(Sumber: google.com)
Apakah kebebasan gue nulis sekarang, karena Kartini?
Mungkin.
Atau sebagai wanita punya kesempatan bersekolah
tinggi dan bekerja, juga gara-gara Kartini? Mungkin.
Semua kemungkinan tentu aja ada, tapi yang jelas
walau ngga secara langsung, melalui pelajaran sejarah, kisah Kartini melekat
pada diri kita masing-masing, khususnya perempuan. Ya, walaupun taunya cuma ‘Siapa
Kartini’? Tokoh emansipasi wanita. ‘Dari mana?’ dari Jepara. ‘Tanggal berapa
diperingati Hari Kartini?’ 21 April. Eh Sorry, atau gue doang yang taunya itu,
tadinya.
Inilah kenapa Mas
Hanung berinisiatif membuat film Kartini. Ya agar, Warga Indonesia yang katanya
bangsa yang besar ini ndak lupa perjuangan pahlawannya. Apalagi pahlawan
wanita. Ya toh?
Mungkin udah sekitar seminggu yang lalu gue nonton
Film Kartini, dan baru berniat nulis sekarang. Bukan karena filmnya ngga bagus,
makanya niatnya agak susah, bukan. Tapi karena motivasi setelah nonton film itu
cuma bertahan beberapa menit. Tadinya pengen ini, pengen itu, mana tau bisa
menyaingi Raden Ajeng Kartini. Eh ternyata engga. Males tetep jadi musuh
terbesar, disamping waktu libur kerja yang makin tipis. Ternyata susah juga ya
jadi Kartini. Lah opo toh.
Gini, gini,gini, gue mau cerita sedikit tentang film Kartini-nya
Mas Hanung. Yang udah nonton silakan
di flashback, yang belum nonton ini
bukan spoiler loh ya.
Jadi dalam film ini diceritakan bagaimana Kartini
(Dian Sastro) tumbuh di lingkungan bangsawan. Menjadi anak seorang bupati
Jepara (Deddy Sutomo), dan ibu Kartini, Ngasirah (Christine Hakim) yang harus
rela berpisah tempat tinggal dengan Kartini, hanya karena bukan keturunan
ningrat.
Kartini mulai bersemangat hidup dalam lingkungan keraton
dikarenakan sang kakak (Reza Rahardian) yang menghadianya buku-buku. Dari
sanalah mimpi demi mimpi Kartini muncul. Ingin menjadi wanita cerdas, dan
mengangkat derajat wanita. Terutama dalam hal pendidikan.
Yang membuat cerita ini semakin seru adalah kehadiran
dua adik Kartini, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita). Ya setidaknya
film drama-perjuangan selama dua jam ini, ada lucunya, sedikit.
Ada banyak sekali artis hebat Indonesia yang juga
main disini. Ada Djenar Maesa Ayu, Nova Eliza, Adinia Wirasti, Dwi Sasono, Deny
Sumargo, Rianti Cartwright dan masih banyak lagi.
Okay, sebagai penikmat film, gue sangat mendukung
sineas Indonesia membuat karya soal tokoh-tokoh berpengaruh. Disamping mereka
sendiri belajar mengenal tokoh itu, dan hanyut dalam perjalanan hidup tokoh
itu, sama seperti ketika gue liputan beberapa tokoh seniman, dan tentu saja
penonton juga jadi menggali ingatan soal sejarah. Soal perjuangan yang betapa
sangat tidak mudah untuk sampai ke titik ini.
Cuma menurut gue, film ini menjadi tidak fokus karena
terlalu luas memperlihatkan soal perjalanan hidup tokoh. Gue sama sekali tidak
meragukan visual film Kartini. Bagus banget. Cerita juga cukup bagus. Hanya aja,
sebagai penonton gue kurang puas. Boleh dong ya.
Gue hanya merasa perlawanan Kartini dalam film ini
lebih kepada budaya. Kepada tradisi yang terjadi di dalam lingkungan keraton,
atau kebangsawanan itu sendiri. Ya walaupun ia akhirnya juga harus menyerah
dengan mau menjadi istri ketiga seorang bupati Rembang. Alasannya pun mulia.
Gue tidak benar-benar melihat sosok emansipasi wanita
yang membuat penonton geger dengan tulisan-tulisannya Kartini. Bukankah di usia
yang baru 19 tahun, Kartini berhasil melahirkan sebuah tulisan yang dimuat
dalam jurnal di negeri Belanda. Mengapa kita tidak diajak menyelami tulisan
itu. Mengapa kita tidak diajak mengenal Kartini melalui tulisannya, yang bahkan
orang luar mengakui kalau beliau begitu berbakat.
Atau saat Kartini mengirimi Stela surat. Surat demi
surat yang akhirnya kumpulan surat itu akhirnya terbit dalam sebuah buku “Habis
Gelap Terbitlah Terang”. Atau mungkin kenapa seorang wanita jawa, kok ya bisa
memiliki pemikiran yang begitu maju di jamannya. Tak peduli ia dikekang oleh
tradisi.
Yang gue liat Hanung justru lebih memperlihatkan
fenomena poligami. Ya dengan ciri khas Hanung lah ya. Bagaimana seorang
bangsawan yang secara semena-mena bisa menambah istri lagi dan lagi.
Ditambah kehidupan sebagai wanita bangsawan yang
mungkin menurut sebagian besar orang sangat enak, namun justru kontradiksi.
Kalo gue kutip dari pernyataan penulis Oka Rusmini, mereka dan juga Kartini
mengalami “Kekerasan Kultural” yang mungkin sampai sekarang masih kita rasakan.
Sama seperti film Kartini, Mas Hanung pasti memiliki sebuah gambaran, apa yang ingin
dimunculkan dan tidak, dengan pertimbangan tertentu. Begitu pula dengan
sejarah, beberapa kisah sejarah mungkin tidak dimunculkan atau bahkan dibuat
berbeda, sesuai dengan kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan penguasa
saat itu.
Ekspektasi gue adalah munculnya itu dalam Film
Kartini. Orang biasanya Mas Hanung
itu berani kok. Eh ternyata tidak. Bagaimana pandangan Kartini soal Agama,
dengan situasi krisis toleransi seperti yang kita hadapi sekarang. Ini belum
pernah diangkat kan. Atau pemikiran Kartini, yang tentu saja ada pada
tulisan-tulisannya tentang betapa ‘inginnya’ Kartini mengenal wanita keturuan
cina dengan hasrat belajar yang begitu tinggi. Pemikiran-pemikiran itulah yang
kami perlukan Mas. Bukankan emansipasi
itu lahir dari pemikiran yang seperti itu? Bukan cuma soal kebaya.
Seperti yang kita lihat, peringatan hari Kartini
selalu identik dengan kebaya. Muncul lah lomba-lomba mengenakan kebaya, atau
sejenisnya. Itu terlalu simbolik. Kartini kan dikenal pemikirannya bukan
kebayanya. Itu menurut gue loh ya.
Dan juga, menurut gue film Kartini situasinya terlalu
santai. Tidak terlihat seperti kita dalam masa penjajahan Belanda. Emang dulu,
kaum bangsawan ngga ngerasain dijajah toh
Mas? Jadinya agak kurang greget gitu loh
mas. Mungkin kegetiran saat penjajahan, ditambah kekerasan kultural,
konflik keluarga, bisa buat cerita Kartini lebih hidup. Maaf Mas, mintanya kebanyakan.
Tapi bagaimana pun, film ini berhak dan harus
mendapat pujian. Adegan artis senior Christine Hakim yang begitu mengagumkan. Tak
kalah juga, Djenar sebagai ibu tiri yang begitu ditakuti juga menyimpan luka. Betapa
tradisi yang diagungkan, dan dirasakan membelit dalam waktu bersamaan.
Plus, art director yang sangat amat bagus. Properti,
desain dekorasi, yang mungkin kru art
nya sudah bekerja sangat keras. Apik.
Gue tetep kagum kok sama karyane Mas Hanung. Bisa jadi Kartini lebih tidak bagus, kalo orang lain
yang garap. Setelah menonton dan menelaah, 7.5/10 buat perlawanan Kartini,
dalam film Kartini.
No comments:
Post a Comment