Showing posts with label novel. Show all posts
Showing posts with label novel. Show all posts

Tuesday, January 12, 2016

DRAMATURGI DOVIMA



Dramaturgi Dovima, novel soal jurnalistik pertama yang gue baca. Yah, walaupun sebernernya lebih banyak porsi dramanya.

Di novel karya Faris Rachman-Hussain ini menceritakan seorang perempuan yang bernama Dovima, dipanggil Vima. Vima adalah seorang calon reporter di majalah terkenal di Indonesia, Kala. Bayangan gue sekelas Tempo kali ya. Gue cerita sedikit, ibu kandung Vima adalah wartawan senior yang sempat bekerja di Kala dan kini menjadi kontributor majalah New York Times dan satulagi gue lupa namanya.

Vima punya pemikiran kritis seperti ibunya, tapi sayang menjadi seorang jurnalis sebenarnya bukan kehendaknya. Itu adalah ambisi sang ibu yang dipaksakan kepada Vima. Vima akhirnya bertemu dengan beberapa orang yang terlibat dalam masa lalu ibunya. Termasuk bertemu ayah kandung yang semenjak berumur 4 tahun telah hilang dari kehidupannya.

Dalam didikan ibunya, Vima tumbuh menjadi dewasa yang keras tapi pendiam. Ia banyak menghabiskan waktu dengan membaca novel. Tapi Vima justru terlibat hubungan dalam hubungan yang kompleks dengan atasannya, seorang sekretaris redaksi di Majalah Kala. Satulagi lelaki yang datang dalam hidup Vima adalah seorang milyader, yang menjadi lawat debat Vima dalam sebuah konfrensi pers, tapi justru tau siapa Vima yang sebenarnya.

Cerita yang cukup menarik, bagi kalian pecinta drama.

Kalo gue sendiri, pertama kali baca gue suka karakter Vima. Seseorang yang dididik dengan keras, akan menjadi pribadi yang tangguh. Hanya saja ia memiliki sebuah dendam pribadi akan masa lalunya. Kadang ia butuh perhatian, kadang ia menyendiri pergi jauh dari kebisingan. Vima hidup sama seperti jurnalis yang lain, yang waktunya dikejar oleh deadline. Gue juga, yang harus pergi pagi pulang mendekati pagi.

Dramaturgi Dovima menyuguhkan sebuah drama masa lalu keluarga Dovima yang ia sendiri ingin lupakan. Mungkin karena itu akan sakit bila dikorek, atau justru dia sudah muak.

Gaya bertutur Faris yang menurut gue ‘biasa’ tidak terlalu membuat pembaca (gue) tegang dan terlarut dalam cerita Vima. Gue sendiri lebih kepada ingin menyelesaikan, bukan karena penasaran dengan isi novel selanjutnya. Gue yang pecinta novel romantis, sebenarnya diawal sempat tertarik dengan konflik yang terjadi antara Vima dan Kafka, seorang milyader yang menjadi lawan Vina saat debat di konferensi pers.

Novel ini juga terkesan terburu-buru, karena gue sendiri hanya menghabiskan 2-3 jam membaca novel setebal 230 halaman. Biasanya kalo gue habis baca, pasti kebayangkan bagaimana ceritanya. Kalo novel ini mah engga. Kalo cerita itu masalah selera sih, mungkin gue ngga suka tapi banyak yang suka apa mau dikata. Seleran kan bisa beda. Kecuali selera makan indomie.

Bagusnya, novel ini bahas soal liputan, angle berita, wawancara, beserta tantangan menjadi seorang jurnalis. Itu sih yang gue butuh. Kerja di televisi yang notabene adalah tv berita, gue rasa pengetahuan itu lumayan dibutuhkan. Soalnya dulu pas kuliah gue jarang baca buku, kecuali skripsi. Gue sampet mikir, andaikan novel itu bisa kayak buku pelajaran. Nah ini, sekarang yang gue baca. Walau ngga banyak sih. Muak juga gue mikirnya, isinya soal jurnalistik semua. Di kantor capek makanannya berita, masa mau menghibur pake berita juga. Adek juga butuh piknik bang.

Yang gue sesalkan lagi itu endingnya. Kenapa harus kenapa.

Cukup buat penasarankah? Haha. Kalo kalian masih beruntung, liat diskonan novel di Gramedia Cuma 10ribuan. Syukur-syukur kalo nemu novel bagus sih.

Terakhir, gue harus dapat pesan dari novel yang gue baca, dan bagusnya gue share. Sama seperti Dovima, gue sendiri punya masa lalu yang tidak semuanya indah. Tapi bukan berarti masa depan juga harus buruk kan. Ada masa suatu ketika lo ngrasa beruntung bisa melewati itu. Dan lebih beruntung lagi dipertemukan dengan masa ‘sulit’ itu.


Diakhir novel Faris menulis, ‘Rekahan senja itu masih miliknya’ yang gue tangkep artinya ia (kita atau siapapun) masih punya celah untuk melihat keindahan dan menjadi bahagia. Ceileh.

Saturday, January 9, 2016

LUPUS ABG


(sumber: google.com)


Masih inget ngga sih sama Lupus? Sinteron yang pernah-begitu-beken di era 90an. Lupus yang karakternya lucu, cerdik dan gaul abis. Gue sendiri tau sinetronnya lebih dulu dibanding bukunya. Pemainnya si Irgi sama Sophie Novita yang cakep pada masanya. Nah kemarin pas diskonan di Gramedia, gue beli satu buku Lupus yang seri “Bukan Sakit Biasa”. Gue mikirnya yah lumayan, di kantor tiap hari dengerin berita, segerin otak sedikit baca Lupus.

Pertama kali baca novel Lupus itu gue kalo ngga salah kelas 1 SMA. Awal masuk dapet kartu perpus gue manfaatkan tuh. Anak baru biasanya emang rajin ke perpus sebelum tau bolos. Seinget gue, dulu pas baca Lupus gue sampe dimarahin nyokap ketawa sendiri di kamar. Mangkanya lah gue mencoba lagi. Hidup itu harus seimbang, nutrisi buat otak itu ngga cuma berita tapi guyonan. Ya tah?

Jadi begini, sama seperti novel-novel Lupus lainnya terutama yang pernah gue baca, itu kayak kumpulan cerpen yang tokoh utamanya Lupus. Jadi setiap satu plot itu, nyeritain hal lucu bahkan konyol yang dilakukan oleh si Lupusnya ini. Ceritanya bisa nyambung bisa ngga, dari plot yang satu ke yang lain. Yang pasti dalam cerita pasti ada, adeknya si Lupus, mamanya, papanya sama temen-temen Lupus yang ngga karuan. Eh kok ngga karuan? Yah namanya juga anak SMP. Jadi ada yang alay dan ngeselin itu wajar. Haha. Dalam novel ini, diceritain kalo si Lupusnya pas SMP.

Judulnya, “Bukan Sakit Biasa” ini tuh diambil dari kisah pertama di Novel ini. Kalo gue ceritain dikit, jadi si mamanya Lupus lagi sakit. Nah bokapnya yang sok tau dan super pelit itu buatin ramuan karena dia mikirnya pasti mahal kalo dibawa ke dokter. Protes lah si Lupus dan adeknya. Tapi ngga digubris sama bapaknya. Sampe lah sakit mamanya makin parah dan harus dirawat di rumah sakit. Nyesel kan bapaknya Lupus kalo dari awal bawa ke dokter pasti ngga parah. Lucunya, karena gengsi kalo ada yang jengukin mama Lupus temen kantornya papa, makanya papa Lupus masukin mamanya ke kamar yang kelaasnya VIP.  Yang nungguin dan yang dateng sih seneng, papanya Lupus yang lempeyangan bayar biaya rumah sakit. Alhasil, si mama sembuh papa Lupus yang gilirannya sakit.

Sebenernya kalo boleh bilang, ceritanya sederhana sih tapi lelucon dari celetukan Lupus yang kadang buat ketawa. Dan emang ada juga sih yang agak garing. Sense of humor masing-masing orang beda kan. Gue paham. Tapi ada lelucon yang udah ngga lucu di era sekarang dan mungkin dulu lucu, ada juga yang ngga masuk akal. Tapi dibanding semua itu, ceritanya lumayan lah buat pelarian dari berita tv yang isinya kalo engga korupsi ya politik. Heran, apa mereka sengaja buat kasus ya biar masuk tv. Atau emang tv yang suka nyari-nyari berita. Lah kan emang.

Cerita Lupus kayak gini menurut gue cocok dibaca sama anak SMP atau SMA yang sekarang udah ngga bisa lepas dari gadget. Kenapa? Selain lelucon yang agak garing, Hilman Hariwijaya dan Boim Lebom juga nyelipin pesan-pesan moral yang harusnya ditujukan buat anak jaman sekarang. Misalnya pas Pak Guru butuh bantuan Lupus biar perpustakaan bisa rame, dari ilustrasi bukunya ada tulisan “Sedia Kunci Jawaban UN”. Coba renungkan apa maksudnya.

Bukunya ngga terlalu tebel, dibaca semalem juga beres. Covernya juga lucu, dengan kualitas kertas yang bagus, ditambah harga miring. Didalemnya juga ada banyak tips buat yang baca, termasuk tips percaya diri, yang pas lo baca pasti, “aah”. Gitu deh. Haha.

Lupus juga pinter buat surat cinta. Di salah satu cerita ada sajak yang karya Lupus buat gebetannya. Sederhana, tapi menyentuh. Yaa, kayak puisi pas lo baru belajar nulis puisi lah. Kalo kata anak sekarang modus, tapi dulu namanya romantis.


Oke, sekian review novel Lupus dari gue. Singkat ya? Jujur gue beres baca novel Lupus lebih dari seminggu yang lalu dan gue baru sempet nulis reviewnya sekarang. Jadilah itu cerita dan ide mau nulis apa lenyap. Dari Lupus gue belajar ngga boleh pelit kayak papi, ngga boleh centil kayak Lulu adeknya Lupus, ngga boleh cerewet mami, tapi harus kayak Lupus yang apa adanya.

Saturday, December 19, 2015

Nayla




Keisengan setelah beribadah mampir ke Gramedia, berbuah gue akhirnya beli beberapa buku diskonan yang harga cukup murah. Buku lama sih, cuman lumayan dapet 10.000, kan lagi kan. Buku yang gue beli itu ada 3 macam, tapi salah satu bukunya, buku mbak Djenar Maesa Ayu yang judulnya, ‘T(w)ITIT!’. Buku terbitan tahun 2012, tapi masih enak dibaca sampe sekarang.

Gue tau Mbak Djenar itu seorang penulis, sutradara juga, pernah denger judul tulisannya ‘Mereka Bilang, Saya Monyet’, tapi gue sama sekali belum pernah baca buku karya Mbak Djenar. Duh, sedih. Maka dari itu, di momen diskonan ini, gue pengen mengenal Mbak Djenar lebih jauh lewat bukunya.

T(w)ITIT! adalah buku kumpulan cerpen yang terbit di tahun 2012, dan sudah mencapai cetakan ketiga. Buku ini berisikan 99 halaman pas, dengan 11 judul cerpen di dalamnya. Gue sendiri cuma butuh waktu sekitar sejam untuk menghabiskan membacanya. Untung cuma 10 ribu, ada perasaan gitu. Haha.

Dari semua cerita pendek yang ada dalam buku ini menceritakan tokoh dengan nama yang sama, yaitu Nayla. Awalnya gue sempet mikir, kenapa ngga judulnya Nayla aja. Soalnya kesemua cerita dinamai Nayla. Tapi kalo gitu, jadi ngga seru dong. Iya toh Mbak?

Bahasa yang dipake Mbak Djenar itu apik tenan, sastra banget lah. Banyak kalimat yang memiliki akhiran yang sama. Pengucapan yang sama. Padu. Gue awalnya ngira, cerita satu ke cerita lainnya itu nyambung. Soalnya masih saru dengan nama tokoh yang sama. Ditambah Mbak Djenar ini pinter sekali buat ending, ngga terduga. Bisa juga dia nyambung ke cerita berikutnya, bisa juga engga. Bingung dan penasaran jadi satu. Kok kayak sikapmu, padaku? *elaah.

Oya, dari nama tokoh Nayla ini sudah jelas cerita yang diangkat seputar wanita. Ada beberapa cerpen yang membuat gue tersentuh. Misalnya judulnya, ‘Nayla’, eh pas banget Nayla judul cerpennya. Dalam cerpennya itu diceritakan seorang anak yang bernama Nayla, yang saat berusia 7 tahun setengah, harus kehilangan sosok ayahnya. Ayah Nayla adalah seorang pegawai di kantor, yang dipecat karena ketauan melakukan maksiat di tempat kerjanya. Kemudian sang ayah kabur dari rumah, hingga akhirnya ayahnya jatuh miskin gara-gara berjudi dan memilih menceraikan istrinya, ibu Nayla.

Uniknya, Mbak Djenar mengangkat yang bersalah dimata Nayla tidak seperti kebanyak orang. Biasanya kan pasti cowok yang salah. Itu hukum alam. Haha. Tapi disini, menurut Nayla yang salah adalah ibunya sendiri. Kenapa? Karena penampilan ibunya yang dia anggap sangat tidak pantas menjadi ibu rumah tangga.
“….Suami mana yang tak akan jemu jika setiap hari menemukan istrinya berpenampilan tak ubahnya babu”.
Kejam sih, ya mau bagaimana lagi, begitu keadannya. Ini sempat membuat gue mikir, berat sekali tugas ibu rumah tangga. Mengurus rumah tangga, merawat anak, selalu terlihat cantik seperti apa yang suami mau.

Akhirnya Nayla harus menerima keadaan dimana ia dan ibunya kekurangan uang tanpa nafkah dari ayahnya. Mulailah masa sulit-sulit itu. Yang membuat gue geram, Nayla jadi semakin kesal dengan ibunya.

Kekesalan Nayla memudar ketika, sang ibu mampu memberikan nayla sedikit rejeki untuk hidupnya sehari-hari. Dengan apa? Kini ibu Nayla mulai bersolek, mempercantik penampilan, untuk menjual diri. Miris.

Nayla menyadari tidak ada yang harus ia tuntut lagi. Bahkan rok sekolah merahnya sudah diatas tumit. Nayla tidak ingin membebani ibunya dengan membeli rok baru. Toh sebentar lagi ia akan naik SMP. Nayla juga tidak ingin ibunya tau, jika ia ditegur guru karena rok seragamnya sudah diatas tumit sehingga bisa menimbulkan nafsu.

Dilanjutkan, ibu Nayla menerima selembar surat di tangannya. Matanya basah, saat petugas mengatakan bahwa anaknya harus tinggal semalam demi menuntaskan pemeriksaan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya dalam angkutan umum, karena keterangan saksi mengenai rok Nayla yang di atas tumit harus benar-benar diusut demi terlaksananya keadilan dalam penegakan hukum.

Gue sendiri tertegun. Bingung harus merespon apa. Seorang anak SD yang harus menerima hukuman atas ke-tau-diri-an  dari kondisi keluarganya. Kerelaan sang ibu yang harus membiayai anaknya harus dibayar dengan itu. Hidup memang tak lucu.

Itu baru satu dari banyak cerita haru yang disajikan Mbak Djenar. Ada 10 cerita lagi yang mampu menganduk emosi.

Gue sendiri baru ‘nggeh’ kalo Nayla ini sama sekali tidak nyambung antara satu cerita dengan cerita lainnya di cerpen ketiga. Saking membingungkannya. Hehe. Kadang, gue juga agak terganggu dengan sajak yang muncul di setiap cerpen ini. Indah sih, tiap kalimat berakhiran kata atau pengucapan yang sama, tapi kadang agak janggal juga arti kalimatnya.

Tapi isi dari cerita-cerita ini ada yang mengandung kritikan. Terutama seperti judulnya, T(w)ITIT! yang menyerukan bahwa status twitter seseorang kadang diterima oleh orang yang salah.


Kumpulan cerpen dari Mbak Djenar lumayan jadi bahan begadang, padahal harus kerja hari di minggu. Gue jadi tertarik buat baca novel Mbak Djenar yang lain. Semoga dapet diskonan lagi. Hehe.