Thursday, February 23, 2017

Salawaku yang Terlalu Kaku

Siapa sih yang ngga mau nonton di bioskop gratis, iya kan? Terlebih Film Indonesia, dan masih wara-wiri di festival luar negeri dan belum masuk pasar Indonesia sendiri. Bener gak? Gue sih suka. Makanya gue bela-belain buat nonton di Plaza Indonesia. Karena pas kebetulan ada event Plaza Indonesia Film Festival, Love Philosophy. Nah kenapa gue tau event ini? Bukan gue sih, tepatnya teman-teman gue. Karena tahun lalu, film kami yang berjudul “Opor-operan” masuk nominasi kompetisi film-nya yang bertema Celebrating Women. Oke, kita lewatkan masa kejayaan itu.

Nah yang penting adalah, bukan cuma kompetisi, di event  itu juga nonton bareng film gratis, ditambah kalo elo beruntung, ada diskusi bersama sang empunya film. That’s the point, kenapa acara ini begitu menarik menurut gue.

(sumber: google.com)

Tahun ini ada beberapa film yang dibilang ‘keren’ mampir disini, yaitu ada Salawaku, Ziarah, dan yang sedang ramai dperbincangkan adalah Bukaan 8. Yang masih hots di bioskop kesayangan anda. Acara ini berlangsung dari tanggal 22-24 Februari 2017. Kalo kalian masih kelewat, untuk tahun depan dicatet tanggalnya dan follow Instagram Plaza Indonesia.

Weits, tulisan ditulisan kali ini gue spesial diiringi oleh musik merdunya dari FOURTWNTY. Sebelumnya gue belum kenal, siapa mereka, apa sih lagu-lagunya. Tapi tadi pas pulang nonton film, di lantai 4 (kalo gue ngga salah) ada pameran broken heart, yang dimana mereka main disana. Mendengar satu reff lagu aja, gue langsung suka. Mereka sangat keren. Tetiba jadi fans karbitan yang sok tau music indie. Bodo ah.

Sekarang gue bakal bahas film yang gue tonton ditanggal 23 kemaren. Yaks, itu adalah Salawaku. Pengen nonton film ini karena masuk nominasi FFI, dan tentu saja di trailer nya bagus, pun dilengkapi dengan aktris berbakat Indonesia, Karina Salim.

(sumber: google.com)

Dari apa yang gue baca, bukan yang gue tonton, Salawaku adalah Film Indonesia bergenre road movie. Apa itu, ya intinya menurut gue film drama tentang perjalanan gitu lah ya. Film ini disutradari oleh Pritagita Arianegara dengan produser film Ray Zulham dan Michael Julius, serta naskah film ditulis oleh Iqbal Fadly dan Titien Watimena. Memunculkan bintang baru yaitu, Elko Kastanya (Salawaku), Karina Salim (Saras), JFlow (Kawanua), dan Binaiya (Raihaanun). Kurang lebih merekalah yang mendominasi film ini. Ohya, proses syuting Salawaku dilakukan di Pulau Seram Maluku. Kalian pasti takjub. Indah banget pulau seram itu. Itu kenapa gue setuju film ini harus tayang di festival film luar.

Nah, cerita dimulai dari rencana Liburan Saras ke Pulau Seram, Maluku yang dikarenakan pelariannya dari masalah di Jakarta. Kemudian secara tak sengaja di bertemu dengan Salawaku di sebuah pulau. Salawaku sendiri sedang mencari sang kakak, Binaiya yang kabur dari rumah, tanpa penonton tau penyebabnya. Bersama Saras yang ikut mencari Binaiya, muncul kemudian Kawanua. Awalnya gue kira pertolongan Kawanua tulus karena tidak tega melihat Salawaku bersedih, dan ternyata ad sebuah rahasia dibalik itu. Kalo sudah tayang dibioskop sok  bisa langsung ditonton.

Bukan tidak mencintai Film bikinan anak negeri, tapi kritik yang membangun gue rasa perlu. Ada beberapa logika yang hilang dari film ini. Adegan yang kurang pas, bahkan editing yang agak kasar. Tapi dari sisi pemandangan yang ingin di expose, Salawaku cukup berhasil. Cukup loh ya.

Pertama, film ini dibuka dengan tangisan Binaiya. Gue ngga perlu bertanya apa maksud tangisannya, karena pasti ada di tengah atau di akhir film. Keanehan yang gue temukan adalah tangisan yang lebay, dan cut editing yang apa ya. Gini, kalo lo nonton film lo ngga bakal nggeh kalo shoot atau scene itu ganti, karena editing yang halus. Iya kan? Tapi kalo ini ditiap cut ke medium atau close up shoot, gue ngerasa kayak patah gitu. Ntah ini cuma gue yang ngerasa atau gimana. Yang pasti, tidak indah menurut gue.

Kedua, acting yang ngga banget dari murid SD beserta guru tempat Salawaku sekolah. Kalo masalahnya ini, menurut gue lebih kepada tanggung jawab sutradara. Bahkan acting Karina Salim yang bagus di film sebelumnya, jadi kaku disini. Cuman untuk beberapa dialog, bagus, tapi sisanya seperti apa ya. Akh, begitulah. Semua begitu kaku dan dibuat-buat. Pengen ketawa tapi tidak boleh. Maafkan.

Selanjutnya adalah, logika saat Salawaku menemukan Saras terdampar di Pulau Kecil. Salawaku yang tidak kenal Saras langsung duduk disebelah Saras, yang notabene adalah orang yang bahkan belum dia kenal. Memanggil dan menggoyangkan badan saras yang sedang begong, dalam posisi bersebelahan. Lalu memberi saras makan. What?! Gue coba nanya sama kalian, kalo ketemu orang baru kalian pasti nanya dari depan kan. Bukan tiba-tiba seperti pernah kenal.

Adalagi nih. Singkatnya ternyata Binaiya hamil oleh perbuatan Kawanua. Kawanua sendiri tidak berani ngomong ke bapaknya, karena bapak doi adalah tokoh desa gitu. Jadi itu sebuah aib, yang mungkin besar bisa membuat mereka terusir dari desa. Okey, keganjilannya adalah pada saat pertama Kawanua bertemu pertama dengan Binaiya, mereka langsung pelukan dengan sumringah. What?! Kalo mereka segembira itu, kenapa film ini dibuka dengan tangisan yang begitu lebay.

Ada banyak adegan yang dimunculkan di sebuah tempat ada motivasi adegan apa itu. Seperti bambu yang dirajut menyerupai salib. Jika kalian liat, ada banyak ornamen salib yang dimunculkan dan dibawa kemana-mana oleh tokoh. Tapi tidak dijelaskan, makna itu sendiri. Motivasinya apa.

Begitu juga dengan adegan marah di padang rumput, kenapa harus disana, dengan adegan yang super kaku. Huh. Terus tiba-tiba masuk ke dalam air terjun, lalu pandangan mereka beradu, kemudian adegan di pesisir pantai. Bahkan menurut gue, untuk sebotol alkohol yang dibawa Kawanua itu sepertinya punya makna. Yang teramat aneh adalah adegan, Saras yang sedang kebayang dialognya bersama mantan pacar. Ini udah kayak FTV di SCTV. Ah sayang film seperti ini dapet banyak nominasi di FFI walau ngga menang.

Disamping ada banyak lelucon sih ya, yang dimunculkan. Gimana udiknya Salawaku yang ketemu orang Jakarta seperti Saras. Bahkan yang ngga ngerti ‘gagal paham’ itu apa. Ini nih kritikan buat pemerintahnya pak de, mbok ya jangan cuma infrastruktur nya aja yang disamaratakan. Tapi juga Bahasa gaulnya. Jadi Bahasa gaul Jakarta, yang meng-Indonesia. Gitu toh.

Kalo kata temen gue, film ini mungkin akan jadi bagus kalo digarap oleh sutradara yang benar. Kayak Laskar Pelangi yang lo bisa nikmatin keindahan alamnya tanpa miskin pesan moral. Sungguh kaku sekali mba Prita ini. Mungkin dicoba di film selanjutnya ya mbak. Maafkan penonton mu ini yang begitu bersemangat memberi saran. Haha.

Bahkan pesan yang disampaikan film ini, yang tertera dalam judul terlalu eksplisit. Itu ada pada poster film. Dan gue juga bertanya-tanya, kenapa filmnya judulnya Salawaku. Padahal menurut gue tidak cocok dengan isi cerita. Tadinya gue mikir Salawaku itu artinya apa gitu kan. Hhm sudahlah.

Mending berdendang lagi dengan lagunya FOURTWNTY.

Berlari-lari, di taman mimpiku…
Imijasinya telah menghanyutkanku.
Mimpiku telah sempurna,
Tak seperti orang biasa…


Maaf ya mbak Prita, sepertinya 6/10 cukup lah rating untuk Salawaku. Ditunggu lo mba film yang lebih nendang. Ini terlalu kaku mbae, kayak kerah baju baru.


Saturday, February 11, 2017

Singa itu Mencari Keluarganya

Sutradara : Garth Davis
Skenario  : Luke Davies, berdasarkan buku karya Saroo Brierley
Pemain     : Dev Patel, Nicole Kidman, Sunny Pawar, Abhishek Bharate, Ronney Mara

Beruntung saya diberi kesempatan untuk menonton Film Lion yang diputar secara gratis di Bioskop XXI Senayan City beberapa pekan lalu oleh Kedubes Australia, dalam Festival Sinema Autralia-Indonesia.

Saya sudah kesemsem pengen nonton Lion, sejak lihat trailer-nya di youtube. Ditambah yang main adalah Dev Patel. Sekali lagi, DEV PATEL. Menurut gue, dia adalah salah satu aktor India yang potensial. Udah sering melanglang buana di Hollywood.

Lion adalah sebuah film yang bercerita tentang kisah nyata seorang anak di India yang hilang, kemudian di adopsi oleh sepasang suami-istri di Australia. Lion berhasil menyambet 6 nominasi Academy Awards, yakni  Film terbaik, Aktris dan Aktor pendukung terbaik, Sinematografi terbaik, dan Skenario adaptasi cerita terbaik. Wow!

Saroo (Sunny Pawar), seorang anak berusia 5 tahun yang harus menghadapi berbagai terpaan penderitaan. Saroo harus kehilangan sang kakak di stasiun, saat ia memaksa untuk ikut bekerja bersama Guddu (Abhishek Bharate). Ibu Saroo hanya seorang pembantu, jadi Guddu bekerja serabutan untuk membantu menghidupi keluarga. Saroo kemudian masuk dalam kereta dan terbawa 1.600 kilometer, menuju Kolkata dari kampung halamannya di Madhya Pradesh. Ini terjadi di sekitar tahun 1986.

Lion sendiri diangkat dari sebuah buku berjudul, A Long Way Home yang ditulis oleh Saroo Brierley berdasarkan pengalaman hidupnya. Saat kehilangan Guddu, Saroo harus merasakan menjadi gelandangan, bagaimana kejamnya waktu malam di India. Bagaimana anak-anak diperbudak, di jual-beli, hingga mendapat kekerasan. Saroo sendiri pernah hamper dijual, oleh seorang laki-laki yang ia kira baik sebelumnya.

Saroo kemudian masuk ke dalam yayasan yatim piatu. Dibanding anak-anak yang lain, Saroo beruntung. Ia kemudian diadopsi oleh sepasang suami istri di Australia. Tak hanya Saroo, orang tua angkat Saroo juga mengadopsi anak laki-laki yang juga orang India.

Saat Saroo tumbuh dewasa, ia pikiran mengenai dari mana ia berasal mulai muncul. Bahkan bayangan mengenai sosok sang kakak, Gaddu seakan begitu nyata. Saroo akhirnya membulatkan niatnya untuk serius mencari tempat ia berasal di India. Dengan bantuan google earth, Saroo menghabiskan waktu selama 6 tahun untuk mencari darimana ia berasal. Ia tidak tahu daerah tempatnya tinggal, tidak bisa berbahasa India, bahkan nama Ibu nya sendiri. Saat ia kecil, ia hanya memanggil Ami, yang artinya Ibu.

Setelah yakin, Saroo memutuskan untuk pergi ke India dan mencari tempat darimana dulu ia berasal. Cerita ini begitu haru. Hampir semua orang yang berada di studio bioskop saya lihat mengusap air mata (terkecuali gue).

Masing-masing kalian pasti bertanya, kenapa diberi judul Lion. Saat melihat trailernya saya juga penasaran, apa hubungan film ini dengan judulnya sendiri. Di akhir film kalian akan tau. Saroo dalam Bahasa India harusnya dibaca Sheruu, namun Saroo kecil mengeja namanya Saro, yang berarti Singa dalam Bahasa India. Kurang lebih begitu. karena sudah menonton semingguan yang lalu, jadi saya sendiri agak lupa.

Lion, sebuah film biografi yang menurut saya tidak membosankan. Lion hadir dari sebuah realita hidup di Indonesia. Dimana banyak terjadi krimininalisasi terhadap anak-anak, perdagangan manusia, penelantaran, yang semua berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Saya sendiri terkagum-kagum dengan sinematografi yang luar biasa dari film ini. Begitu indah, bahkan untuk situasi yang menyedihkan. Pantas jika masuk dalam nominasi Oscar.

Cerita Saroo sendiri tidak dibuat banyak darama, natural apa adanya. Beda halnya dengan di Indonesia yang biasanya bumbu drama pasti jadi pelaris film biografi. Cerita yang runut, dengan para actor yang luar biasa. Selain Dev Patel, Sunny begitu apik memaikan Saroo. Begitu lincah, begitu kuat, begitu menyedihkan. Bahkan, menurut Saroo asli, Saroo kecil atau Sunny Pawar kita telah menjadi seorang bintang cilik yang luar biasa. Dia bahkan telah main film lagi. Ah, semoga kelak dia bisa melebihi Dev Patel. Banyak artis dan aktor India menurut saya hanya jago dikandang.

Oya, dalam film ini juga dibumbui ciri khas film Bollywood, yaitu berdialog sembari bernyanyi. Lucu. Ini yang dinamakan kolaborasi budaya.

Ceritanya begitu lengkap. Tidak ada adegan yang sia-sia, ditambah sinematografi apik. Cuma seorang Dev Patel menurut saya terlalu ganteng untuk berperan dalam film ini. Haha sangat subjektif.

Sebelum lupa, ada yang begitu menempel di ingatan saya setelah menonton film ini. Itu adalah alasan ibu angkat Saroo mengangkat anak. Karena saat di film, Saroo menanyakan ini pada ibunya. Kenapa ia harus mengangkat anak, apa karena dia tidak bisa punya anak. Kurang lebih begini jawaban sang ibu,

Aku sudah memutuskan ini dengan laki-laki yang mencintaiku. Aku menerima dia karena dia menghargai dan menghormati keputusanku. Aku bukannya tidak bisa memiliki, aku bisa, kalau aku mau. Tapi aku tidak akan memberi dunia ini beban yang lebih, dengan menambah jumlah manusia. Aku akan merawat manusia yang justru yang membutuhkan orang tua. Memberikan kalian kesempatan untuk merasakan kasih saying, jauh leboh baik. Dan aku sangat mencintai kalian.

Begitu kurang lebih, cuplikan dialognya. Kalo gue sendiri sih terenyuh. Gimana dengan kalian?


Semasih film ini di bioskop, saya sarankan untuk ditonton. Karena Garth Davis memperlihatkan pada dunia, bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup layak. Film ini juga bekerja sama dengan asosiasi orang hilang di Indonesia. Semacam gerakan social untuk menyelamatkan anak-anak di India. 8.5/10 untuk Lion. Tetaplah Mengaung seperti Singa, Saroo!

 Saat Saroo berada di yayasan yatim piatu


Saroo pertama kali bertemu orang tua angkatnya di Australia 


 Dialog bersama the real Mr. Saroo, jadi kisah nyata ini beneran Nyata.


gue ngga nonton sendiri loh ya, cuma yang di foto maunya satu. *ngeles*

catatan:
gue memfoto cuma sedikit, karena temen sebalah gue ngatain gue kampung. Huft!

So, enjoy Lion guys!

Tuesday, February 7, 2017

Pelarian Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-Kata

Tapi apakah hidupku masih butuh perumpamaan?
Namaku diumumkan di koran-koran, 
rumahku digerebek,
biniku diteror,
dipanggil koramil,
diinterogasi,
diintimidasi.

Anakku 4 tahun melihatnya.
Masihkan kau butuh perumpamaan?
Untuk mengatakan, aku tidak merdeka!



Puisi diatas, saya kutip dari musikalisasi Fajar Merah saat sedang tampil di salah satu TV swasta di Indonesia. Fajar Merah adalah seorang anak dari aktivis bernama Wiji Tukul yang sampai saat ini tidak pernah terdengar gaungnya. 

Saya tidak kenal dengan Wiji, tidak akrab dengan karya-karyanya. Ketertarikan saya terhadap sastra datang terlambat. Tapi tentu itu bukan masalah. Saya pertama kali membaca salah satu puisi Wiji dengan judul "tetangga sebelahku" di line (kalo tidak salah). Tergoda dengan dengan satu puisinya, saya mencoba mencari puisinya yang lain. Termasuk mencari sosok Wiji yang begitu misterius. Saya hanya tahu ia adalah seorang yang hilang dalam pelarian, saat rezim Soeharto. Cukup. Saya tidak mencarinya lagi. Sampai ketika muncul film Istrahatlah Kata-Kata.

Saking penasarannya, saya rela membeli tiket yang jauh lebih mahal dibanding biasanya.


Jika biasanya, film biografi khususnya di Indonesia adalah untuk tokoh terkenal, seperti Habibie, Tjokroaminoto, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Tapi berbeda dengan ini. Yosef Anggi Noen justru mengangkat kisah Wiji Thukul yang bahkan sampai sekarang tidak jelas nasibnya. 

Film ini dibuka dengan adegan di kantor polisi, saat seorang polisi menangih kesaksian dari anak Wiji (Gunawan Maryanto), Fitri. Ia dipaksa memberikan informasi tentang keberadaan Sang Ayah. Fitri masih kecil. Begitu lugu. Cukup menyedihkan, pada usia sekecil itu dia harus merasakan kebejatan rezim yang berkuasa. Fitri tidak sendiri, ada Sipon (Marissa Anita), istri Wiji yang selalu setia menanti kedatangan Wiji Thukul.

Wiji sebelumnya tinggal bersama anaknya dan istrinya di Solo. Ia seorang buruh, pimpinan demonstran, aktivis gerakan kiri dan penyair yang sajaknya ditakuti pemerintah jaman itu. Karena alasan itulah ia menjadi bulan-bulanan, hingga menjadi buronan. Wiji melakukan pelarian ke Pontianak dibantu temannya. Inilah yang paling banyak diceritakan dalam Istirahatlah Kata-Kata, bagaimana pelarian seorang Wiji Tukul.

Jika digambarkan dengan 3 kata, menurut saya Istirahatlah Kata-Kata adalah film yang Sunyi, Simbolik dan Sederhana.

Sunyi.
Banyak sekali gambar yang menjelaskan kesunyin Wiji, keheningan, 'diam'nya Wiji. Seorang pemberontak, harus bersembunyi demi mempertahankan hidupnya. Berpindah-pindah, ketakutan, dan asing. Film ini diantarkan dengan narasi yang berasal dari puisi Wiji Thukul. Mungkin itu salah satu faktor yang membuat film ini semakin sunyi. Puisi Wiji yang kental dengan pembelaan kaum tertindas. Yang betapa ketirnya harus menaruh rasa curiga pada setiap orang yang menatap dirinya. 

Tiap adegannya pun yang saya rasakan, diambil terlalu lama, dengan long shoot sangat sangat gambar dari film ini close up. Saya sendiri geregetan, harusnya durasi mungkin bisa dipangkas dengan shoot adegan yang diambil terlalu lama. Disisi lain, Anggi mungkin ini membuat penonton merasakan apa yang ada di sekeliling Wiji. Merasakan betapa sepinya hidup menjadi seorang pelarian.

Simbolik.
Film ini sarat dengan simbol-simbol. Sepertinya ada alasan atas setiap simbol yang dimunculkan. Misalnya saat Midah (Joned Suryatmoko) meminjam sikat gigi dan odol kepada Sipon, dengan paksaan. Cola-cola, kacang dan sabun yang ada di Motel di Solo. Bulu Tangkis, saat ia melakukan pelarian di Pontianak. Dan mungkin ada banyak lagi, yang saya sendiri sampai lupa.

Bahkan celana 'gemes' merah yang dibelikan Wiji untuk Sipon. Tentu saja ini adalah gambaran hasyrat seks yang begitu luar biasa. Tapi yang saya salut adalah, perlakuan Anggi dalam ini yang mampu mengarahkan penonton kepada hasyrat Wiji tanpa harus memunculkan adegan yang tidak perlu. Sangat sederhana.

Sederhana.
Semua yang terjadi dalam film ini menurut saya begitu sederhana. Begitu nyata dan sepertinya dekat. Bagaimana hidup di masing-masing daerah yang menjadi tempat pelariannya.

Saya sengaja mengulur waktu menulis review film ini. Saya mencari beberapa pembenaran, sekaligus pendukung. "ada ngga si penonton, yang sama ngeliatnya sama kayak gue". 

Dan benar, beberapa artikel berita menulis beberapa ulasan dan kritikan terhadap film ini.

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-38254525

https://tirto.id/istirahatlah-kata-kata-film-penting-belum-tentu-bagus-chKf

kalo kata teman saya, Wiji Thukul disini seperti pengecut. Mungkin ada benarnya. Durasinya menurut saya terlalu panjang untuk cerita yang pendek. Banyak adegan dan dialog yang tidak penting. Adapula tokoh yang hanya melengkapi, bahkan dengan tidak ada dia pun film ini tidak kehilangan maknanya. Sama sekali tidak ada keberanian yang diperlihatkan Wiji, hanya dalam puisi. Cerita yang bagus, tapi pengemasan yang kurang proporsional. 

Tidak jelek, buktinya Istirahatlah Kata-Kata berhasil melang-lang buana hingga ke penjuru dunia. Tapi ya mungkin seharusnya bisa dibuat lebih bagus lagi. Apalagi dengan waktu riset hingga 1,5 tahun.

Saya sendiri, tertegun dengan narasi yang dimunculkan. Membuat saya mengira-ngira, seperti inikah sosok seorang Wiji.

"Rezim ini bangsat, tapi takut dengan kata-kata"

"aku tidak ingin kamu pergi,
aku tidak ingin kamu pulang,
aku ingin kamu ada"

Setidaknya film ini telah, mengusik ingatan kita kembali betapa kejamnya orde baru. Betapa banyaknya suara-suara yang dibungkap, nyawa yang dihilangkan, hanya demi mempertahankan kekuasaan. Dan Wiji Thukul hanya salah satu dari banyak pemberontak yang bernasib naas.

Keren Mas Anggi, atas untaian kata-kata dalam Istirahatlah Kata-Kata. 7.5/10.