Sunday, January 14, 2018

Call Me by Your Name

Film-film yang masuk nominasi Golden Globe, gue catet, dan masuk dalam list film yang harus ditonton. Gimana pun bentuk filmnya.

Dan, baru aja gue nonton Call Me by Your Name.


(sumber: google)

Berlatar tahun 1980an, Oliver (Armie Hammer) seorang ilmuwan muda asal Amerika, yang cerdas, ramah dan rupawan, diundang ke sebuah rumah di tepi danau di Italia oleh seorang Profesor, untuk melaksanakan penelitian.

Bukan tugas berat. Karena dia memiliki banyak waktu untuk menikmati musim panas.. bersama Elio (Timothée Chalamet). Elio menjadi pemandu tamu, yang mengharuskan dia menghabiskan banyak waktu bersama Oliver.

(sumber: google)

Gue sama sekali belum tahu soal film. Sengaja ngga baca reviewnya lebih dulu. Sama sekali ngga tau, catat! Karena mungkin akan beda rasanya, jika kalian sudah tau latar belakang film.

Gue sangat menyadari betul (dengan ketidakketahuan itu) ada beberapa kode-kode yang kerap kedua tokoh perlihatkan, sehingga gue mengarah pada sebuah asumsi. Menurut gue, akan jadi berbeda kalo lo udah tahu latar belakang film.

Ada tingkat keakraban secara seksama, yang dibangun dalam hubungan karakternya. Cinta tidak datang secara sengaja, namun perlahan.

(sumber: google)

Ini film yang ‘malas’ menurut gue, alurnya sangat lambat. Bahkan kemana-mana.  Hanya saja sangat natural. Bagaimana anak umur 17 tahun, yang hanya puas menghabiskan waktu dengan membaca buku dan menulis not musik. Ketika ditanya oleh Oliver, apa yang dilakukan saat musim panas, Elio menjawab spontan, menunggu musim panas berakhir.

(sumber: google)

Ini menurut gue bisa dibilang film pencarian jati diri. Bagaimana Elio menemukan sesuatu yang berbeda dalam dirinya, dan ngga tau harus berbuat apa. Untungnya Elio hidup dalam keluarga yang kooperatif. Mungkin condong ke liberal. Keluarga tidak menjadi beban dalam cerita. Bahkan jika boleh dibilang, cerita lurus-lurus aja. Titik beratnya justru, pada perbedaan yang telah diterima dari awal sampe akhir.

Luca Guadagnino, sutradra, detail melihat karakter dan dialog. Sehingga meski panjang, susah untuk diabaikan.

Elio, Oliver, Michael Stuhlbarg yang berperan sebagai ayah Elio, bermain sangat apik. Menjadikan, cerita makin kuat. Ending shoot, film ini sangat menyentuh.  Ditambah latar musik yang aduhai. Sangat emosional.

Sebuah film yang membuat penonton merindukan cinta yang pernah menyakitinya.  Call Me by Your Name, mengajarkan kepada kita bahwa ada makna mendalam di dunia yang layak untuk diperhatikan.

Berkali-kali Oliver mengatakan ‘later’ yang mengisyaratkan akhir. Atau gue menyimpulkan secara sok tau, kalo cinta yang besar tidak perlu nyata.



Film ini ngga cocok buat yang lemah mental, apalagi berpikiran sempit dan tertutup.


7/10, Call Me by Your Name.

Monday, January 8, 2018

SUSAH SINYAL

Kasih sayang dinilai dari waktu.
Seberapa banyak kita meluangkan waktu,
Untuk mendengarkan,
Untuk bersama.


Mungkin kurang lebih itu pesan yang gue tanggap dari film koh ernest, Susah Sinyal. Seriusan, buat nulis ini sebenarnya malas minta ampun. Tapi untuk menggenapi trilogi review film koh ernest, gue harus. Lebay.

Nontonnya udah lama, bahkan sebelum tahun baru. Jadi banyak yang gue lupa nama tokohnya. Kita buat singkat dan general aja ya.

Singkat ceritanya itu, Ellen (Adinia Wirasti) seorang pengacara yang ngga punya waktu banyak bersama anaknya. Sibuk yekan, ngurusin masalah artis cerai. Sampe pada suatu kesempatan, dia akhirnya bisa berlibur bareng anaknya, Kiara (Aurora Ribero) ke Sumba. Sumba wujudnya surga, indah banget.

Koh ernest sendiri berperan sebagai partner sekaligus sahabat satu-satunya Ellen. Yang selalu ada, pas Ellen butuh. Termasuk nganterin Kiara beli kain di pasar. Dalihnya kan cina jago nawar.

Susah sinyal menurut gue tidak sebagus Cek Toko Sebelah. Tidak selucu CTS, iya. Tapi bukan berarti film ini jelek, engga. Pendekatannya berbeda. Kalo kemaren CTS ayah dan anak, sekarang ibu dan anak. Koh ernest juga dibantuk  mbak mei, istrinya kan buat cerita ini.

Keunikan koh ernest adalah membuat judul yang tidak mencakup garis besar film. ‘Susah Sinyal’ hanya sebagian potongan dialog, bukan generalisasi dari cerita. Ya mungkin karena susah sinyal itu mereka jadi semakin dekat. Gue ngga tau ini termasuk kekurangan apa engga. Tapi judulnya menjual. Ditambah promosi koh ernest yang sampe ada tour stand up kemana-mana, yang harusnya film ini lebih meledak dibanding CTS ya.  Atau koh ernest tau, dari segi cerita ini ngga bisa melawan CTS jadi dia butuh tour biar penonton makin penasaran. Gue juga ngga tau.

Beberapa elemen nampak kosong dan ngga dalam menurut gue. Cerita ibu dan anak kurang dramatis. Konflik tidak kompleks, terlalu sederhana. Dengan ada sinyal pun bisa terselesaikan. Tidak ada hubungan yang amat dalam dari Ellen dan Kiara. Atau actingnya Aurora kebanting sama Adinia, mungkin kali ya. Gue merasa konfliknya terlalu gampang terselesaikan. Beda pas gue nonton wonder. Ah beda kelas, sudahlah. Jadi kayak setiap karakter ada motivasi 'kenapa' yang kuat. Ini ngga ada di Susah Sinyal. Hubungan kedekatan yang kurang, kurang emosional.

Oh my god. Darius perannya terlalu sedikit. Padahal kan bisa jadi pemanis scene. Bapak-bapak ini masih aja ganteng udah punya anak banyak. Haha. Gue ingin Darius bisa lebih nakal sih disini. Dalam artian, peranan ke Ellen lebih banyak. Bukan cuma soal kerjaan, dan muncul pas di akhir.

Duet Abdur sama Arie Kriting, pecah sih. Pas. Walau ada beberapa part yang emang garing. Ditambah Ge Pamungkas dan Angie yang hadir sebagai pasangan norak. Ge ini emang jago acting, btw. Apa aslinya emang norak ya. haha. Satu lagi duet keren disini, adalah Aci sama Dodit. Pembantu rumah tangga yang tipe-tipe ngeselin, tapi bikin rame.

Salah satu yang gue suka lagi adalah, pemilihan musik. Soundtrack dari koh ernest emang selalu jenius. Enak, terngiang.

Keseluruhan, koh ernset emang lebih matang di film ini. Landscape Sumba menawan. Cuma cerita yang kurang lengkap dan kuat.


Ini menghibur? Iya. 7.3/10