Semakin mendekati pemilihan presiden pada
9 Juli mendatang, semakin gencar pula promosi yang dilakukan masing-masing
calon presiden. Pendukung kedua kubu apalagi. Mulai dari kampanye kreatif dalam
bentuk video klip, serangan melalui media sosial, hingga penyebaran majalah
yang memojokan salah satu calon. Wow, sistem demokrasi negeri ini sedang diuji.
Media mengambil peran penting bagaimana
citra calon presiden ini sampai di mata publik. Mereka seakan membuat sebuah bingkai
(frame) apa yang akan ditonjolkan
dari salah satu calon. Ini menjadi hal yang bagus seharusnya karena media
berada pada sudut pandangnya masing-masing, apabila media tetap objektif dan
menjaga kenetralannya.
Namun, kini media seakan memperlihatkan
senderannya pada salah satu calon presiden. Mereka terus menerus memberi
terpaan kepada masyarakat “sisi lemah” calon yang menjadi lawannya. Bahkan,
proporsi berita yang seharusnya seimbang dari dua kubu dikesampingkan.
Alasannnya, mereka masing-masing memiliki kepentingan akan keberlangsungan
media tersebut nantinya.
Media dapat dikatakan
sebagai provokator yang rakyatlah imbasnya. Mereka disuguhkan informasi yang
tidak berimbang satu sama lainnya. Ngeri tertanya melihat negeri ini. Wong media tugasnya menerangi, eh malah
sebaliknya.Catatan:
Tulisan ini saya kirim ke Surat Kabar Harian Kompas namun sayang tidak dimuat dalam kolom argumen.
No comments:
Post a Comment