Sunday, September 24, 2017

NOKAS

Semalam, mengisi malam minggu yang kian kelabu, gue berkesempatan nonton NOKAS di Galeri Indonesia Kaya, GRATIS. Sebuah film dokumenter karya sutradara asal Kupang, Manuel Arberto selama 3 tahun. Sayang di akhir film tidak ada diskusi soal film. Tapi dengan hanya menonton film ini, penonton akan tahu bahwa mempersiapkan sebuah pernikahan tidak segampang yang kita kira, apalagi untuk warga Kupang. Gue jadi punya ide buat mendikumentasikan diri gue sendiri, dari persiapan menikah sampe menikah. Atau mungkin masa-masa mencari jodoh kayak sekarang.

Baik kita bahas Nokas.


(sumber: google.com)

Dengan beragam adat-istiadat yang hidup dan bekembang di Indonesia, menjadikan negeri ini kaya. Tapi kegembiraan itu ternyata juga mendatangkan pilu. Misalnya saja soal proses perkawaninan yang harus menyertakan mahar dalam jumlah tertentu. Persoalan mahar inilah yang harus ditanggung oleh Nokas, pria 27 tahun yang akan melamar gadis pujaannya bernama Ci. Masalah muncul karena Nokas bukan berasal dari keluarga kaya.

Proses pengelanan karakter menurut gue cukup unik. Semua karakter kuat, dan memiliki kisah masing-masing.

Dalam film sangat terasa kedekatan antara pembuat film dengan tokoh beserta keluarga. Bagaimana hubungan itu terjalin hingga dialog yang dikeluarkan begitu frontal dan vulgar. Proses demi proses yang dilalui Nokas sangat jujur dan natural. Tak terhitung berapa kali penonton diajak tertawa dari awal hingga ujung film.

Gue dan seorang teman, menebak berapa kamera yang digunakan untuk membuat film ini. Ternyata cuma satu, tapi gambarnya cukup variatif, walau banyak juga yang tidak rapi. Tapi ini keren. Sekali lagi, ini keren.

Gue sendiri bertanya, bagaimana ritual menikah justru menyulitkan dua insan yang ingin hidup bersama? Atau mungkin bukan ‘menyulitkan’ tapi proses pembuktian.


Dalam pemutaran 76 menit NOKAS, gue menyadari sesuatu, bahwa Nikah itu berjuang.


No comments:

Post a Comment