Tuesday, December 9, 2014

Perempuan Bali

Identitas Buku
Judul Buku          : Akar Pule
Penulis                : Oka Rusmini
Penerbit              : Grasindo
Tebal                  : 145 halaman
Tahun Terbit       : 2012




Bisa dibilang terlambat jika baru sekarang saya merensensi buku Oka Rusmini terbitan tahun 2012 ini, yang berjudul Akar Pule. Saya baru mengenal karya Oka di tahun 2012. Satu buku yang menurut saya wajib dibaca perempuan Bali, yaitu Kenanga. Dan setelah membaca buku kedua Oka, sekumpulan cerpen yang diberi judul Akar Pule. Saya yakin, beliau adalah tokoh feminimisme yang berasal dari Pulau Dewata. Walau banyak orang mengenal Bali sebagai pulau nan indah dengan berjuta adat budaya, Bali juga menyimpan kisah pilu yang harus diderita kaum perempuannya. Inilah yang menjadi topik disetiap cerita yang dibawakan oleh Oka.

Beberapa pekan lalu, seorang dosen etika filsafat dikampus tepat saya berkuliah menjelaskan teori Hermeneutika. Yaitu salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna dan penafsiran terhadap teks. Hermeneutika menuntut adanya penilaian dari sebuah tulisan oleh pembacanya. Menurut dosen saya tersebut ada beberapa alasan yang mempengaruhi Hermeneutika, diantaranya wawasan pembaca, pengalaman, karena naskah terpisah dari penulis, dan kaitan dengan sikap intoleransi umat beragama. Yang saya tangkap mengenai maksud dari naskah terpisah dari penulis adalah, apabila penulis telah menulis sebuah cerita dan dibaca oleh pembaca, si penulis tidak ikut campur mengenai pemahaman yang diperoleh oleh pembaca. Karena setelah tulisan tersebut diberikan, ia akan ‘terpisah’ dari sang penulis.
Saya rasa, wawasan Oka mengenai soal perempuan dan kasta di Bali begitu dalam. Didukung dari pengalamannya yang memang hidup didalam kasta itu sendiri. Saya juga sempat ‘kepo’, siapa sih sosok Oka ini sebenarnya. Mengapa cerita yang ia bawakan seakan ia sangat terlibat dalam cerita itu. Dan saya mendapat jawabannya, Oka adalah anak yang terlahir dengan kasta Brahmana. Iya bernama lengkap, Ida Ayu Oka Rusmini. Kedua orang tuanya bercerai, dan iya hidup bersama ayahnya dalam suasana griya yang kaku. Dan sekarang, ia telah menikah dengan seorang yang beda agama. Secara langsung, ia harus melepas kasta, karena ia menikah dengan orang tanpa kasta. Terlebih, ia mengikuti agama yang suaminya anut, yaitu Islam. Ia mendobrak kasta pada masyarakat Bali yang begitu kokoh, keluar dari lingkungan griya dan hidup bersama lelaki yang ia cintai. Terlepas dari point ketiga alasan Hermeneutika, dengan adanya beberapa pemaparan tadi, saya berani menilai jika Oka sedikit banyak menceritakan mengenai kehidupannya dalam kurungan adat Bali. Yang menjadikannya kini wanita dewasa.

Kita tidak akan membahas Hermeneutika itu secara mendalam, karena saya yakin kalian akan dibuat pusing. Saya hanya ingin mengaitkan ini dengan cerpen-cerpen karangan Oka yang saya baca dalam buku Akar Pule ini. Oka telah dikenal luas gemar menulis novel, cerpen ataupun karya sastra lainnya dengan nuansa kaum perempuan Bali yang diikat banyak aturan adat.  Aturan adat yang ia anggap kolot.

Cerpen pertama yang ingin saya bahas berjudul, Pastu. Sebuah cerita pendek yang ia tulis pada bulan September tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan seorang gadis bernama Dayu Cenana dan sahabatnya, Cok Ratih. Kedua beradal dari kaum Brahmana, kasta tertinggi di Bali. Cok Ratih seorang yang tidak begitu memperdulikan kasta. Baginya itu semua begitu memuakkan, baginya hidup sudah rumit jangan dibuat semakin rumit.
Cok Ratih akhirnya memilih hidup dengan I Made Pasek Wibawa, yang dikarunia anak bahkan sebelum mereka menikah. Langkah ini ditempuh akan keluarga Cok Ratih menyetujui hubungan mereka, hingga menikahkan keduanya. Dayu telah memperingatkan sebelumnya, karena tentunya jika Cok Ratih menikah dengan orang jaba (tidak berkasta) kastanya akan menjadi turun, dan bagi keluarga yang masih memegang teguh adat, ini adalah hal yang paling dihindarkan.
Setelah tiga bulan menikah, kandungan Cok Ratih berusia tujuh bulan, namun naas ia mengalamai keguguran. Cok Ratih mengelami pendarahan hebat, dan berkali-kali tidak sadarkan diri.

Hyang Jagat, begitu luar biasnya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat! Hyang Jagat!
(hal 88)

Melihat sahabatnya begitu menderita, Dayu Cenana begitu pilu. Tapi Pasek suami Cok Ratih justru diam-diam merayunya dalam kondisi seperti ini. Dia menawarkan untuk mengantarkan Dayu Cenana pulang, atau makan malam. Sungguh menjijikan lelaki ini, katanya. Dayu Cenana tidak melihat keprihatinan dimata Pasek. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatnya itu? Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarganya pun putus karena dia menikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang dikorbankan untuk cinta. Apakah ini pembalasan yang pantas ia terima?
Diakhir kisah, Cok Ratih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Menurut konsep agama, seorang yang meninggal dengan cara salah pati atau bunuh diri tidak dapat diaben. Bahkan hingga akhir hidupnya Cok Ratih tidak memperoleh keadilan atas pilihannya. Beginikah kaum perempuan yang hidup di Bali.

Kisah selanjutnya datang dari cerpen Oka yang berjudul, Bunga. Seorang gadis yang harus menyudahi hidupnya dengan kisah yang tidak kalah tragis dari Cok Ratih. Bunga adalah gadis mungil berumur 7 tahun. Ia piawai sekali menari dengan tubuhnya yang gemulai. Ketiga sahabatnya, laki-laki semua sangat suka melihatnya menari. Mereka selalu memainkan gambelan dan Bunga menari.
Yang menjadi penyebab kisah tragisnya adalah karena ibu Bunga seorang pelacur. Salah satu orang tua temannya,  Gus Putu bahkan melarang anaknya bermain dengan Bunga. Mereka menganggap berteman dengan  seorang anak pelacur akan membawa sial. Hingga akhirnya terdengar kabar bahwa Bunga meninggal dalam usia yang begitu muda dengan darah yang keluar dari kemaluannya akibat diperkosa 3 orang lelaki. Edan!
Diakhir cerita, Oka menuliskan kritikannya terhadap pemerkosa biadab. Oka mengatakan seharusnya pemerkosa anak seperti ini diberi hukuman mati.

Oka Rusmini dengan apik menceritakan silsialah kehidupan keluarga Griya. Serta semua cerita mengambil setting kaum perempuan (khususnya perempuan Bali) yang mengalami penderitaan. Bahkan beberapa begitu tragis. Penderitaan itu diakibatkan oleh laki-laki, lelaki yang memberi dominasi besar. Agak sedikit takut memang membaca setiap judul baru dari cerpen yang disodorkan buku ini, takut membaca cerita yang lebih tragis dari halaman ke halaman berikutnya.

Akar Pule sendiri diambil dari judul terakhir buku ini. Tapi konon, Akar Pule adalah salah satu cerita singkat yang terdapat dalam novel Oka yang berjudul Tempurung. Saya yang belum membaca Tempurung tentu memiliki pengetahuan berbeda dengan yang sudah membaca. Tapi secara keseluruhan, setelah membaca semua cerita pendek dalam buku ini saya menjadi semakin bertanya-tanya, sebegitu tragiskah kehidupan wanita Bali? Selama ini saya justru menutup mata dan telinga mendengar kisah-kisah wanita Bali ari teman-teman saya.
Tapi bagi kalian yang belum tentu mengenal istilah keluarga Bali, dalam novel ini tidak dilengkapi istilah dari beberapa bahasa yang menggunakan Bahasa Bali.

Saya semakin tertarik, apa yang Oka suarakan dalam novel-novelnya yang lain jika ia memang setia dalam image-nya kini dengan kental mengangkat ‘nasib perempuan Bali’.
Judul Cerpen yang terdapat dalam buku ini:
1. Tiga Perempuan
2. Sipleg
3. Sepotong Tubuh
4. Seorang Perempuan dan Pohonnya
5. Sawa
6. Pastu
7. Palung
8. Grubug
9.  Bunga
10. Akar Pule

Untuk Mereka

Pernahkah kamu sekedar mengucap "Aku Cinta Kamu" atau "Terimakasih" kepada orang tuamu? Jika pernah seberapa sering kata itu terucap? 
Video ini sebenarnya beberapa waktu lalu saya ikutkan lomba video. Dalam video yang berdurasi 8 menitan ini, saya hanya ingin menantang teman-teman saya yang ada dalam video mengucapkan hal tadi kepada salah satu orang tua. Melihat, begitu sulitkah ini mereka lakukan.
Tapi saya yakin, walau tidak bisa berucap langsung. Mereka adalah anak-anak yang begitu mencintai kedua orang tuanya dan sampai saat ini begitu bersyukur memilki mereka, termasuk saya.






13 Romansa

Identitas Buku
Judul Buku       : Autumn Once More (kumpulan cerpen Metropop)
Penyunting      : Tim Editor GPU
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : 3, Mei 2013
Tebal               : 232 halaman (20cm)


“Aku tahu, aku masih saja langit yang tersayat-sayat itu, tapi langit ini tidak akan pernah memiliki senja yang sempurna disebelah baratnya, sebab mataharinya telah pergi, menyongsong hujan”.
(hal 216)

Autumn Once More adalah kumpulan cerpen dari tumpahan rasa dan obsensi karya AliaZalea, Anastasia Aemilia, Christina Juzwar, Harriska Adiati, Hetih Rusli, Ika Natassa, Ilana Tan, Lea Agustina Citra, Meilia Kusumadewi, Nina Addison, Nina Andiana, Rosi L. Simamora, dan Shandy Tan. Buku setebal 232 halaman ini berisi 13 cerpen romantik dengan gaya bahasa nyentrik. Masing-masing penulis memiliki pandangan terhadap cinta yang ia rasakan. Konyol, serius, tragis, romantis, dan dan berbagai rasa atas kisah cinta yang mungkin pernah dialami siapapun di bumi ini.

Saya tertarik dengan salah satu cerpen dalam buku ini yang berjudul, Senja yang Sempurna oleh Rosi L. Simamora. Berkisah seorang lelaki dengan kegundahan dan ketidakpercayaannya akan cinta justru perlahan mulai memahami cinta yang tumbuh dihatinya. Seorang wanita yang dulu dengan ‘gila’ mencintainya, namun ia siakan. Wanita tersebut sangat menyukai senja. Senja adalah ‘kami’ katanya pada laki-laki itu, aku langit dan kau matahari. Sang gadis selalu menyediakan senja yang indah untuk bisa berdua dengan laki-laki itu. Namun, saat sang gadis menyatakan perasaannya kepada laki-laki yang ia suka, ternyata laki-laki itu sama sekali tidak menerima cinta yang tumbuh diantara mereka berdua. Mungkin bukan berdua, tapi dalam diri sang gadis.
Dengan tegar, gadis itu akhirnya bisa menerima bahwa selama ini yang ia lakukan hanya untuk seorang teman, yang tanpa melihat rasa lain yang tumbuh. Gadis itu lalu pergi, tak peduli akan senja lagi.
Laki-laki itu mulai kehilangan. Kehilangan sosok yang ternyata ia butuhkan dalam menyelamatkan hatinya yang selalu kacau. Lalu setelah beberapa tahun, ia menghubungi gadis itu lagi untuk bertemu. Laki-laki itu kini yakin, bahwa rasa dalam dirinya adalah cinta. Cinta yang dulu ia ingkari. Tapi belum terlambat, pikir laki-laki itu. Ia memesan senja yang indah, senja yang sempurna untuk mengatakan itu.
Mereka bertemu, bertemu dalam senja. Singkat, lelaki itu menyatakan perasaannya kepada sang gadis. Tapi apadaya, gadis itu kini tidak lagi menyukai senja. Iya justru memilih hujan. Gadis itu menemukan seorang lelaki tersemat pelangi yang indah, setelah hujan. Penyesalan memang menjadi akhir sebuah cerita yang tak berakhir manis. Laki-laki tadi menelan kekecewaan yang teramat dalam. Membiarkan seorang wanita yang dulu tulus mencintainya kini pergi. Adakah yang lebih sakit dari ini?

Cerpen-cerpen lain, yang terdapat dalam buku ini juga tidak kalah menariknya. Seperti yang saya katakan diawal, semua penulis menorehkan kisah cinta dengan rasa berbeda. Kita cukup duduk, membaca, tersenyum, tertawa atau sesekali menangis. Misalnya dalam cerita pendek, Love is a Verb karya Meilia Kusumadewi yang menceritakan dilema wanita masa kini. Perkara like atau love media sosial yang menjadi masalah besar. Seorang wanita seperti ini dipertemukan dengan lelaki super cuek. Hinggu timbulah perang dunia. Konyol sih, tapi endingnya begitu romantis.

Entahlah, jika saya ceritakan semua cerita pendek dalam buku ini mungkin kalian tidak akan membacanya. Tapi saya yakin, setelah kalian membaca buku ini kalian pasti akan membayangkan cerita yang samakah terjadi dengan diri kalian sendiri. Atau mungkin ini Cuma anggapa saya.

Judul buku diambil dari salah satu judul cerita pendek dari Ilana Tan, Autumn One More. Cover buku yang cantik, serta kertas yang cukup tebal salah satu kelebihan buku dibanding ceritanya. Kelebihan lainnya adalah, kalian akan disuguhkan cerita dari banyak penulis terkenal dibawah naungan penerbit Gramedia. Ada 13 cerpen yang akan menambah cerita cinta kalian.
Tapi bagi kalian yang tidak menyukai sastra pendek, dengan ending yang ngatung disarankan untuk tidak membaca buku ini. Daripada kalian harus mengumpat dalam hati. Bahasa yang digunakan juga tidak sama antara penulis satu dengan yang lain. Ada penulis yang begitu indah melukiskan cerita, ada juga yang secara explisit mengungkapan maksudnya. Semua itu masalah selera. Sah-sah saja bagaimana penulis menyampaikan ceritanya kepada pembaca.
Tapi satu yang harus kalian ingat, semua royalti buku ini akan disumbangkan ke Dana Kemanusiaan Kompas untuk membantu saudara kita yang membutuhkan.


Jadi, bagi kalian yang mungkin belum pernah membeli sekumpulan kisah romantis dalam sebuah buku sekaligus bederma, inilah saatnya.

Sunday, November 30, 2014

SATWA

Beberapa potret yang terekam melalui kamera (pinjaman) saya di Kebun Binatang Bandung. Saya bukan kaum profesional, bukan juga amatir. Hanya mengadu nasib mengikuti lomba foto satwa "Taman Safari", dan nasib belum berpihak.


 Australian Pelikan


 Rusa


 Rusa


 "Jangan Lupa Senyum"


 "Cengkrama"


 Orang Utan


 Orang Utan


(mungkin) kancil

dari beberapa foto diatas, satwa yang mendominasi potret saya adalah Orang Utan. Selain spesies ini yang mirip manusia, keberadaannya kini mulai berkurang akibat pembabatan hutan liar, dan pencurian hewan liar yang menyebabkan punahnya keberadaannya.
sebagai manusia yang beradab, lindungi dan jaga mereka. 
#savetheape

Saturday, November 29, 2014

Tetap Konsisten Pertahankan Budaya Lokal

Munculnya berbagai lembaga penyiaran lokal merupakan dampak tak langsung dari perpindahan era penyiaran analog ke era digital. Eksistensinya mulai dirasakan setelah menjamurnya TV lokal yang menunjukkan persaingan dengan TV nasional. Apalagi dengan munculnya Undang-undang nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran, keberadaan TV lokal seakan mendapat restunya.
Jika menengok kembali perjalanan stasiun TV swasta, pada awal berdirinya RCTI tahun 1989 misalnya, jangkauannya hanya terbatas di Jakarta dan sekitarnya. Sementara SCTV dengan jangkauan Surabaya dan sekitarnya. Dan ANteve untuk kawasan Lampung dan Bengkulu. Ini berarti awal tumbuhnya TV swasta jangkauannya memang terbatas dan di kota besar hanya diperbolehkan satu stasiun TV saja. Seiring berjalannya waktu, satu persatu stasiun TV swasta menambah jangkauannya. Hingga akhirnya mulai bersiaran dengan jangkauan nasional.
Namun dalam perjalanannya UU tersebut belum mendapat kejelasan yang pasti. Terutama yang mengatur mengenai batas wilayah siaran yang mengisyaratkan bahwa TV nasional untuk mengurangi kapasitas dan wilayah jangkauannya. Banyak pihak yang menentang keputusan ini, terutama mereka yang telah berinvestasi di stasiun TV swasta, karena dianggap membatasi ruang bisnis mereka.
Terlepas dari konflik kepentingan antara pemerintah dan kapitalisme industri pertelevisian yang ada, TV lokal kemudian lahir dengan gairah otonomi daerah yang ada. Dengan semangat untuk memfasilitasi potensi daerah masing-masing baik dari informasi ataupun hiburan, TV lokal seakan membawa jiwa baru dalam kemajuan media Indonesia. Dan hingga saat ini diberbagai wilayah Indonesia diwarnai dengan lahirnya TV lokal dengan berbagai variasi.
Walaupun popularitas TV lokal ditengah masyarakat yang kalah jauh dibanding TV nasional menjadi faktor bagi minimnya sponsor dan investasi pengiklan untuk ikut menghidupi TV lokal. Namun, sebagaimana kedudukannya sebagai media daerah TV lokal dianggap berhasil menampilkan dan mengedepankan permasalahan daerahnya. Perbaikan yang berkesinambungan tentunya harus terus dilakukan pada TV lokal. Mengingat format acara yang cenderung sama, daya kreatif yang diharapkan belum mampu dipenuhi secara inovatif.

Terlepas dari itu semua, perkembangan TV lokal telah memberikan kabar baik. Untuk kualitas siaran memang butuh jam terbang dan perjalanan waktu yang panjang. Ditambah dukungan dari para donatur sehingga keterbatasan investasi dan lemahnya daya saing terhadap TV nasional mampu diatasi. Karena pada dasarnya TV lokal merupakan media pertahanan budaya lokal yang akan memperkaya siaran TV nasional.

Media Jangan Provokatif

Semakin mendekati pemilihan presiden pada 9 Juli mendatang, semakin gencar pula promosi yang dilakukan masing-masing calon presiden. Pendukung kedua kubu apalagi. Mulai dari kampanye kreatif dalam bentuk video klip, serangan melalui media sosial, hingga penyebaran majalah yang memojokan salah satu calon. Wow, sistem demokrasi negeri ini sedang diuji.
Media mengambil peran penting bagaimana citra calon presiden ini sampai di mata publik. Mereka seakan membuat sebuah bingkai (frame) apa yang akan ditonjolkan dari salah satu calon. Ini menjadi hal yang bagus seharusnya karena media berada pada sudut pandangnya masing-masing, apabila media tetap objektif dan menjaga kenetralannya.
Namun, kini media seakan memperlihatkan senderannya pada salah satu calon presiden. Mereka terus menerus memberi terpaan kepada masyarakat “sisi lemah” calon yang menjadi lawannya. Bahkan, proporsi berita yang seharusnya seimbang dari dua kubu dikesampingkan. Alasannnya, mereka masing-masing memiliki kepentingan akan keberlangsungan media tersebut nantinya.
Media dapat dikatakan sebagai provokator yang rakyatlah imbasnya. Mereka disuguhkan informasi yang tidak berimbang satu sama lainnya. Ngeri tertanya melihat negeri ini. Wong media tugasnya menerangi, eh malah sebaliknya.

Catatan:
Tulisan ini saya kirim ke Surat Kabar Harian Kompas namun sayang tidak dimuat dalam kolom argumen.

Go With the Flow

What make you happy?

Especially I don't know what makes me happy. I Just let something flow. Not over thinking and else. But there are something what I do and that make I happy. The first is when I smile with someone, they are reply my smile. It's simple, but meaningful. Second, I happy when I look someone helping someone else. The example, someone gave her seat to old woman in Trans Jakarta. That is beautiful life, isn't? If we Appreciate each other. Of course. Then, I love travelling so much. I love meet new people, new place, new habit. And wow, God give ours great place why we don't be grateful to God to about. I like making film, such as documentary or drama. I like reading a novel. I like writing. I like watch  Korean Drama. I like singing. I like riding my bike. I like imagining. I love freedom. All of them, I just like something go with the flow.

Budaya Bali Rasa Sunda

DIES NATALIS XXII UKM BALI UNIVERSITAS TELKOM BANDUNG

Hidup dan tinggal di negeri Sunda tak menghalangi kreativitas mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Bali Widyacana Murti Universitas Telkom untuk merayakan 22 tahun usianya dalam pagelaran Sendratari Lebur Kangsa.

Tepat tanggal 17 Mei 2014 UKM Kesenian Bali Widyacana Murti melaksanakan puncak acara Dies Natalis XXII-nya di Gedung Serbaguna Fakultas Teknik Universitas Telkom Bandung. Acara yang dimulai pukul 19.00 waktu setempat berhasil mendatangkan lebih dari 1000 penonton. Mereka adalah mahasiswa dari berbagai universitas di Bandung yang tertarik dengan Budaya Bali.

Dies Natalis kali ini mengusung tema “Janardhana” yang berarti penyelamatan umat manusia. Tema inilah yang menjadi dasar sendratari Lebur Kangsa yang menceritakan Kematian Raja Kangsa di tangan Krisna.

Sebelumnya, rangkaian Dies Natalis XXII ini dibuka dengan pawai di sekitaran Car Free Day Dago pada 6 April 2014 lalu. Dalam pra event ini menampilkan Gebug Ende, yaitu tradisi perang rotan di Desa Seraya Karangasem Bali. Selain Gebug Ende ditampilkan juga Bleganjur, Musik Kontemporer dan Genjek lengkap dengan Jogednya. Genjek adalah sebuah paduan antara tarian dan nyanyian yang menceritakan kebiasan orang Bali yang suka berkumpul. Dalam nyanyian yang mereka lontarkan ini sering kali mengejek, atau mengkritik satu sama lain.

Selanjutnya pada pra event kedua, Dies Natalis XXII menampilkan Tarian Kolosal Kecak bertempat di Danau Universitas Telkom Bandung tepatnya tanggal 13 Mei 2014. Pagelaran kecak ini juga menampilkan Tarian Sanghyang Jaran, yaitu Tarian yang dibawakan secara tidak sadar lalu penari menari diatas api. Di Bali tarian ini biasanya dilakukan saat upacara keagamaan sehingga sangat sakral dan memiliki fungsi untuk mengusir wabah penyakit. Ditengah-tengah penampilan kecak, dipentaskan pula sendratari mini yang nanti ceritanya akan dilanjutkan dalam peak event.
Pada saat puncak acara, dekorasi dibuat semirip mungkin dengan beberapa tempat di Bali agar orang-orang merasakan atmosfer Bali walau sedang berada di Bandung. Beberapa tari tradisional juga dipentaskan seperti, Tari Puspawresti, Sekar Ibing dan Garuda Wisnu.

Dalam sendratari Lebur Kangsa dikisahkan Raja Kangsa yang sering berbuat onar di masyarakat, yaitu dengan menyebarkan wabah penyakit. Merasa rakyatnya sengsara, Baladewa kakak dari Krisna pun melawan Kangsa. Namun dengan kekuatannya yang besar, ia akhirnya kalah. Peperangan dilanjutkan oleh Krisna yang berujung kematian Raja Kangsa dengan Cakra milik Krisna. Pesan moral yang ingin disampaikan, yaitu kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.


Kesuksesan acara dapat dilihat dari antusiasme pononton yang tidak bangkit dari kursinya hingga acara selesai. Mereka juga sibuk berfoto dengan penari saat acara usai. Tujuan dari rangkaian Dies Natalis XXII ini selain merayakan bertambahnya usia UKM Kesenian Bali adalah untuk mengasah kreativitas mahasiswa khususnya anggota UKM serta memperlihatkan bahwa kita bisa eksis walau berada di negeri orang. (IMA)

Cinta Tiga SKS

Tok..tok..tok. Seorang wanita muda masuk ke ruang kelas memakai kaos hitam dengan celana jins ditambah sepatu converse putih dan tas jinjing di lengan kirinya. Dari mukanya terlihat sekali ia baru bangun 10 menit yang lalu. Mungkin hanya sempat mencuci muka dan sikat gigi. Rambutnya yang sebahu di gerai sembarang dengan hasil sisiran yang terkesan sekedar. Dosen tidak terlalu memperhatikan langkahnya memasuki ruangan. Iya sedang sibuk menjelaskan metode penulisan Advertorial untuk iklan radio. Wanita berjalan pelan sambil berkata permisi kepada teman-temannya yang sudah duduk dikelas lebih dulu.
Sebuah kursi kosong terletak di paling belakang. Langkah wanita tadi menuju ke arah kursi. Sambil mengatur nafas, ia lalu duduk.
“telat bangun lagi?” tanya wanita yang duduk disebalahnya.
“iyaa nih Wil. Lo kok ngga bangunin gue si?!” keluh wanita itu kesal.
“hey, gue uda telpon Lo ya Nin. Siapa suruh hp lo mati” Wilda ngomel sambil berbisik.
“hah....” Nindi menarik nafas panjang.
Ini pertama kalinya Nindi masuk kelas Copywriting. Karena dipertemuan pertama ia memakai jatah bolosnya untuk berlama-lama di kampung halaman. Nindi memang dikenal ngga bisa bangun pagi. Di semester lalu saja, beberapa matakuliah ia hampir skip 3 kali hanya karna telat bangun. Dan sekarang, ia lagi lagi harus berhadapan dengan matakuliah Copywriting jam 7 pagi di tiap hari Selasa. Ini musibah.
Sebelum menginput matakuliah ini diawal semester, ia sempat protes kenapa kampus tidak berpihak ke mahasiswa senior disini. Mahasiswa semester 5 keatas itu harus dimanjain, salah satunya dengan meniadakan kuliah pagi, celotehnya dulu. Ia juga sering meminta tolong kepada sahabatnya, Wilda untuk membangunkannya di hari Selasa. Tapi ya gini hasilnya, kalo ngga diangkat pasti hp nya mati.
“dari tadi ngapain aja? Ini si dosen jelasin apa? Gue ngga ngerti” tanyanya ke Wilda.
“iiihh makanya jangan telat. Udah dengerin dulu aja” jawab Wilda kesal.
Nindi masang muka cemberut sambil memaksakan matanya tetap terbuka. Ia baru tidur subuh tadi, hanya tiga jam.
“iya sekarang tugas minggu lalu bisa dikumpulkan” perintah Pak Rofi dari depan kelas.
“Nin, tugas lo mana?” tanya Wilda.
“untung gue inget ngerjain semalem. Nih..!” jawab Nindi sambil menyetorkan tugasnya ke Wilda.
“ini langkah sebelum tidur apa cerpen si? Panjang amat” protes Wilda.
“kan gue ngga masuk. ya mana gue tau kalo tugasnya cuma di suruh langkah-langkah doang” Nindi membela diri.
“emang bakat ngarang lo” coleteh Wilda sambil ngumpulin tugas temen-temennya yang lain.
“Nin, tolong kasiin ke Wilda dong” tiba-tiba terdengar suara cowok di sebelah Ninda.
Ia lalu menoleh.
“Aryo? Lu di kelas ini juga?” tanya Nindi kaget sambil mengambil kertas tugas Aryo.
“iya. Kan pengen liat kamu” jawab Aryo sambil senyum-senyum.
“masih aja suka gombal” jawan Nindi ketus.
Aryo sempat sekelas bareng Ninda di semester dua. Walau tidak terlalu deket, Nindi mengenal baik Aryo. Beberapa kali mereka sempat sekolompok bareng. Dan kebiasaan Aryo yang ngga Nindi lupain adalah suka ngengombal. Bukan Cuma Nindi, Aryo sering banget ngombalin cewek-cewek lain. Padahal tampangnya yaa lumayan, terus keliatan polos. Yang belom kenal pasti ngga nyangka cowok ini suka ngombal kalo diliat dari tampangnya. Dan Nindi? Ngga kalah sama Aryo, Nindi juga sering ngombalin cowok-cowok. Hobi ngombalnya ini katanya cuma iseng, atau emansipasi. Masa yang ngombal cuma cowo, kata Nindi dulu. Kalo cowok cuma anggep bercanda, ya ngga apa-apa. Nah kalo serius? Nindi uda berkali-kali ‘terjebak’ karena hobinya yang konyol. Ini yang buat mereka berdua nyambung kalo ngobrol. Yang cowoknya ngengombal, ceweknya juga bales. Klop.
“eh yo, apa kabar lo? Lama ngga sekelas” tanya Nindi.
“baik gue. Lo juga ngga pernah keliatan, gue kira lo ngga ambil matakuliah ini” jawab Aryo sambil sesekali melihat dosen.
“iya kan kita beda konsentrasi pak, mau banget sekelas bareng terus?” goda Nindi.
Aryo noleh ke arah Nindi, sambil tersenyum kecil. Mereka berdua lalu tertawa bersamaan.
“kalian ini ya, emang agak-agak” tiba-tiba Wilda ikut nimbrung.
Pak Rofi menyebutkan nama mahasiswa satu persatu setelah mengoreksi tugas yang dikumpulin.
“Nindi Mareta” panggil Pak rofi.
“iya pak” jawab Nindi refleks.
“ini kamu buat langkah-langkah sebelum tidur apa cerita sebelum tidur. Uda kayak cerpen aja” katanya.
“tuh kan” cibir Wilda.
“ust. Iya pak saya ngga ngerti tugasnya” Nindi beralasan.
“lo si ngga ngasi tau yang dibuat cuma langkah-langkah” protesnya ke Wilda.
“yee, lo nya aja yang ngga denger pas gue kasi tau” Wilda ngga mau kalah.
“yaudah, lain kali gue yang ingetin” kata Aryo.
“aaa Aryooo...” jawab Nindi sok manja.
“mulai deh mulaii” oceh Wilda.
Nindi dan Aryo ketawa dengan suara pelan.
“kelas sudah sampe disini, jangan lupa tugas dikumpul minggu depan” kata Pak Rofi.
“iyaa pakkk” jawab anak-anak riuh.
“eh prim buru, kita ada kelas lagi” ajak Wilda.
“iyeee sabar. Yo gue duluan ya” sambil menepuk bahu Aryo.
“eeh iya Nin” jawab Aryo sambil menulis tugas yang Pak Rofi kasi tau tadi.
***
Lagi-lagi Nindi telat memasuki kelas. Namun hari ini setidaknya ngga separah minggu lalu. Hanya telat berapa belas menit. Dan kembali Nindi dapet tempat duduk di sebelah Aryo. Aryo memang hebat, ngga pernah telat masuk kelas walaupun jam 7 pagi bisik Nindi dalam hati.
Seperti minggu sebelumnya, Pak Rofi menjelaskan materi di depan kelas tanpa menggunakan microsoft power point. Yang paling mahasiswa di kelas ini bingungkan adalah cuma ini dosen yang jelasin materi tanpa bantuan power point. Pak Rofi bukan dosen yang jenius, dia hanya suka bercerita kepada mahasiswanya. Kalo menurut Nindi, dia hanya menyombong. Dan Nindi juga pernah bilang ke Wilda sahabatnya, kalo Pak Rofi itu sebenernya gaptek.
“Wil...”
“eeh..” tanpa memalingkan muka ke arah Nindi.
“jangan sok ngerti deh” kata Nindi ketus.
“kenapa lo?” tanya Wilda.
“Bang Bimo, anak 2010 bilang kalo Pak Rofi sampe akhir semester pun ngga pernah pake power point tau” ungkap Nindi.
“serius lo?” Wilda menoleh ke arah Nindi.
“iya, bener kan yang gue bilang. Doi itu ngga bisa make laptop. Ngakunya doang copywriter” jelas Nindi.
“ngga boleh gitu ih. Dengerin bapaknya aja, ngga usah ribut” protes Wilda.
“errrrr....”
“gue dengerin kok Nin” tiba-tiba Aryo nimbrung.
“ah lo, pasti nguping dari tadi”.
“siapa tau, elo ngomongin gue” ungkap Aryo sambil menahan tawa.
“Yo, jadi ngga cukup telpon-telponan kita semalem” Nindi mulai menggoda.
“ya ngga lah. Masih kangen tau” Aryo malah menjadi-jadi.
“eemm” Nindi menyenggol bahu Aryo.
Setiap Nindi melayangkan pertanyaan ke Aryo, pasti ditanggepin pake gombalan sama si Aryo. Gimana Wilda ngga gregetan dengernya.
“eh kok tulisan lo makin jelek yo? Haha” ledek Nindi.
“buat apa tulisan bagus, kalo hati gue aja uda bisa lo baca” jawab Aryo.
“omigod, plis gue meting yo”.
“kayaknya kalian emang serasi deh” tiba-tiba Nina ikut nimbrung.
“bener na, tinggal di tembak aja nih si Nindi” cerocos Wilda kesal.
“yauda, tunggu apa yo. Ayo jadian aja” Nina mengompori Aryo.
“apaaan si” ungkap Nindi malu-malu.
“kita itu emang uda deket. uda lebih dari pacar” jawab Aryo.
Dan, cuma gara-gara ngomong beginian. Wilda dan Nina resmi menganggap Nindi dan Aryo pacaran. Mereka bertriak-triak di dalam kelas saat matakuliah selesai kepada mahasiswa lain untuk menangin PJ pada Aryo dan Nindi. Jelas saja, suasana kelas semakin gaduh. Dan tak disangka-sangka. Mahasiswa lain, menyalami lelucon yang di buat Wilda. Walaupun Aryo menganggap ini bercandaan, Nindi punya rasa yang berbeda ternyata.
***
Cewek mana si yang kalo diperhatiin cowok ngga tiba-tiba jadi jatuh cinta? Atau digombalin tiap ketemu. Tepatnya di tiap menit pertemuan mereka. Walau Nindi tau Aryo tidak serius, tapi ada hal yang melintas dipikirannya. Oke, kali ini Nindi akhirnya terjebak dalam keadaan yang biasanya ia buat sendiri dengan gombalan-gombalannya ke temem lelakinya.
“bengong aja” Aryo sambil menyenggol lengan Nindi dikelas.
“lu gangguin gue aja” jawab Nindi.
“oh ini ganggu? Lo anggep gue apa prim...” ungkap Aryo.
Yo, kalo gue jadi beneran jatuh cinta sama lo gimana? Tanya Nindi dalam hati sambil memandang Aryo dalam.
“aa warkop depan kosan” jawab Nindi sambil membalikan pandangan kembali ke depan kelas.
“tega benerrr dah” nada Aryo agak kecewa, tapi dengan tertawa.
Dan semenjak gosip kita pacaran menyebar, temen-temen Nindi dan Aryo di kelas ini seakan merencanakan kita biar duduk terus berdampingan. Entahlah apa yang ada dipikiran mereka, kadang Nindi memikirkan itu.
Sampe akhirnya, kejailan Wilda berujung. Aarrgh.
“..........selfie yok Nin” tiba-tiba obrolan Nindi dan Aryo mengarah kesitu.
“pake hape lo aja, hp gue butut ngga bisa selfie” jawab Nindi serius, walaupun dia sangat tau Aryo cuma basa-basi.
“yaelah ribet amat. Mana hape lo?!” Wilda lalu berinisiatif mengambil hape Nindi.
Pelak! Aryo dengan sok cool, memegang bahu Nindi dari belakang. Klik!
“bntar ya prim” kata Wilda.
“mau apa loh? Eeh!” Wilda masih sibuk memainkan hape Nindi.
“nih gue balikin” jawab Wilda singkat.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba seorang yang duduk di depan Nindi menoleh ke belakang.
“Nin mesra banget” ungkap seorang mahasiswa kepada Nindi.
“apaan?” tanya Nindi ngga ngerti.
“nih!” dia lalu menyodorkan hape pada Nindi.
“Wilda kampreeeeettttt” Nindi setengah berteriak dengan muka kesal.
“go publik lah” kata Wilda enteng.
“sialan lu” jawab Nindi kesal.
“udah si Nin, biarin aja” Aryo angkat bicara.
“lo lagi” Nindi mulai pasrah.
“lah kan ini cuma candaan” kata Aryo lagi.
Lo ngga tau perasaan gue? Semakin ini menjadi-jadi semakin gue menggangap ini serius. Bisik Nindi dalam hati.
“iya juga si” jawabnya pada Aryo.
***
Baru sebentar foto itu di post di Line, udah banyak mahasiswa yang mengenal mereka berdua berkomentar. Banyak yang kaget, dan sebagian justru menuntut PJ. Dimana pun mahasiswa lain melihat Nindi, pasti mereka menanyakan kebenaran gosip ini. Dan PJ tak kalah penting.
Ini minggu kesekian kalinya setelah gosip mereka berdua jadian dan tersebarnya foto seronok itu. Hingga akhirnya mereka memilih untuk menikmati ini. Aryo khusunya. Karena Nindi masih didera perasaan-perasaan yang tidak pasti.
“beb...sini duduk” Aryo memanggil Nindi saat Nindi baru memasuki kelas.
“Cieeeeee” ledek mahasiswa lain.
“Iya beb” Nindi mulai pasrah.
“Cieee uda pake bebeb, bebeban” ungkap Wilda.
“iyaaa dong” jawab Aryo bangga.
Nindi tertunduk lesu. Pikirannya berkecamuk.
“kenapa gue yang ngga bisa menikmati ini dengan biasa. Kenapa cewek terlahir dengan sensitivitas yang berlebihan. Ini hubungan yang ngga serius, jadi jangan pernah berpikiri ini akan menjadi serius” Nindi mencoba menekankan hal itu dalam pikirannya.
Kecanggungan Nindi dan ke-nikmat-an Aryo berlangsung hingga Ujian Tengah semester berakhir.
***
Setelah memasuki pertemuan matakuliah copywriting pasca uts, keadaan mungkin bisa dikatakan berubah perlahan. Di minggu-minggu pertemuan ke tiga setelah UTS, dia dan Aryo ngga dapet kesempatan untuk duduk bersebelahan lagi. Ini gara-gara kebiasaan Nindi yang ngga bisa bangun pagi ngga pernah ilang. Bedanya, mungkin kini temannya bosan menyediakan tempat duduk kosong di sebelah Aryo. Atau Aryo yang mulai bosan. Aaah, plis jangan kemungkinan kedua. Batin Nindi mulai berkonflik.
“Gue cukup kecewa kalo hubungan kita yang ternyata emang ngga serius. Karena ya emang, kita ngga pernah saling kontak selain dikelas. Tapi jangan sampai gue lebih kecewa karena gue tau, hubungan candaan kita juga tidak berjalas mulus” banyak pertanyaan muncul dibenak Nindi.
Materi perkuliahan hari ini hanya pembagian kelompok lalu membuat konsep untuk pembuatan poster. Satu kelompok beranggotakan lima orang. Wilda yang berperan aktif menentukan siapa aja yang mau jadi anggota kelompoknya. Jelas aja Nindi yang pertama. Hingga terkumpulah lima orang kedalam kelompoknya, termasuk Aryo. Nindi menarik nafas panjang, tau kalo Aryo juga jadi bagian tugas kelompoknya. Ntah kenapa, Nindi ingin menjauhi Aryo perlahan.
Beberapa minggu selanjutnya mereka mempresentasikan konsep poster di depan kelas. Topik yang ditugaskan dalam poster kali ini “Jangan Merokok”. Konsep poster yang mereka terangkan adalah ide dari Aryo. Dalam poster yang berukuran A3 itu terdapat gambar tangan seseorang memegang rokok masih menyala. Rokok itu akan dimatikan diatas asbak berbentuk paru-paru. Dengan background berwarna gelap. Kalo kata Aryo sih, semakin sering rokok dikonsumsi semakin cepat paru-paru akan rusak seperti halnya asbak yang selalu menjadi sasaran rokok.
Walau ide ini cukup bagus, Nindi sama sekali tidak tertarik. Seandainya aja ia punya ide lebih bagus, pasti iya akan menolak ide Aryo. Kebencian Nindi pada Aryo seakan menjadi-jadi saat mereka uda ngga pernah duduk bersebelahan lagi.
“jika konsep posternya seperti ini, target masyarakat yang mana yang akan anda sasar?” tanya seorang mahasiswi pada kelompok kami.
Semua mata menoleh ke arah Nindi, mereka seakan memasang kode agar Nindi menjawab pertanyaan itu. Ya mau gimana, dari tadi Nindi belum dapet giliran menjawab soal.
“iya, semua kalangan. Lagian maksud poster dan pesannya gampang dicerna. Ditempel dimana aja bisa. Dibelakang pintu toilet juga bisa. Iya kan yo?” jawab Nindi ngga serius. Semua anggota kelompok menoleh kearah Nindi dengan mata melotot.
“bener kata Nindi tadi, kita berusaha membuat poster ini sesederhana mungkin agar semua kalangan bisa menangkap pesannya. Apalagi yang kita ketahui, masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi rokok tidak lagi dari kalangan menengah atas justru lebih banyak menengah bawah” jawab Aryo menimpali Nindi yang terlihat ngga ambil pusing dengan jawabannya tadi. Mahasiswa yang mendengar jawabannya Aryo hanya manggut-manggut termasuk mahasiswi yang bertanya tadi.
“lo kenapa si?” tanya Wilda pada Nindi.
“tau ah gelap” jawab Nindi singkat.
Setelah mereka kembali ke tempat duduk, Aryo memandang Nindi dari kejauhan. Melihat keanehan tingkah Nindi yang dirasa akhir-akhir ini. Nindi yang merasa diperhatikan menoleh kearah Aryo, lalu memalingkan muka tanpa berekspresi apapun.
Lama-kelamaan Nindi menjadi males masuk kelas Copywriting. Ia hanya ingin menghindari Aryo. Menghindari perasaan-perasaan yang tadinya muncul akibat rayuan Aryo. Dan sejauh ini yang ia tahu itu semua emang sekedar main-main.
Hingga dipertemuan terakhir matakuliah ini karena minggu depan akan berlangsung UAS, Nindi masih ngga bisa menyembunyikan kekesalannya sekaligus kekecewaannya pada Aryo. Saat Nindi masuk kelas, dan matakuliah telah dimulai hanya ada satu kursi tersisa disebelah Aryo. Wilda melirik kearahnya sambil tersenyum. Ia memberi kode pada Nindi untuk duduk disebelah Aryo di pertemuan terakhir ini.
Tanpa pikir panjang Nindi menarik kursi itu lalu meyeretnya di deretan bangku depan. Semua anak menoleh kearah Nindi. Selain karena suara kursi yang menganggu seisi kelas, mereka melihat Nindi dulu selalu dekat Aryo kini justru terkesan jijik duduk berdekatan.
“Maaf pak” kata Nindy melihat Pak Rofi yang juga menoleh kearahnya.
Aryo menoleh kearah Wilda dengan muka bertanya-tanya. Lalu wilda mengangkat bahunya. Aryo mulai membenarkan firasatnya melihat tingkah Nindi yang akhir-akhir ini mulai jutek kepadanya.
“bubar kelas, gue harus ngomong sama dia” ungkapnya dalam hati.
15 menit sebelum matakuliah berakhir, Pak rofi membubarkan kelas dengan ucapan selamat menempuh UAS dan tentunya doa agar ngga sampe mengulang matakuliah ini. Satu persatu anak keluar kelas. Nindi masih ngobrol dengan Pak Rofi karena ia telat mengumpulkan tugasnya ke email kelas. Aryo sengaja nungguin Nindi. Mumpung kelas uda sepi.
Saat Nindi telah menyelesaikan urusannya dengan Pak Rofi, ia menuju ke tempat duduknya melihat ada Aryo yang duduk disitu. Pak Rofi berpamitan keluar.
“minggir. Gue mau ambil tas” kata Nindi ketus.
“bentar. Lo marah sama gue?” tanya Aryo.
“ngga, ngapain” Nindi masih ketus.
“Bohong. Kenapa ngindar kalo gitu”.
“terserah gue dong”
“pasti ada alesan untuk jawaban terserah”
“ngga”
“Nin...”
“gue kesel. Gue kesel kenapa lo dulu baik sama gue. Ngrayu gue. Ngombalin. Manggil bebeb. Trus ilang. Udah gitu ada” Nindi jawab pertanyaan Aryo dengan emosi.
Sambil maksain ketawa, Aryo narik tangan Nindi agar wajahnya lebih dekat dengan Aryo yang sedang duduk didepannya.
“itu yang lo lakuin dulu ke gue” jawab Aryo lalu melepaskan genggaman tangan Nindi dan pergi keluar kelas.
“hah. Oke gue kena karma” kata Nindi dalam hati.
***
Akhirnya UAS berlangsung. Pak Rofi ngasi dua soal sesuai dengan kisi-kisi yang ia kasi. Aryo nyelesaiin jawabannya dengat cepat. Setelah nyetor lembar jawaban ke pengawas, Aryo lalu mengambil tas didepan kelas. Ia berjalan pelan, kemudian berhenti sejenak didepan kursi Nindi. Tanpa diliat pengawas, Aryo menaruh kertas diatas meja Nindi lalu pergi.
Takut dikira kertas contekan, Nindi milirik kanan kiri biar ngga ada yang ngeliatin. Rasa penasarannya lebih besar dibanding ketakutannya ditangkap pengawas. Perlahan ia membuka kertas itu. Dalam hati ia membaca tulisannya.
Semoga semester depan kita ngga cuma ketemu tiga sks. Aryo.