Identitas Buku
Judul Buku : Akar Pule
Penulis : Oka
Rusmini
Penerbit : Grasindo
Tebal : 145
halaman
Bisa dibilang terlambat jika baru sekarang saya
merensensi buku Oka Rusmini terbitan tahun 2012 ini, yang berjudul Akar Pule. Saya baru mengenal karya Oka
di tahun 2012. Satu buku yang menurut saya wajib dibaca perempuan Bali, yaitu Kenanga. Dan setelah membaca buku kedua
Oka, sekumpulan cerpen yang diberi judul Akar Pule. Saya yakin, beliau adalah
tokoh feminimisme yang berasal dari Pulau Dewata. Walau banyak orang mengenal
Bali sebagai pulau nan indah dengan berjuta adat budaya, Bali juga menyimpan
kisah pilu yang harus diderita kaum perempuannya. Inilah yang menjadi topik
disetiap cerita yang dibawakan oleh Oka.
Beberapa pekan lalu, seorang dosen etika filsafat
dikampus tepat saya berkuliah menjelaskan teori Hermeneutika. Yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari
tentang interpretasi makna dan penafsiran terhadap teks. Hermeneutika menuntut adanya penilaian dari sebuah tulisan oleh
pembacanya. Menurut dosen saya tersebut ada beberapa alasan yang mempengaruhi Hermeneutika, diantaranya wawasan
pembaca, pengalaman, karena naskah terpisah dari penulis, dan kaitan dengan
sikap intoleransi umat beragama. Yang saya tangkap mengenai maksud dari naskah
terpisah dari penulis adalah, apabila penulis telah menulis sebuah cerita dan
dibaca oleh pembaca, si penulis tidak ikut campur mengenai pemahaman yang diperoleh
oleh pembaca. Karena setelah tulisan tersebut diberikan, ia akan ‘terpisah’
dari sang penulis.
Saya rasa, wawasan Oka mengenai soal perempuan dan
kasta di Bali begitu dalam. Didukung dari pengalamannya yang memang hidup
didalam kasta itu sendiri. Saya juga sempat ‘kepo’, siapa sih sosok Oka ini
sebenarnya. Mengapa cerita yang ia bawakan seakan ia sangat terlibat dalam
cerita itu. Dan saya mendapat jawabannya, Oka adalah anak yang terlahir dengan
kasta Brahmana. Iya bernama lengkap, Ida Ayu Oka Rusmini. Kedua orang tuanya
bercerai, dan iya hidup bersama ayahnya dalam suasana griya yang kaku. Dan sekarang, ia telah menikah dengan seorang yang
beda agama. Secara langsung, ia harus melepas kasta, karena ia menikah dengan
orang tanpa kasta. Terlebih, ia mengikuti agama yang suaminya anut, yaitu Islam.
Ia mendobrak kasta pada masyarakat Bali yang begitu kokoh, keluar dari
lingkungan griya dan hidup bersama
lelaki yang ia cintai. Terlepas dari point ketiga alasan Hermeneutika, dengan adanya beberapa pemaparan tadi, saya berani
menilai jika Oka sedikit banyak menceritakan mengenai kehidupannya dalam
kurungan adat Bali. Yang menjadikannya kini wanita dewasa.
Kita tidak akan membahas Hermeneutika itu secara mendalam, karena saya yakin kalian akan
dibuat pusing. Saya hanya ingin mengaitkan ini dengan cerpen-cerpen karangan
Oka yang saya baca dalam buku Akar Pule ini. Oka telah dikenal luas gemar
menulis novel, cerpen ataupun karya sastra lainnya dengan nuansa kaum perempuan
Bali yang diikat banyak aturan adat. Aturan
adat yang ia anggap kolot.
Cerpen pertama yang ingin saya bahas berjudul, Pastu.
Sebuah cerita pendek yang ia tulis pada bulan September tahun 2009. Cerpen ini
mengisahkan seorang gadis bernama Dayu Cenana dan sahabatnya, Cok Ratih. Kedua beradal
dari kaum Brahmana, kasta tertinggi di Bali. Cok Ratih seorang yang tidak
begitu memperdulikan kasta. Baginya itu semua begitu memuakkan, baginya hidup
sudah rumit jangan dibuat semakin rumit.
Cok Ratih akhirnya memilih hidup dengan I Made Pasek
Wibawa, yang dikarunia anak bahkan sebelum mereka menikah. Langkah ini ditempuh
akan keluarga Cok Ratih menyetujui hubungan mereka, hingga menikahkan keduanya.
Dayu telah memperingatkan sebelumnya, karena tentunya jika Cok Ratih menikah
dengan orang jaba (tidak berkasta)
kastanya akan menjadi turun, dan bagi keluarga yang masih memegang teguh adat,
ini adalah hal yang paling dihindarkan.
Setelah tiga bulan menikah, kandungan Cok Ratih
berusia tujuh bulan, namun naas ia mengalamai keguguran. Cok Ratih mengelami
pendarahan hebat, dan berkali-kali tidak sadarkan diri.
Hyang
Jagat, begitu luar biasnya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang
manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti
gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat! Hyang
Jagat!
(hal
88)
Melihat sahabatnya begitu menderita, Dayu Cenana
begitu pilu. Tapi Pasek suami Cok Ratih justru diam-diam merayunya dalam
kondisi seperti ini. Dia menawarkan untuk mengantarkan Dayu Cenana pulang, atau
makan malam. Sungguh menjijikan lelaki ini, katanya. Dayu Cenana tidak melihat
keprihatinan dimata Pasek. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatnya itu? Cok
Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarganya pun
putus karena dia menikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang
dikorbankan untuk cinta. Apakah ini pembalasan yang pantas ia terima?
Diakhir kisah, Cok Ratih memilih untuk mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri. Menurut konsep agama, seorang yang meninggal dengan
cara salah pati atau bunuh diri tidak
dapat diaben. Bahkan hingga akhir
hidupnya Cok Ratih tidak memperoleh keadilan atas pilihannya. Beginikah kaum
perempuan yang hidup di Bali.
Kisah selanjutnya datang dari cerpen Oka yang
berjudul, Bunga. Seorang gadis yang harus menyudahi hidupnya dengan kisah yang
tidak kalah tragis dari Cok Ratih. Bunga adalah gadis mungil berumur 7 tahun. Ia
piawai sekali menari dengan tubuhnya yang gemulai. Ketiga sahabatnya, laki-laki
semua sangat suka melihatnya menari. Mereka selalu memainkan gambelan dan Bunga
menari.
Yang menjadi penyebab kisah tragisnya adalah karena
ibu Bunga seorang pelacur. Salah satu orang tua temannya, Gus Putu bahkan melarang anaknya bermain
dengan Bunga. Mereka menganggap berteman dengan
seorang anak pelacur akan membawa sial. Hingga akhirnya terdengar kabar
bahwa Bunga meninggal dalam usia yang begitu muda dengan darah yang keluar dari
kemaluannya akibat diperkosa 3 orang lelaki. Edan!
Diakhir cerita, Oka menuliskan kritikannya terhadap
pemerkosa biadab. Oka mengatakan seharusnya pemerkosa anak seperti ini diberi
hukuman mati.
Oka Rusmini dengan apik menceritakan silsialah
kehidupan keluarga Griya. Serta semua cerita mengambil setting kaum perempuan (khususnya perempuan Bali) yang mengalami
penderitaan. Bahkan beberapa begitu tragis. Penderitaan itu diakibatkan oleh
laki-laki, lelaki yang memberi dominasi besar. Agak sedikit takut memang
membaca setiap judul baru dari cerpen yang disodorkan buku ini, takut membaca
cerita yang lebih tragis dari halaman ke halaman berikutnya.
Akar Pule sendiri diambil dari judul terakhir buku
ini. Tapi konon, Akar Pule adalah salah satu cerita singkat yang terdapat dalam
novel Oka yang berjudul Tempurung. Saya yang belum membaca Tempurung tentu
memiliki pengetahuan berbeda dengan yang sudah membaca. Tapi secara
keseluruhan, setelah membaca semua cerita pendek dalam buku ini saya menjadi
semakin bertanya-tanya, sebegitu tragiskah kehidupan wanita Bali? Selama ini
saya justru menutup mata dan telinga mendengar kisah-kisah wanita Bali ari
teman-teman saya.
Tapi bagi kalian yang belum tentu mengenal istilah
keluarga Bali, dalam novel ini tidak dilengkapi istilah dari beberapa bahasa
yang menggunakan Bahasa Bali.
Saya semakin tertarik, apa yang Oka suarakan dalam
novel-novelnya yang lain jika ia memang setia dalam image-nya kini dengan kental mengangkat ‘nasib perempuan Bali’.
Judul Cerpen yang terdapat dalam buku ini:
1. Tiga
Perempuan
2. Sipleg
3. Sepotong
Tubuh
4. Seorang
Perempuan dan Pohonnya
5. Sawa
6. Pastu
7. Palung
8. Grubug
9. Bunga
10. Akar
Pule