Tuesday, December 9, 2014

Perempuan Bali

Identitas Buku
Judul Buku          : Akar Pule
Penulis                : Oka Rusmini
Penerbit              : Grasindo
Tebal                  : 145 halaman
Tahun Terbit       : 2012




Bisa dibilang terlambat jika baru sekarang saya merensensi buku Oka Rusmini terbitan tahun 2012 ini, yang berjudul Akar Pule. Saya baru mengenal karya Oka di tahun 2012. Satu buku yang menurut saya wajib dibaca perempuan Bali, yaitu Kenanga. Dan setelah membaca buku kedua Oka, sekumpulan cerpen yang diberi judul Akar Pule. Saya yakin, beliau adalah tokoh feminimisme yang berasal dari Pulau Dewata. Walau banyak orang mengenal Bali sebagai pulau nan indah dengan berjuta adat budaya, Bali juga menyimpan kisah pilu yang harus diderita kaum perempuannya. Inilah yang menjadi topik disetiap cerita yang dibawakan oleh Oka.

Beberapa pekan lalu, seorang dosen etika filsafat dikampus tepat saya berkuliah menjelaskan teori Hermeneutika. Yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna dan penafsiran terhadap teks. Hermeneutika menuntut adanya penilaian dari sebuah tulisan oleh pembacanya. Menurut dosen saya tersebut ada beberapa alasan yang mempengaruhi Hermeneutika, diantaranya wawasan pembaca, pengalaman, karena naskah terpisah dari penulis, dan kaitan dengan sikap intoleransi umat beragama. Yang saya tangkap mengenai maksud dari naskah terpisah dari penulis adalah, apabila penulis telah menulis sebuah cerita dan dibaca oleh pembaca, si penulis tidak ikut campur mengenai pemahaman yang diperoleh oleh pembaca. Karena setelah tulisan tersebut diberikan, ia akan ‘terpisah’ dari sang penulis.
Saya rasa, wawasan Oka mengenai soal perempuan dan kasta di Bali begitu dalam. Didukung dari pengalamannya yang memang hidup didalam kasta itu sendiri. Saya juga sempat ‘kepo’, siapa sih sosok Oka ini sebenarnya. Mengapa cerita yang ia bawakan seakan ia sangat terlibat dalam cerita itu. Dan saya mendapat jawabannya, Oka adalah anak yang terlahir dengan kasta Brahmana. Iya bernama lengkap, Ida Ayu Oka Rusmini. Kedua orang tuanya bercerai, dan iya hidup bersama ayahnya dalam suasana griya yang kaku. Dan sekarang, ia telah menikah dengan seorang yang beda agama. Secara langsung, ia harus melepas kasta, karena ia menikah dengan orang tanpa kasta. Terlebih, ia mengikuti agama yang suaminya anut, yaitu Islam. Ia mendobrak kasta pada masyarakat Bali yang begitu kokoh, keluar dari lingkungan griya dan hidup bersama lelaki yang ia cintai. Terlepas dari point ketiga alasan Hermeneutika, dengan adanya beberapa pemaparan tadi, saya berani menilai jika Oka sedikit banyak menceritakan mengenai kehidupannya dalam kurungan adat Bali. Yang menjadikannya kini wanita dewasa.

Kita tidak akan membahas Hermeneutika itu secara mendalam, karena saya yakin kalian akan dibuat pusing. Saya hanya ingin mengaitkan ini dengan cerpen-cerpen karangan Oka yang saya baca dalam buku Akar Pule ini. Oka telah dikenal luas gemar menulis novel, cerpen ataupun karya sastra lainnya dengan nuansa kaum perempuan Bali yang diikat banyak aturan adat.  Aturan adat yang ia anggap kolot.

Cerpen pertama yang ingin saya bahas berjudul, Pastu. Sebuah cerita pendek yang ia tulis pada bulan September tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan seorang gadis bernama Dayu Cenana dan sahabatnya, Cok Ratih. Kedua beradal dari kaum Brahmana, kasta tertinggi di Bali. Cok Ratih seorang yang tidak begitu memperdulikan kasta. Baginya itu semua begitu memuakkan, baginya hidup sudah rumit jangan dibuat semakin rumit.
Cok Ratih akhirnya memilih hidup dengan I Made Pasek Wibawa, yang dikarunia anak bahkan sebelum mereka menikah. Langkah ini ditempuh akan keluarga Cok Ratih menyetujui hubungan mereka, hingga menikahkan keduanya. Dayu telah memperingatkan sebelumnya, karena tentunya jika Cok Ratih menikah dengan orang jaba (tidak berkasta) kastanya akan menjadi turun, dan bagi keluarga yang masih memegang teguh adat, ini adalah hal yang paling dihindarkan.
Setelah tiga bulan menikah, kandungan Cok Ratih berusia tujuh bulan, namun naas ia mengalamai keguguran. Cok Ratih mengelami pendarahan hebat, dan berkali-kali tidak sadarkan diri.

Hyang Jagat, begitu luar biasnya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat! Hyang Jagat!
(hal 88)

Melihat sahabatnya begitu menderita, Dayu Cenana begitu pilu. Tapi Pasek suami Cok Ratih justru diam-diam merayunya dalam kondisi seperti ini. Dia menawarkan untuk mengantarkan Dayu Cenana pulang, atau makan malam. Sungguh menjijikan lelaki ini, katanya. Dayu Cenana tidak melihat keprihatinan dimata Pasek. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatnya itu? Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarganya pun putus karena dia menikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang dikorbankan untuk cinta. Apakah ini pembalasan yang pantas ia terima?
Diakhir kisah, Cok Ratih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Menurut konsep agama, seorang yang meninggal dengan cara salah pati atau bunuh diri tidak dapat diaben. Bahkan hingga akhir hidupnya Cok Ratih tidak memperoleh keadilan atas pilihannya. Beginikah kaum perempuan yang hidup di Bali.

Kisah selanjutnya datang dari cerpen Oka yang berjudul, Bunga. Seorang gadis yang harus menyudahi hidupnya dengan kisah yang tidak kalah tragis dari Cok Ratih. Bunga adalah gadis mungil berumur 7 tahun. Ia piawai sekali menari dengan tubuhnya yang gemulai. Ketiga sahabatnya, laki-laki semua sangat suka melihatnya menari. Mereka selalu memainkan gambelan dan Bunga menari.
Yang menjadi penyebab kisah tragisnya adalah karena ibu Bunga seorang pelacur. Salah satu orang tua temannya,  Gus Putu bahkan melarang anaknya bermain dengan Bunga. Mereka menganggap berteman dengan  seorang anak pelacur akan membawa sial. Hingga akhirnya terdengar kabar bahwa Bunga meninggal dalam usia yang begitu muda dengan darah yang keluar dari kemaluannya akibat diperkosa 3 orang lelaki. Edan!
Diakhir cerita, Oka menuliskan kritikannya terhadap pemerkosa biadab. Oka mengatakan seharusnya pemerkosa anak seperti ini diberi hukuman mati.

Oka Rusmini dengan apik menceritakan silsialah kehidupan keluarga Griya. Serta semua cerita mengambil setting kaum perempuan (khususnya perempuan Bali) yang mengalami penderitaan. Bahkan beberapa begitu tragis. Penderitaan itu diakibatkan oleh laki-laki, lelaki yang memberi dominasi besar. Agak sedikit takut memang membaca setiap judul baru dari cerpen yang disodorkan buku ini, takut membaca cerita yang lebih tragis dari halaman ke halaman berikutnya.

Akar Pule sendiri diambil dari judul terakhir buku ini. Tapi konon, Akar Pule adalah salah satu cerita singkat yang terdapat dalam novel Oka yang berjudul Tempurung. Saya yang belum membaca Tempurung tentu memiliki pengetahuan berbeda dengan yang sudah membaca. Tapi secara keseluruhan, setelah membaca semua cerita pendek dalam buku ini saya menjadi semakin bertanya-tanya, sebegitu tragiskah kehidupan wanita Bali? Selama ini saya justru menutup mata dan telinga mendengar kisah-kisah wanita Bali ari teman-teman saya.
Tapi bagi kalian yang belum tentu mengenal istilah keluarga Bali, dalam novel ini tidak dilengkapi istilah dari beberapa bahasa yang menggunakan Bahasa Bali.

Saya semakin tertarik, apa yang Oka suarakan dalam novel-novelnya yang lain jika ia memang setia dalam image-nya kini dengan kental mengangkat ‘nasib perempuan Bali’.
Judul Cerpen yang terdapat dalam buku ini:
1. Tiga Perempuan
2. Sipleg
3. Sepotong Tubuh
4. Seorang Perempuan dan Pohonnya
5. Sawa
6. Pastu
7. Palung
8. Grubug
9.  Bunga
10. Akar Pule

No comments:

Post a Comment