Warga Kampung Tirang hidup dengan menjadi buruh ‘sang
tuan tanah’ tanpa upah yang jelas. Mereka seakan ‘menghamba’, menerima
pemberian berkedok belas kasihan.
Kampung Tirang tidak mendapat aliran listrik dari
pemerintah setempat. Terisolir, padahal jarak tidak terlalu jauh dari pusat
kota. Air bersih apalagi, rumah warganya malah jauh dari kata layak.
Terletak di pinggir pantai, pemandangan bayi mati
lalu mengapung menjadi lumrah. ‘Upaya warga?’ bahkan polisi yang sering
wara-wiri, tidak mampu memecahkan kasus. Mungkin bukan tidak mampu, tapi tidak
mau.
Warga kampung bahkan sudah nyaman dengan rasa takut
dan pesimisme. Hingga kemudian muncul sang pemberontak, Jadag. Ia menjadi
provokator, agar warga melawan, melepas bayang-bayang Darso, sang tuan tanah
dan ajudannya yang licik, Pakel.
Ini yang dimunculkan Wicaksono Wisnu Legowo, dalam
film-nya Turah.
(sumber: google.com)
Tadinya gue sangsi, bener ngga sih ada lokasi yang
seperti ini. Eh pas liat credit title,
ternyata bener. Baca berbagai referensi dan latar belakang sutradara buat film
ini, ternyata memang benar-benar ada. Percuma 72 tahun, Indonesia merdeka.
Kampung Tirang berlokasi nyata di pesisir pantai
utara, dekat Pelabuhan Tegalsari Kota Tegal. Sebuah perkampungan yang berdiri
di atas tanah timbul. Di kelilingi air laut, kampung ini termasuk wilayah
kategori miskin serta terpencil. Listrik menyala hanya pada malam hari dan
tidak ada air bersih.
Kondisi ini yang membuat Mas Wisnu tertarik mengangkat cerita soal Kampung Tirang, dengan
memunculkan tokoh penghidup cerita, yang dibumbui konflik. Film ini diproduseri langsung oleh Ifa Isfansyah.
Film ini dibuka dan ditutup dengan kematian. Mas Wisnu memperlihatkan suasana kelabu
pada keseluruhan film.
Diawal film juga dibuka dengan sensus penduduk, yang
mendata warga karena akan diadakan pemilu. Lucunya, diterangkan selalu ada
pendataan menjelang pemilu. Tapi toh setelah nyoblos, ngga ada perubahan.
Turah (Ubaidillah) adalah seorang yang diberi
tanggung jawab oleh sang tuan tanah untuk menjaga keamanan kampung. Lakonnya rajin
dan santun, ditambah seorang istri yang begitu pengertian. Namun gue justru
tertarik dengan karakter Jadag (Slamet Ambari). Bapak tua dengan hobi judi,
yang akhirnya buka suara. Meneriaki ketidakadilan, melakukan provokator, agar
warga kampung melawan. Termasuk Turah. Jadag-lah yang menurut gue menghidupkan
cerita Turah. Jadag diperlihatkan begitu emosial, dengan kata-kata yang vulgar.
Istri Turah, Kanti (Narti Diono) bahkan belum mau
memiliki anak karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Dia takut anaknya
nanti tidak bisa hidup dengan layak.
Naskah cerita, dialog, semua begitu apik. Sangat keren.
Pake Bahasa dan dialek tegal yang menurut gue sangat natural. Udahlah Bahasa daerah
ngga usah jadi bahan olok-olokan. Ini kan kekayaan budaya.
Pemainnya lebih keren lagi. Kesemua pemain adalah
anggota teater dan penduduk lokal, dimana film ini dibuat. Akting nya bahkan
lebih keren dari aktor nasional.
Gue jatuh cinta sama set nya, ceritanya, pengambilan
gambar dan semua komponen. Film non komersial kayak gini menurut gue selalu
menawarkan cerita yang beda, antimeanstream, ngga ikut-ikutan selera pasar. Dia
selalu menemukan penonton setia. Menurut gue peradaban bangsa itu tercermin
dari film-filmnya yang kayak gini. Indonesia butuh lebih banyak sutradara kayak
Eddie Cahyono yang buat Siti, Mas BW sama Ziarah atau mas Wisnu sama Turah. Ya kita
hidup dengan realita, dengan konflik-konflik sederhana, tapi itu justru yang
luput.
Film yang bagus menurut gue adalah film yang
melahirkan banyak pertanyaan soal isi film setelah kita nonton. Dan ini ada di
Turah. Kenapa bayi mati menjadi lumrah, kenapa film harus dibuka dengan
kematian dan ending juga sama, kenapa harus ada scene yang memunculkan roji
(anak jadag) pas bapaknya ditemukan tewas digantung, padahal dalam keseluruhan
film ngga ada sama sekali dialog antara Roji Jadag, kenapa Turah memilih
melarikan diri ketimbang mengungkapkan kematian Jadag, kenapa harus ada seorang
nenek sakit yang ngga mau ninggalin desa, kenapa cucu si nenek itu pinter gambar,
kenapa seorang sarjana yang justru begitu licik membodohi warga kampung, ini
kan cukup simbolik ya. Seakan-akan pesannya buat pemerintah yang ternyata
orang-orang pinter yang jadi wakil rakyat toh kepentingannya bukan memakmurkan
rakyat. Ah ada banyak sekali. Sayang gue dateng ngga pas diskusi film ini.
Bahkan film ini diakhiri dengan, ‘lah kok udah’. Ngga
ada klimaksnya. What a great film, dengan plot dan cerita yang sederhana.
Gue butuh banyak film yang kayak gini, sebagai bahan
perenungan. Ditunggu Mas Wisnu
karyanya yang luar biasa lagi. 9/10 untuk Turah yang udah mampu keliling dunia.
Sorry gue menyelipkan isu politik di review film
Turah ini. Moment nya pas ketika
Ahok, Gubernur Jakarta divonis bersalah dan dengan tuntutan penjara 2 tahun.
Ahok terbukti menistakan agama, dan membuat kegaduhan umat. Gue sedih,
sesedih-sesedihnya dibanding diputuskan pacar.
Relevansi dengan film Turah adalah cerita yang hampir
mirip. Kenapa?
Jadag dibunuh, lalu digantung oleh orang yang tidak
dikenal. Ya, secara tersirat itu rencana si tuan tanah. Jadag berani melawan
sang tuan tanah, dan membeberkan kelicikan Pakel sang ajudan. Jadag juga bukan
pria baik, tapi dia berani. Dia ngga mau warga desa terus dalam kemiskinan.
Inilah yang terjadi di Jakarta. Gubernur yang begitu berani
ini, akhirnya dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya pake isu agama. Kalo Jadag
digantung, Ahok dijebloskan dalam penjara. Drama hukum Indonesia yang begitu
dekat dengan kepentingan. Dimana keputusan tergantung pada jumlah massa. Mending
putusan Hakim yang katanya terhormat pake polling sms aja.
Ah sudahlah. Sedihnya memang keterlaluan, tapi hidup
tetap harus dilanjutkan. Semoga ada kabar baik, yang buat kami (gue) tidak
pesimis jadi warga Indonesia.
Kalo turah sampe tembus ke layar bioskop, Lo harus
nonton!
No comments:
Post a Comment