Tuesday, February 7, 2017

Pelarian Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-Kata

Tapi apakah hidupku masih butuh perumpamaan?
Namaku diumumkan di koran-koran, 
rumahku digerebek,
biniku diteror,
dipanggil koramil,
diinterogasi,
diintimidasi.

Anakku 4 tahun melihatnya.
Masihkan kau butuh perumpamaan?
Untuk mengatakan, aku tidak merdeka!



Puisi diatas, saya kutip dari musikalisasi Fajar Merah saat sedang tampil di salah satu TV swasta di Indonesia. Fajar Merah adalah seorang anak dari aktivis bernama Wiji Tukul yang sampai saat ini tidak pernah terdengar gaungnya. 

Saya tidak kenal dengan Wiji, tidak akrab dengan karya-karyanya. Ketertarikan saya terhadap sastra datang terlambat. Tapi tentu itu bukan masalah. Saya pertama kali membaca salah satu puisi Wiji dengan judul "tetangga sebelahku" di line (kalo tidak salah). Tergoda dengan dengan satu puisinya, saya mencoba mencari puisinya yang lain. Termasuk mencari sosok Wiji yang begitu misterius. Saya hanya tahu ia adalah seorang yang hilang dalam pelarian, saat rezim Soeharto. Cukup. Saya tidak mencarinya lagi. Sampai ketika muncul film Istrahatlah Kata-Kata.

Saking penasarannya, saya rela membeli tiket yang jauh lebih mahal dibanding biasanya.


Jika biasanya, film biografi khususnya di Indonesia adalah untuk tokoh terkenal, seperti Habibie, Tjokroaminoto, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Tapi berbeda dengan ini. Yosef Anggi Noen justru mengangkat kisah Wiji Thukul yang bahkan sampai sekarang tidak jelas nasibnya. 

Film ini dibuka dengan adegan di kantor polisi, saat seorang polisi menangih kesaksian dari anak Wiji (Gunawan Maryanto), Fitri. Ia dipaksa memberikan informasi tentang keberadaan Sang Ayah. Fitri masih kecil. Begitu lugu. Cukup menyedihkan, pada usia sekecil itu dia harus merasakan kebejatan rezim yang berkuasa. Fitri tidak sendiri, ada Sipon (Marissa Anita), istri Wiji yang selalu setia menanti kedatangan Wiji Thukul.

Wiji sebelumnya tinggal bersama anaknya dan istrinya di Solo. Ia seorang buruh, pimpinan demonstran, aktivis gerakan kiri dan penyair yang sajaknya ditakuti pemerintah jaman itu. Karena alasan itulah ia menjadi bulan-bulanan, hingga menjadi buronan. Wiji melakukan pelarian ke Pontianak dibantu temannya. Inilah yang paling banyak diceritakan dalam Istirahatlah Kata-Kata, bagaimana pelarian seorang Wiji Tukul.

Jika digambarkan dengan 3 kata, menurut saya Istirahatlah Kata-Kata adalah film yang Sunyi, Simbolik dan Sederhana.

Sunyi.
Banyak sekali gambar yang menjelaskan kesunyin Wiji, keheningan, 'diam'nya Wiji. Seorang pemberontak, harus bersembunyi demi mempertahankan hidupnya. Berpindah-pindah, ketakutan, dan asing. Film ini diantarkan dengan narasi yang berasal dari puisi Wiji Thukul. Mungkin itu salah satu faktor yang membuat film ini semakin sunyi. Puisi Wiji yang kental dengan pembelaan kaum tertindas. Yang betapa ketirnya harus menaruh rasa curiga pada setiap orang yang menatap dirinya. 

Tiap adegannya pun yang saya rasakan, diambil terlalu lama, dengan long shoot sangat sangat gambar dari film ini close up. Saya sendiri geregetan, harusnya durasi mungkin bisa dipangkas dengan shoot adegan yang diambil terlalu lama. Disisi lain, Anggi mungkin ini membuat penonton merasakan apa yang ada di sekeliling Wiji. Merasakan betapa sepinya hidup menjadi seorang pelarian.

Simbolik.
Film ini sarat dengan simbol-simbol. Sepertinya ada alasan atas setiap simbol yang dimunculkan. Misalnya saat Midah (Joned Suryatmoko) meminjam sikat gigi dan odol kepada Sipon, dengan paksaan. Cola-cola, kacang dan sabun yang ada di Motel di Solo. Bulu Tangkis, saat ia melakukan pelarian di Pontianak. Dan mungkin ada banyak lagi, yang saya sendiri sampai lupa.

Bahkan celana 'gemes' merah yang dibelikan Wiji untuk Sipon. Tentu saja ini adalah gambaran hasyrat seks yang begitu luar biasa. Tapi yang saya salut adalah, perlakuan Anggi dalam ini yang mampu mengarahkan penonton kepada hasyrat Wiji tanpa harus memunculkan adegan yang tidak perlu. Sangat sederhana.

Sederhana.
Semua yang terjadi dalam film ini menurut saya begitu sederhana. Begitu nyata dan sepertinya dekat. Bagaimana hidup di masing-masing daerah yang menjadi tempat pelariannya.

Saya sengaja mengulur waktu menulis review film ini. Saya mencari beberapa pembenaran, sekaligus pendukung. "ada ngga si penonton, yang sama ngeliatnya sama kayak gue". 

Dan benar, beberapa artikel berita menulis beberapa ulasan dan kritikan terhadap film ini.

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-38254525

https://tirto.id/istirahatlah-kata-kata-film-penting-belum-tentu-bagus-chKf

kalo kata teman saya, Wiji Thukul disini seperti pengecut. Mungkin ada benarnya. Durasinya menurut saya terlalu panjang untuk cerita yang pendek. Banyak adegan dan dialog yang tidak penting. Adapula tokoh yang hanya melengkapi, bahkan dengan tidak ada dia pun film ini tidak kehilangan maknanya. Sama sekali tidak ada keberanian yang diperlihatkan Wiji, hanya dalam puisi. Cerita yang bagus, tapi pengemasan yang kurang proporsional. 

Tidak jelek, buktinya Istirahatlah Kata-Kata berhasil melang-lang buana hingga ke penjuru dunia. Tapi ya mungkin seharusnya bisa dibuat lebih bagus lagi. Apalagi dengan waktu riset hingga 1,5 tahun.

Saya sendiri, tertegun dengan narasi yang dimunculkan. Membuat saya mengira-ngira, seperti inikah sosok seorang Wiji.

"Rezim ini bangsat, tapi takut dengan kata-kata"

"aku tidak ingin kamu pergi,
aku tidak ingin kamu pulang,
aku ingin kamu ada"

Setidaknya film ini telah, mengusik ingatan kita kembali betapa kejamnya orde baru. Betapa banyaknya suara-suara yang dibungkap, nyawa yang dihilangkan, hanya demi mempertahankan kekuasaan. Dan Wiji Thukul hanya salah satu dari banyak pemberontak yang bernasib naas.

Keren Mas Anggi, atas untaian kata-kata dalam Istirahatlah Kata-Kata. 7.5/10.


No comments:

Post a Comment