-keselnya. Tapi yaudah. Seengaknya gue peduli, dan elo engga. Itu nilai plus buat gue.

Bahkan termasuk cetak resi atm. Gue kalo yang bukan transaksi transfer, gue jarang banget yang namanya cetak resi saldo. ya karena gue mengurangi pemakaian kertas, saldo tabungan gue ngga bisa dibanggakan. Haha.

Dan terakhir, bagi kaum wanita atau kaum pria yang suka pake make up, pakailah yang ramah lingkungan. Ada banyak banget merk make up yang ramah lingkungan. Yang mungkin harganya memang agak mahal. Salah satu kelebihan mereka adalah menukarkan, botol kosong atau kemasan make up habis pakai dan dapet point. Sejak kerja dan berpenghasilan sendiri, gue pake make up itu, walau belinya ngos-ngosan. Walau orang bilang muka gue sama aja, pake make up mahal dan engga, sama-sama keliatan ngga mandi ya bodo amat. Serius.  Kalo gue mau dandan, yang gue ikutin mereka dong. Tapi ini murni karena gue komitmen buat jaga apa yang gue bisa jaga dari kekayaan bumi ini.

Begitulah kira-kira.

Jujur, sebenarnya gue buat tulisan soal gambut di blog ini awalnya mau ngincar hadiah. Ngga banyak, tapi lumayan nopang hidup di ibukota sebulan. Tapi semakin gue baca, gue riset, gue baca lagi soal gambut, ternyata lahan gambut yang perannya begitu besar makin terancam. Gue ngga merasakan kebakaran hutan di riau, gue cuma liat di tv doang. Ternyata untuk jangka yang panjang itu, sangat mengancam kehidupan makhluk bumi.

Baiklah, semoga cerita gue soal gambut ini sedikit banyak bisa membuka mata yang baca, betapa tragisnya kondisi alam, hutan, terlebih gambut di Indonesia.

Kalo kata seniman yang pernah gue liput, kata ‘bela’ berarti kita membela hak hidup yang dimiliki orang. Begitu juga dengan ngambut. Jadi, jangan pernah surut bela gambut!


Sumber:

No comments:

Post a Comment