Showing posts with label Resensi buku. Show all posts
Showing posts with label Resensi buku. Show all posts

Tuesday, January 12, 2016

DRAMATURGI DOVIMA



Dramaturgi Dovima, novel soal jurnalistik pertama yang gue baca. Yah, walaupun sebernernya lebih banyak porsi dramanya.

Di novel karya Faris Rachman-Hussain ini menceritakan seorang perempuan yang bernama Dovima, dipanggil Vima. Vima adalah seorang calon reporter di majalah terkenal di Indonesia, Kala. Bayangan gue sekelas Tempo kali ya. Gue cerita sedikit, ibu kandung Vima adalah wartawan senior yang sempat bekerja di Kala dan kini menjadi kontributor majalah New York Times dan satulagi gue lupa namanya.

Vima punya pemikiran kritis seperti ibunya, tapi sayang menjadi seorang jurnalis sebenarnya bukan kehendaknya. Itu adalah ambisi sang ibu yang dipaksakan kepada Vima. Vima akhirnya bertemu dengan beberapa orang yang terlibat dalam masa lalu ibunya. Termasuk bertemu ayah kandung yang semenjak berumur 4 tahun telah hilang dari kehidupannya.

Dalam didikan ibunya, Vima tumbuh menjadi dewasa yang keras tapi pendiam. Ia banyak menghabiskan waktu dengan membaca novel. Tapi Vima justru terlibat hubungan dalam hubungan yang kompleks dengan atasannya, seorang sekretaris redaksi di Majalah Kala. Satulagi lelaki yang datang dalam hidup Vima adalah seorang milyader, yang menjadi lawat debat Vima dalam sebuah konfrensi pers, tapi justru tau siapa Vima yang sebenarnya.

Cerita yang cukup menarik, bagi kalian pecinta drama.

Kalo gue sendiri, pertama kali baca gue suka karakter Vima. Seseorang yang dididik dengan keras, akan menjadi pribadi yang tangguh. Hanya saja ia memiliki sebuah dendam pribadi akan masa lalunya. Kadang ia butuh perhatian, kadang ia menyendiri pergi jauh dari kebisingan. Vima hidup sama seperti jurnalis yang lain, yang waktunya dikejar oleh deadline. Gue juga, yang harus pergi pagi pulang mendekati pagi.

Dramaturgi Dovima menyuguhkan sebuah drama masa lalu keluarga Dovima yang ia sendiri ingin lupakan. Mungkin karena itu akan sakit bila dikorek, atau justru dia sudah muak.

Gaya bertutur Faris yang menurut gue ‘biasa’ tidak terlalu membuat pembaca (gue) tegang dan terlarut dalam cerita Vima. Gue sendiri lebih kepada ingin menyelesaikan, bukan karena penasaran dengan isi novel selanjutnya. Gue yang pecinta novel romantis, sebenarnya diawal sempat tertarik dengan konflik yang terjadi antara Vima dan Kafka, seorang milyader yang menjadi lawan Vina saat debat di konferensi pers.

Novel ini juga terkesan terburu-buru, karena gue sendiri hanya menghabiskan 2-3 jam membaca novel setebal 230 halaman. Biasanya kalo gue habis baca, pasti kebayangkan bagaimana ceritanya. Kalo novel ini mah engga. Kalo cerita itu masalah selera sih, mungkin gue ngga suka tapi banyak yang suka apa mau dikata. Seleran kan bisa beda. Kecuali selera makan indomie.

Bagusnya, novel ini bahas soal liputan, angle berita, wawancara, beserta tantangan menjadi seorang jurnalis. Itu sih yang gue butuh. Kerja di televisi yang notabene adalah tv berita, gue rasa pengetahuan itu lumayan dibutuhkan. Soalnya dulu pas kuliah gue jarang baca buku, kecuali skripsi. Gue sampet mikir, andaikan novel itu bisa kayak buku pelajaran. Nah ini, sekarang yang gue baca. Walau ngga banyak sih. Muak juga gue mikirnya, isinya soal jurnalistik semua. Di kantor capek makanannya berita, masa mau menghibur pake berita juga. Adek juga butuh piknik bang.

Yang gue sesalkan lagi itu endingnya. Kenapa harus kenapa.

Cukup buat penasarankah? Haha. Kalo kalian masih beruntung, liat diskonan novel di Gramedia Cuma 10ribuan. Syukur-syukur kalo nemu novel bagus sih.

Terakhir, gue harus dapat pesan dari novel yang gue baca, dan bagusnya gue share. Sama seperti Dovima, gue sendiri punya masa lalu yang tidak semuanya indah. Tapi bukan berarti masa depan juga harus buruk kan. Ada masa suatu ketika lo ngrasa beruntung bisa melewati itu. Dan lebih beruntung lagi dipertemukan dengan masa ‘sulit’ itu.


Diakhir novel Faris menulis, ‘Rekahan senja itu masih miliknya’ yang gue tangkep artinya ia (kita atau siapapun) masih punya celah untuk melihat keindahan dan menjadi bahagia. Ceileh.

Saturday, January 9, 2016

LUPUS ABG


(sumber: google.com)


Masih inget ngga sih sama Lupus? Sinteron yang pernah-begitu-beken di era 90an. Lupus yang karakternya lucu, cerdik dan gaul abis. Gue sendiri tau sinetronnya lebih dulu dibanding bukunya. Pemainnya si Irgi sama Sophie Novita yang cakep pada masanya. Nah kemarin pas diskonan di Gramedia, gue beli satu buku Lupus yang seri “Bukan Sakit Biasa”. Gue mikirnya yah lumayan, di kantor tiap hari dengerin berita, segerin otak sedikit baca Lupus.

Pertama kali baca novel Lupus itu gue kalo ngga salah kelas 1 SMA. Awal masuk dapet kartu perpus gue manfaatkan tuh. Anak baru biasanya emang rajin ke perpus sebelum tau bolos. Seinget gue, dulu pas baca Lupus gue sampe dimarahin nyokap ketawa sendiri di kamar. Mangkanya lah gue mencoba lagi. Hidup itu harus seimbang, nutrisi buat otak itu ngga cuma berita tapi guyonan. Ya tah?

Jadi begini, sama seperti novel-novel Lupus lainnya terutama yang pernah gue baca, itu kayak kumpulan cerpen yang tokoh utamanya Lupus. Jadi setiap satu plot itu, nyeritain hal lucu bahkan konyol yang dilakukan oleh si Lupusnya ini. Ceritanya bisa nyambung bisa ngga, dari plot yang satu ke yang lain. Yang pasti dalam cerita pasti ada, adeknya si Lupus, mamanya, papanya sama temen-temen Lupus yang ngga karuan. Eh kok ngga karuan? Yah namanya juga anak SMP. Jadi ada yang alay dan ngeselin itu wajar. Haha. Dalam novel ini, diceritain kalo si Lupusnya pas SMP.

Judulnya, “Bukan Sakit Biasa” ini tuh diambil dari kisah pertama di Novel ini. Kalo gue ceritain dikit, jadi si mamanya Lupus lagi sakit. Nah bokapnya yang sok tau dan super pelit itu buatin ramuan karena dia mikirnya pasti mahal kalo dibawa ke dokter. Protes lah si Lupus dan adeknya. Tapi ngga digubris sama bapaknya. Sampe lah sakit mamanya makin parah dan harus dirawat di rumah sakit. Nyesel kan bapaknya Lupus kalo dari awal bawa ke dokter pasti ngga parah. Lucunya, karena gengsi kalo ada yang jengukin mama Lupus temen kantornya papa, makanya papa Lupus masukin mamanya ke kamar yang kelaasnya VIP.  Yang nungguin dan yang dateng sih seneng, papanya Lupus yang lempeyangan bayar biaya rumah sakit. Alhasil, si mama sembuh papa Lupus yang gilirannya sakit.

Sebenernya kalo boleh bilang, ceritanya sederhana sih tapi lelucon dari celetukan Lupus yang kadang buat ketawa. Dan emang ada juga sih yang agak garing. Sense of humor masing-masing orang beda kan. Gue paham. Tapi ada lelucon yang udah ngga lucu di era sekarang dan mungkin dulu lucu, ada juga yang ngga masuk akal. Tapi dibanding semua itu, ceritanya lumayan lah buat pelarian dari berita tv yang isinya kalo engga korupsi ya politik. Heran, apa mereka sengaja buat kasus ya biar masuk tv. Atau emang tv yang suka nyari-nyari berita. Lah kan emang.

Cerita Lupus kayak gini menurut gue cocok dibaca sama anak SMP atau SMA yang sekarang udah ngga bisa lepas dari gadget. Kenapa? Selain lelucon yang agak garing, Hilman Hariwijaya dan Boim Lebom juga nyelipin pesan-pesan moral yang harusnya ditujukan buat anak jaman sekarang. Misalnya pas Pak Guru butuh bantuan Lupus biar perpustakaan bisa rame, dari ilustrasi bukunya ada tulisan “Sedia Kunci Jawaban UN”. Coba renungkan apa maksudnya.

Bukunya ngga terlalu tebel, dibaca semalem juga beres. Covernya juga lucu, dengan kualitas kertas yang bagus, ditambah harga miring. Didalemnya juga ada banyak tips buat yang baca, termasuk tips percaya diri, yang pas lo baca pasti, “aah”. Gitu deh. Haha.

Lupus juga pinter buat surat cinta. Di salah satu cerita ada sajak yang karya Lupus buat gebetannya. Sederhana, tapi menyentuh. Yaa, kayak puisi pas lo baru belajar nulis puisi lah. Kalo kata anak sekarang modus, tapi dulu namanya romantis.


Oke, sekian review novel Lupus dari gue. Singkat ya? Jujur gue beres baca novel Lupus lebih dari seminggu yang lalu dan gue baru sempet nulis reviewnya sekarang. Jadilah itu cerita dan ide mau nulis apa lenyap. Dari Lupus gue belajar ngga boleh pelit kayak papi, ngga boleh centil kayak Lulu adeknya Lupus, ngga boleh cerewet mami, tapi harus kayak Lupus yang apa adanya.

Saturday, December 19, 2015

Nayla




Keisengan setelah beribadah mampir ke Gramedia, berbuah gue akhirnya beli beberapa buku diskonan yang harga cukup murah. Buku lama sih, cuman lumayan dapet 10.000, kan lagi kan. Buku yang gue beli itu ada 3 macam, tapi salah satu bukunya, buku mbak Djenar Maesa Ayu yang judulnya, ‘T(w)ITIT!’. Buku terbitan tahun 2012, tapi masih enak dibaca sampe sekarang.

Gue tau Mbak Djenar itu seorang penulis, sutradara juga, pernah denger judul tulisannya ‘Mereka Bilang, Saya Monyet’, tapi gue sama sekali belum pernah baca buku karya Mbak Djenar. Duh, sedih. Maka dari itu, di momen diskonan ini, gue pengen mengenal Mbak Djenar lebih jauh lewat bukunya.

T(w)ITIT! adalah buku kumpulan cerpen yang terbit di tahun 2012, dan sudah mencapai cetakan ketiga. Buku ini berisikan 99 halaman pas, dengan 11 judul cerpen di dalamnya. Gue sendiri cuma butuh waktu sekitar sejam untuk menghabiskan membacanya. Untung cuma 10 ribu, ada perasaan gitu. Haha.

Dari semua cerita pendek yang ada dalam buku ini menceritakan tokoh dengan nama yang sama, yaitu Nayla. Awalnya gue sempet mikir, kenapa ngga judulnya Nayla aja. Soalnya kesemua cerita dinamai Nayla. Tapi kalo gitu, jadi ngga seru dong. Iya toh Mbak?

Bahasa yang dipake Mbak Djenar itu apik tenan, sastra banget lah. Banyak kalimat yang memiliki akhiran yang sama. Pengucapan yang sama. Padu. Gue awalnya ngira, cerita satu ke cerita lainnya itu nyambung. Soalnya masih saru dengan nama tokoh yang sama. Ditambah Mbak Djenar ini pinter sekali buat ending, ngga terduga. Bisa juga dia nyambung ke cerita berikutnya, bisa juga engga. Bingung dan penasaran jadi satu. Kok kayak sikapmu, padaku? *elaah.

Oya, dari nama tokoh Nayla ini sudah jelas cerita yang diangkat seputar wanita. Ada beberapa cerpen yang membuat gue tersentuh. Misalnya judulnya, ‘Nayla’, eh pas banget Nayla judul cerpennya. Dalam cerpennya itu diceritakan seorang anak yang bernama Nayla, yang saat berusia 7 tahun setengah, harus kehilangan sosok ayahnya. Ayah Nayla adalah seorang pegawai di kantor, yang dipecat karena ketauan melakukan maksiat di tempat kerjanya. Kemudian sang ayah kabur dari rumah, hingga akhirnya ayahnya jatuh miskin gara-gara berjudi dan memilih menceraikan istrinya, ibu Nayla.

Uniknya, Mbak Djenar mengangkat yang bersalah dimata Nayla tidak seperti kebanyak orang. Biasanya kan pasti cowok yang salah. Itu hukum alam. Haha. Tapi disini, menurut Nayla yang salah adalah ibunya sendiri. Kenapa? Karena penampilan ibunya yang dia anggap sangat tidak pantas menjadi ibu rumah tangga.
“….Suami mana yang tak akan jemu jika setiap hari menemukan istrinya berpenampilan tak ubahnya babu”.
Kejam sih, ya mau bagaimana lagi, begitu keadannya. Ini sempat membuat gue mikir, berat sekali tugas ibu rumah tangga. Mengurus rumah tangga, merawat anak, selalu terlihat cantik seperti apa yang suami mau.

Akhirnya Nayla harus menerima keadaan dimana ia dan ibunya kekurangan uang tanpa nafkah dari ayahnya. Mulailah masa sulit-sulit itu. Yang membuat gue geram, Nayla jadi semakin kesal dengan ibunya.

Kekesalan Nayla memudar ketika, sang ibu mampu memberikan nayla sedikit rejeki untuk hidupnya sehari-hari. Dengan apa? Kini ibu Nayla mulai bersolek, mempercantik penampilan, untuk menjual diri. Miris.

Nayla menyadari tidak ada yang harus ia tuntut lagi. Bahkan rok sekolah merahnya sudah diatas tumit. Nayla tidak ingin membebani ibunya dengan membeli rok baru. Toh sebentar lagi ia akan naik SMP. Nayla juga tidak ingin ibunya tau, jika ia ditegur guru karena rok seragamnya sudah diatas tumit sehingga bisa menimbulkan nafsu.

Dilanjutkan, ibu Nayla menerima selembar surat di tangannya. Matanya basah, saat petugas mengatakan bahwa anaknya harus tinggal semalam demi menuntaskan pemeriksaan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya dalam angkutan umum, karena keterangan saksi mengenai rok Nayla yang di atas tumit harus benar-benar diusut demi terlaksananya keadilan dalam penegakan hukum.

Gue sendiri tertegun. Bingung harus merespon apa. Seorang anak SD yang harus menerima hukuman atas ke-tau-diri-an  dari kondisi keluarganya. Kerelaan sang ibu yang harus membiayai anaknya harus dibayar dengan itu. Hidup memang tak lucu.

Itu baru satu dari banyak cerita haru yang disajikan Mbak Djenar. Ada 10 cerita lagi yang mampu menganduk emosi.

Gue sendiri baru ‘nggeh’ kalo Nayla ini sama sekali tidak nyambung antara satu cerita dengan cerita lainnya di cerpen ketiga. Saking membingungkannya. Hehe. Kadang, gue juga agak terganggu dengan sajak yang muncul di setiap cerpen ini. Indah sih, tiap kalimat berakhiran kata atau pengucapan yang sama, tapi kadang agak janggal juga arti kalimatnya.

Tapi isi dari cerita-cerita ini ada yang mengandung kritikan. Terutama seperti judulnya, T(w)ITIT! yang menyerukan bahwa status twitter seseorang kadang diterima oleh orang yang salah.


Kumpulan cerpen dari Mbak Djenar lumayan jadi bahan begadang, padahal harus kerja hari di minggu. Gue jadi tertarik buat baca novel Mbak Djenar yang lain. Semoga dapet diskonan lagi. Hehe.

Tuesday, December 9, 2014

Perempuan Bali

Identitas Buku
Judul Buku          : Akar Pule
Penulis                : Oka Rusmini
Penerbit              : Grasindo
Tebal                  : 145 halaman
Tahun Terbit       : 2012




Bisa dibilang terlambat jika baru sekarang saya merensensi buku Oka Rusmini terbitan tahun 2012 ini, yang berjudul Akar Pule. Saya baru mengenal karya Oka di tahun 2012. Satu buku yang menurut saya wajib dibaca perempuan Bali, yaitu Kenanga. Dan setelah membaca buku kedua Oka, sekumpulan cerpen yang diberi judul Akar Pule. Saya yakin, beliau adalah tokoh feminimisme yang berasal dari Pulau Dewata. Walau banyak orang mengenal Bali sebagai pulau nan indah dengan berjuta adat budaya, Bali juga menyimpan kisah pilu yang harus diderita kaum perempuannya. Inilah yang menjadi topik disetiap cerita yang dibawakan oleh Oka.

Beberapa pekan lalu, seorang dosen etika filsafat dikampus tepat saya berkuliah menjelaskan teori Hermeneutika. Yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna dan penafsiran terhadap teks. Hermeneutika menuntut adanya penilaian dari sebuah tulisan oleh pembacanya. Menurut dosen saya tersebut ada beberapa alasan yang mempengaruhi Hermeneutika, diantaranya wawasan pembaca, pengalaman, karena naskah terpisah dari penulis, dan kaitan dengan sikap intoleransi umat beragama. Yang saya tangkap mengenai maksud dari naskah terpisah dari penulis adalah, apabila penulis telah menulis sebuah cerita dan dibaca oleh pembaca, si penulis tidak ikut campur mengenai pemahaman yang diperoleh oleh pembaca. Karena setelah tulisan tersebut diberikan, ia akan ‘terpisah’ dari sang penulis.
Saya rasa, wawasan Oka mengenai soal perempuan dan kasta di Bali begitu dalam. Didukung dari pengalamannya yang memang hidup didalam kasta itu sendiri. Saya juga sempat ‘kepo’, siapa sih sosok Oka ini sebenarnya. Mengapa cerita yang ia bawakan seakan ia sangat terlibat dalam cerita itu. Dan saya mendapat jawabannya, Oka adalah anak yang terlahir dengan kasta Brahmana. Iya bernama lengkap, Ida Ayu Oka Rusmini. Kedua orang tuanya bercerai, dan iya hidup bersama ayahnya dalam suasana griya yang kaku. Dan sekarang, ia telah menikah dengan seorang yang beda agama. Secara langsung, ia harus melepas kasta, karena ia menikah dengan orang tanpa kasta. Terlebih, ia mengikuti agama yang suaminya anut, yaitu Islam. Ia mendobrak kasta pada masyarakat Bali yang begitu kokoh, keluar dari lingkungan griya dan hidup bersama lelaki yang ia cintai. Terlepas dari point ketiga alasan Hermeneutika, dengan adanya beberapa pemaparan tadi, saya berani menilai jika Oka sedikit banyak menceritakan mengenai kehidupannya dalam kurungan adat Bali. Yang menjadikannya kini wanita dewasa.

Kita tidak akan membahas Hermeneutika itu secara mendalam, karena saya yakin kalian akan dibuat pusing. Saya hanya ingin mengaitkan ini dengan cerpen-cerpen karangan Oka yang saya baca dalam buku Akar Pule ini. Oka telah dikenal luas gemar menulis novel, cerpen ataupun karya sastra lainnya dengan nuansa kaum perempuan Bali yang diikat banyak aturan adat.  Aturan adat yang ia anggap kolot.

Cerpen pertama yang ingin saya bahas berjudul, Pastu. Sebuah cerita pendek yang ia tulis pada bulan September tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan seorang gadis bernama Dayu Cenana dan sahabatnya, Cok Ratih. Kedua beradal dari kaum Brahmana, kasta tertinggi di Bali. Cok Ratih seorang yang tidak begitu memperdulikan kasta. Baginya itu semua begitu memuakkan, baginya hidup sudah rumit jangan dibuat semakin rumit.
Cok Ratih akhirnya memilih hidup dengan I Made Pasek Wibawa, yang dikarunia anak bahkan sebelum mereka menikah. Langkah ini ditempuh akan keluarga Cok Ratih menyetujui hubungan mereka, hingga menikahkan keduanya. Dayu telah memperingatkan sebelumnya, karena tentunya jika Cok Ratih menikah dengan orang jaba (tidak berkasta) kastanya akan menjadi turun, dan bagi keluarga yang masih memegang teguh adat, ini adalah hal yang paling dihindarkan.
Setelah tiga bulan menikah, kandungan Cok Ratih berusia tujuh bulan, namun naas ia mengalamai keguguran. Cok Ratih mengelami pendarahan hebat, dan berkali-kali tidak sadarkan diri.

Hyang Jagat, begitu luar biasnya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat! Hyang Jagat!
(hal 88)

Melihat sahabatnya begitu menderita, Dayu Cenana begitu pilu. Tapi Pasek suami Cok Ratih justru diam-diam merayunya dalam kondisi seperti ini. Dia menawarkan untuk mengantarkan Dayu Cenana pulang, atau makan malam. Sungguh menjijikan lelaki ini, katanya. Dayu Cenana tidak melihat keprihatinan dimata Pasek. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatnya itu? Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarganya pun putus karena dia menikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang dikorbankan untuk cinta. Apakah ini pembalasan yang pantas ia terima?
Diakhir kisah, Cok Ratih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Menurut konsep agama, seorang yang meninggal dengan cara salah pati atau bunuh diri tidak dapat diaben. Bahkan hingga akhir hidupnya Cok Ratih tidak memperoleh keadilan atas pilihannya. Beginikah kaum perempuan yang hidup di Bali.

Kisah selanjutnya datang dari cerpen Oka yang berjudul, Bunga. Seorang gadis yang harus menyudahi hidupnya dengan kisah yang tidak kalah tragis dari Cok Ratih. Bunga adalah gadis mungil berumur 7 tahun. Ia piawai sekali menari dengan tubuhnya yang gemulai. Ketiga sahabatnya, laki-laki semua sangat suka melihatnya menari. Mereka selalu memainkan gambelan dan Bunga menari.
Yang menjadi penyebab kisah tragisnya adalah karena ibu Bunga seorang pelacur. Salah satu orang tua temannya,  Gus Putu bahkan melarang anaknya bermain dengan Bunga. Mereka menganggap berteman dengan  seorang anak pelacur akan membawa sial. Hingga akhirnya terdengar kabar bahwa Bunga meninggal dalam usia yang begitu muda dengan darah yang keluar dari kemaluannya akibat diperkosa 3 orang lelaki. Edan!
Diakhir cerita, Oka menuliskan kritikannya terhadap pemerkosa biadab. Oka mengatakan seharusnya pemerkosa anak seperti ini diberi hukuman mati.

Oka Rusmini dengan apik menceritakan silsialah kehidupan keluarga Griya. Serta semua cerita mengambil setting kaum perempuan (khususnya perempuan Bali) yang mengalami penderitaan. Bahkan beberapa begitu tragis. Penderitaan itu diakibatkan oleh laki-laki, lelaki yang memberi dominasi besar. Agak sedikit takut memang membaca setiap judul baru dari cerpen yang disodorkan buku ini, takut membaca cerita yang lebih tragis dari halaman ke halaman berikutnya.

Akar Pule sendiri diambil dari judul terakhir buku ini. Tapi konon, Akar Pule adalah salah satu cerita singkat yang terdapat dalam novel Oka yang berjudul Tempurung. Saya yang belum membaca Tempurung tentu memiliki pengetahuan berbeda dengan yang sudah membaca. Tapi secara keseluruhan, setelah membaca semua cerita pendek dalam buku ini saya menjadi semakin bertanya-tanya, sebegitu tragiskah kehidupan wanita Bali? Selama ini saya justru menutup mata dan telinga mendengar kisah-kisah wanita Bali ari teman-teman saya.
Tapi bagi kalian yang belum tentu mengenal istilah keluarga Bali, dalam novel ini tidak dilengkapi istilah dari beberapa bahasa yang menggunakan Bahasa Bali.

Saya semakin tertarik, apa yang Oka suarakan dalam novel-novelnya yang lain jika ia memang setia dalam image-nya kini dengan kental mengangkat ‘nasib perempuan Bali’.
Judul Cerpen yang terdapat dalam buku ini:
1. Tiga Perempuan
2. Sipleg
3. Sepotong Tubuh
4. Seorang Perempuan dan Pohonnya
5. Sawa
6. Pastu
7. Palung
8. Grubug
9.  Bunga
10. Akar Pule

13 Romansa

Identitas Buku
Judul Buku       : Autumn Once More (kumpulan cerpen Metropop)
Penyunting      : Tim Editor GPU
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : 3, Mei 2013
Tebal               : 232 halaman (20cm)


“Aku tahu, aku masih saja langit yang tersayat-sayat itu, tapi langit ini tidak akan pernah memiliki senja yang sempurna disebelah baratnya, sebab mataharinya telah pergi, menyongsong hujan”.
(hal 216)

Autumn Once More adalah kumpulan cerpen dari tumpahan rasa dan obsensi karya AliaZalea, Anastasia Aemilia, Christina Juzwar, Harriska Adiati, Hetih Rusli, Ika Natassa, Ilana Tan, Lea Agustina Citra, Meilia Kusumadewi, Nina Addison, Nina Andiana, Rosi L. Simamora, dan Shandy Tan. Buku setebal 232 halaman ini berisi 13 cerpen romantik dengan gaya bahasa nyentrik. Masing-masing penulis memiliki pandangan terhadap cinta yang ia rasakan. Konyol, serius, tragis, romantis, dan dan berbagai rasa atas kisah cinta yang mungkin pernah dialami siapapun di bumi ini.

Saya tertarik dengan salah satu cerpen dalam buku ini yang berjudul, Senja yang Sempurna oleh Rosi L. Simamora. Berkisah seorang lelaki dengan kegundahan dan ketidakpercayaannya akan cinta justru perlahan mulai memahami cinta yang tumbuh dihatinya. Seorang wanita yang dulu dengan ‘gila’ mencintainya, namun ia siakan. Wanita tersebut sangat menyukai senja. Senja adalah ‘kami’ katanya pada laki-laki itu, aku langit dan kau matahari. Sang gadis selalu menyediakan senja yang indah untuk bisa berdua dengan laki-laki itu. Namun, saat sang gadis menyatakan perasaannya kepada laki-laki yang ia suka, ternyata laki-laki itu sama sekali tidak menerima cinta yang tumbuh diantara mereka berdua. Mungkin bukan berdua, tapi dalam diri sang gadis.
Dengan tegar, gadis itu akhirnya bisa menerima bahwa selama ini yang ia lakukan hanya untuk seorang teman, yang tanpa melihat rasa lain yang tumbuh. Gadis itu lalu pergi, tak peduli akan senja lagi.
Laki-laki itu mulai kehilangan. Kehilangan sosok yang ternyata ia butuhkan dalam menyelamatkan hatinya yang selalu kacau. Lalu setelah beberapa tahun, ia menghubungi gadis itu lagi untuk bertemu. Laki-laki itu kini yakin, bahwa rasa dalam dirinya adalah cinta. Cinta yang dulu ia ingkari. Tapi belum terlambat, pikir laki-laki itu. Ia memesan senja yang indah, senja yang sempurna untuk mengatakan itu.
Mereka bertemu, bertemu dalam senja. Singkat, lelaki itu menyatakan perasaannya kepada sang gadis. Tapi apadaya, gadis itu kini tidak lagi menyukai senja. Iya justru memilih hujan. Gadis itu menemukan seorang lelaki tersemat pelangi yang indah, setelah hujan. Penyesalan memang menjadi akhir sebuah cerita yang tak berakhir manis. Laki-laki tadi menelan kekecewaan yang teramat dalam. Membiarkan seorang wanita yang dulu tulus mencintainya kini pergi. Adakah yang lebih sakit dari ini?

Cerpen-cerpen lain, yang terdapat dalam buku ini juga tidak kalah menariknya. Seperti yang saya katakan diawal, semua penulis menorehkan kisah cinta dengan rasa berbeda. Kita cukup duduk, membaca, tersenyum, tertawa atau sesekali menangis. Misalnya dalam cerita pendek, Love is a Verb karya Meilia Kusumadewi yang menceritakan dilema wanita masa kini. Perkara like atau love media sosial yang menjadi masalah besar. Seorang wanita seperti ini dipertemukan dengan lelaki super cuek. Hinggu timbulah perang dunia. Konyol sih, tapi endingnya begitu romantis.

Entahlah, jika saya ceritakan semua cerita pendek dalam buku ini mungkin kalian tidak akan membacanya. Tapi saya yakin, setelah kalian membaca buku ini kalian pasti akan membayangkan cerita yang samakah terjadi dengan diri kalian sendiri. Atau mungkin ini Cuma anggapa saya.

Judul buku diambil dari salah satu judul cerita pendek dari Ilana Tan, Autumn One More. Cover buku yang cantik, serta kertas yang cukup tebal salah satu kelebihan buku dibanding ceritanya. Kelebihan lainnya adalah, kalian akan disuguhkan cerita dari banyak penulis terkenal dibawah naungan penerbit Gramedia. Ada 13 cerpen yang akan menambah cerita cinta kalian.
Tapi bagi kalian yang tidak menyukai sastra pendek, dengan ending yang ngatung disarankan untuk tidak membaca buku ini. Daripada kalian harus mengumpat dalam hati. Bahasa yang digunakan juga tidak sama antara penulis satu dengan yang lain. Ada penulis yang begitu indah melukiskan cerita, ada juga yang secara explisit mengungkapan maksudnya. Semua itu masalah selera. Sah-sah saja bagaimana penulis menyampaikan ceritanya kepada pembaca.
Tapi satu yang harus kalian ingat, semua royalti buku ini akan disumbangkan ke Dana Kemanusiaan Kompas untuk membantu saudara kita yang membutuhkan.


Jadi, bagi kalian yang mungkin belum pernah membeli sekumpulan kisah romantis dalam sebuah buku sekaligus bederma, inilah saatnya.