Sunday, May 7, 2017

Perlawanan Kartini

(Sumber: google.com)

Apakah kebebasan gue nulis sekarang, karena Kartini? Mungkin.
Atau sebagai wanita punya kesempatan bersekolah tinggi dan bekerja, juga gara-gara Kartini? Mungkin.

Semua kemungkinan tentu aja ada, tapi yang jelas walau ngga secara langsung, melalui pelajaran sejarah, kisah Kartini melekat pada diri kita masing-masing, khususnya perempuan. Ya, walaupun taunya cuma ‘Siapa Kartini’? Tokoh emansipasi wanita. ‘Dari mana?’ dari Jepara. ‘Tanggal berapa diperingati Hari Kartini?’ 21 April. Eh Sorry, atau gue doang yang taunya itu, tadinya.

Inilah kenapa Mas Hanung berinisiatif membuat film Kartini. Ya agar, Warga Indonesia yang katanya bangsa yang besar ini ndak lupa perjuangan pahlawannya. Apalagi pahlawan wanita. Ya toh?

Mungkin udah sekitar seminggu yang lalu gue nonton Film Kartini, dan baru berniat nulis sekarang. Bukan karena filmnya ngga bagus, makanya niatnya agak susah, bukan. Tapi karena motivasi setelah nonton film itu cuma bertahan beberapa menit. Tadinya pengen ini, pengen itu, mana tau bisa menyaingi Raden Ajeng Kartini. Eh ternyata engga. Males tetep jadi musuh terbesar, disamping waktu libur kerja yang makin tipis. Ternyata susah juga ya jadi Kartini. Lah opo toh.

Gini, gini,gini, gue mau cerita sedikit tentang film Kartini-nya Mas Hanung. Yang udah nonton silakan di flashback, yang belum nonton ini bukan spoiler loh ya.

Jadi dalam film ini diceritakan bagaimana Kartini (Dian Sastro) tumbuh di lingkungan bangsawan. Menjadi anak seorang bupati Jepara (Deddy Sutomo), dan ibu Kartini, Ngasirah (Christine Hakim) yang harus rela berpisah tempat tinggal dengan Kartini, hanya karena bukan keturunan ningrat.

Kartini mulai bersemangat hidup dalam lingkungan keraton dikarenakan sang kakak (Reza Rahardian) yang menghadianya buku-buku. Dari sanalah mimpi demi mimpi Kartini muncul. Ingin menjadi wanita cerdas, dan mengangkat derajat wanita. Terutama dalam hal pendidikan.

Yang membuat cerita ini semakin seru adalah kehadiran dua adik Kartini, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita). Ya setidaknya film drama-perjuangan selama dua jam ini, ada lucunya, sedikit.

Ada banyak sekali artis hebat Indonesia yang juga main disini. Ada Djenar Maesa Ayu, Nova Eliza, Adinia Wirasti, Dwi Sasono, Deny Sumargo, Rianti Cartwright dan masih banyak lagi.

Okay, sebagai penikmat film, gue sangat mendukung sineas Indonesia membuat karya soal tokoh-tokoh berpengaruh. Disamping mereka sendiri belajar mengenal tokoh itu, dan hanyut dalam perjalanan hidup tokoh itu, sama seperti ketika gue liputan beberapa tokoh seniman, dan tentu saja penonton juga jadi menggali ingatan soal sejarah. Soal perjuangan yang betapa sangat tidak mudah untuk sampai ke titik ini.

Cuma menurut gue, film ini menjadi tidak fokus karena terlalu luas memperlihatkan soal perjalanan hidup tokoh. Gue sama sekali tidak meragukan visual film Kartini. Bagus banget. Cerita juga cukup bagus. Hanya aja, sebagai penonton gue kurang puas. Boleh dong ya.

Gue hanya merasa perlawanan Kartini dalam film ini lebih kepada budaya. Kepada tradisi yang terjadi di dalam lingkungan keraton, atau kebangsawanan itu sendiri. Ya walaupun ia akhirnya juga harus menyerah dengan mau menjadi istri ketiga seorang bupati Rembang. Alasannya pun mulia.

Gue tidak benar-benar melihat sosok emansipasi wanita yang membuat penonton geger dengan tulisan-tulisannya Kartini. Bukankah di usia yang baru 19 tahun, Kartini berhasil melahirkan sebuah tulisan yang dimuat dalam jurnal di negeri Belanda. Mengapa kita tidak diajak menyelami tulisan itu. Mengapa kita tidak diajak mengenal Kartini melalui tulisannya, yang bahkan orang luar mengakui kalau beliau begitu berbakat.

Atau saat Kartini mengirimi Stela surat. Surat demi surat yang akhirnya kumpulan surat itu akhirnya terbit dalam sebuah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Atau mungkin kenapa seorang wanita jawa, kok ya bisa memiliki pemikiran yang begitu maju di jamannya. Tak peduli ia dikekang oleh tradisi.

Yang gue liat Hanung justru lebih memperlihatkan fenomena poligami. Ya dengan ciri khas Hanung lah ya. Bagaimana seorang bangsawan yang secara semena-mena bisa menambah istri lagi dan lagi.

Ditambah kehidupan sebagai wanita bangsawan yang mungkin menurut sebagian besar orang sangat enak, namun justru kontradiksi. Kalo gue kutip dari pernyataan penulis Oka Rusmini, mereka dan juga Kartini mengalami “Kekerasan Kultural” yang mungkin sampai sekarang masih kita rasakan.

Sama seperti film Kartini, Mas Hanung pasti memiliki sebuah gambaran, apa yang ingin dimunculkan dan tidak, dengan pertimbangan tertentu. Begitu pula dengan sejarah, beberapa kisah sejarah mungkin tidak dimunculkan atau bahkan dibuat berbeda, sesuai dengan kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan penguasa saat itu.

Ekspektasi gue adalah munculnya itu dalam Film Kartini. Orang biasanya Mas Hanung itu berani kok. Eh ternyata tidak. Bagaimana pandangan Kartini soal Agama, dengan situasi krisis toleransi seperti yang kita hadapi sekarang. Ini belum pernah diangkat kan. Atau pemikiran Kartini, yang tentu saja ada pada tulisan-tulisannya tentang betapa ‘inginnya’ Kartini mengenal wanita keturuan cina dengan hasrat belajar yang begitu tinggi. Pemikiran-pemikiran itulah yang kami perlukan Mas. Bukankan emansipasi itu lahir dari pemikiran yang seperti itu? Bukan cuma soal kebaya.

Seperti yang kita lihat, peringatan hari Kartini selalu identik dengan kebaya. Muncul lah lomba-lomba mengenakan kebaya, atau sejenisnya. Itu terlalu simbolik. Kartini kan dikenal pemikirannya bukan kebayanya. Itu menurut gue loh ya.

Dan juga, menurut gue film Kartini situasinya terlalu santai. Tidak terlihat seperti kita dalam masa penjajahan Belanda. Emang dulu, kaum bangsawan ngga ngerasain dijajah toh Mas? Jadinya agak kurang greget gitu loh mas. Mungkin kegetiran saat penjajahan, ditambah kekerasan kultural, konflik keluarga, bisa buat cerita Kartini lebih hidup. Maaf Mas, mintanya kebanyakan.

Tapi bagaimana pun, film ini berhak dan harus mendapat pujian. Adegan artis senior Christine Hakim yang begitu mengagumkan. Tak kalah juga, Djenar sebagai ibu tiri yang begitu ditakuti juga menyimpan luka. Betapa tradisi yang diagungkan, dan dirasakan membelit dalam waktu bersamaan.

Plus, art director yang sangat amat bagus. Properti, desain dekorasi, yang mungkin kru art nya sudah bekerja sangat keras. Apik.


Gue tetep kagum kok sama karyane Mas Hanung. Bisa jadi Kartini lebih tidak bagus, kalo orang lain yang garap. Setelah menonton dan menelaah, 7.5/10 buat perlawanan Kartini, dalam film Kartini.


No comments:

Post a Comment