Dramaturgi Dovima, novel soal jurnalistik pertama
yang gue baca. Yah, walaupun sebernernya lebih banyak porsi dramanya.
Di novel karya Faris Rachman-Hussain ini
menceritakan seorang perempuan yang bernama Dovima, dipanggil Vima. Vima adalah
seorang calon reporter di majalah terkenal di Indonesia, Kala. Bayangan gue
sekelas Tempo kali ya. Gue cerita sedikit, ibu kandung Vima adalah wartawan
senior yang sempat bekerja di Kala dan kini menjadi kontributor majalah New
York Times dan satulagi gue lupa namanya.
Vima punya pemikiran kritis seperti ibunya, tapi
sayang menjadi seorang jurnalis sebenarnya bukan kehendaknya. Itu adalah ambisi
sang ibu yang dipaksakan kepada Vima. Vima akhirnya bertemu dengan beberapa
orang yang terlibat dalam masa lalu ibunya. Termasuk bertemu ayah kandung yang
semenjak berumur 4 tahun telah hilang dari kehidupannya.
Dalam didikan ibunya, Vima tumbuh menjadi dewasa
yang keras tapi pendiam. Ia banyak menghabiskan waktu dengan membaca novel. Tapi
Vima justru terlibat hubungan dalam hubungan yang kompleks dengan atasannya,
seorang sekretaris redaksi di Majalah Kala. Satulagi lelaki yang datang dalam
hidup Vima adalah seorang milyader, yang menjadi lawat debat Vima dalam sebuah
konfrensi pers, tapi justru tau siapa Vima yang sebenarnya.
Cerita yang cukup menarik, bagi kalian pecinta
drama.
Kalo gue sendiri, pertama kali baca gue suka
karakter Vima. Seseorang yang dididik dengan keras, akan menjadi pribadi yang
tangguh. Hanya saja ia memiliki sebuah dendam pribadi akan masa lalunya. Kadang
ia butuh perhatian, kadang ia menyendiri pergi jauh dari kebisingan. Vima hidup
sama seperti jurnalis yang lain, yang waktunya dikejar oleh deadline. Gue juga,
yang harus pergi pagi pulang mendekati pagi.
Dramaturgi Dovima menyuguhkan sebuah drama masa
lalu keluarga Dovima yang ia sendiri ingin lupakan. Mungkin karena itu akan
sakit bila dikorek, atau justru dia sudah muak.
Gaya bertutur Faris yang menurut gue ‘biasa’ tidak
terlalu membuat pembaca (gue) tegang dan terlarut dalam cerita Vima. Gue sendiri
lebih kepada ingin menyelesaikan, bukan karena penasaran dengan isi novel
selanjutnya. Gue yang pecinta novel romantis, sebenarnya diawal sempat tertarik
dengan konflik yang terjadi antara Vima dan Kafka, seorang milyader yang
menjadi lawan Vina saat debat di konferensi pers.
Novel ini juga terkesan terburu-buru, karena gue
sendiri hanya menghabiskan 2-3 jam membaca novel setebal 230 halaman. Biasanya kalo
gue habis baca, pasti kebayangkan bagaimana ceritanya. Kalo novel ini mah engga.
Kalo cerita itu masalah selera sih, mungkin gue ngga suka tapi banyak yang suka
apa mau dikata. Seleran kan bisa beda. Kecuali selera makan indomie.
Bagusnya, novel ini bahas soal liputan, angle
berita, wawancara, beserta tantangan menjadi seorang jurnalis. Itu sih yang gue
butuh. Kerja di televisi yang notabene adalah tv berita, gue rasa pengetahuan
itu lumayan dibutuhkan. Soalnya dulu pas kuliah gue jarang baca buku, kecuali
skripsi. Gue sampet mikir, andaikan novel itu bisa kayak buku pelajaran. Nah ini,
sekarang yang gue baca. Walau ngga banyak sih. Muak juga gue mikirnya, isinya
soal jurnalistik semua. Di kantor capek makanannya berita, masa mau menghibur
pake berita juga. Adek juga butuh piknik bang.
Yang gue sesalkan lagi itu endingnya. Kenapa harus
kenapa.
Cukup buat penasarankah? Haha. Kalo kalian masih
beruntung, liat diskonan novel di Gramedia Cuma 10ribuan. Syukur-syukur kalo
nemu novel bagus sih.
Terakhir, gue harus dapat pesan dari novel yang gue
baca, dan bagusnya gue share. Sama seperti Dovima, gue sendiri punya masa lalu
yang tidak semuanya indah. Tapi bukan berarti masa depan juga harus buruk kan. Ada
masa suatu ketika lo ngrasa beruntung bisa melewati itu. Dan lebih beruntung
lagi dipertemukan dengan masa ‘sulit’ itu.
Diakhir novel Faris menulis, ‘Rekahan senja itu
masih miliknya’ yang gue tangkep artinya ia (kita atau siapapun) masih punya
celah untuk melihat keindahan dan menjadi bahagia. Ceileh.
No comments:
Post a Comment