Semalam, mengisi malam minggu
yang kian kelabu, gue berkesempatan nonton NOKAS di Galeri Indonesia Kaya,
GRATIS. Sebuah film dokumenter karya sutradara asal Kupang, Manuel Arberto
selama 3 tahun. Sayang di akhir film tidak ada diskusi soal film. Tapi dengan
hanya menonton film ini, penonton akan tahu bahwa mempersiapkan sebuah
pernikahan tidak segampang yang kita kira, apalagi untuk warga Kupang. Gue jadi
punya ide buat mendikumentasikan diri gue sendiri, dari persiapan menikah sampe
menikah. Atau mungkin masa-masa mencari jodoh kayak sekarang.
Baik kita bahas Nokas.
Dengan beragam adat-istiadat yang
hidup dan bekembang di Indonesia, menjadikan negeri ini kaya. Tapi kegembiraan
itu ternyata juga mendatangkan pilu. Misalnya saja soal proses perkawaninan
yang harus menyertakan mahar dalam jumlah tertentu. Persoalan mahar inilah yang
harus ditanggung oleh Nokas, pria 27 tahun yang akan melamar gadis pujaannya
bernama Ci. Masalah muncul karena Nokas bukan berasal dari keluarga kaya.
Proses pengelanan karakter
menurut gue cukup unik. Semua karakter kuat, dan memiliki kisah masing-masing.
Dalam film sangat terasa
kedekatan antara pembuat film dengan tokoh beserta keluarga. Bagaimana hubungan
itu terjalin hingga dialog yang dikeluarkan begitu frontal dan vulgar. Proses demi
proses yang dilalui Nokas sangat jujur dan natural. Tak terhitung berapa kali
penonton diajak tertawa dari awal hingga ujung film.
Gue dan seorang teman, menebak
berapa kamera yang digunakan untuk membuat film ini. Ternyata cuma satu, tapi
gambarnya cukup variatif, walau banyak juga yang tidak rapi. Tapi ini keren. Sekali
lagi, ini keren.
Gue sendiri bertanya, bagaimana ritual
menikah justru menyulitkan dua insan yang ingin hidup bersama? Atau mungkin
bukan ‘menyulitkan’ tapi proses pembuktian.
Dalam pemutaran 76 menit NOKAS,
gue menyadari sesuatu, bahwa Nikah itu berjuang.
No comments:
Post a Comment