Gue tau Deadpool, berawal dari
suruhan produser buat nyari film terbaru untuk closing segmen Metro Plus Siang. Dan trailer nya keliatannya seru banget. Superhero tapi lucu. Ditambah pas itu, kedua host yang penggemar
film-film Marvel juga bilang kalo Deadpool bagus filmnya. Makanya gue makin
pengen nonton. Hari sabtu kemaren, tepat sehari sebelum valentine gue dan temen
gue nonton di salah satu bahkan satu-satunya bioskop murah di Jakarta. Karena
nonton di weekend itu harganya ‘agak’
ngga masuk akal. Fiuh.
Lanjut.Kali ini gue mau ceritain
tentang Deadpool.
Deadpool bercerita tentang seorang
mantan tentara bayaran yang juga pasukan khusus militer, bernama Wade Wilson
(Ryan Reynolds). Wade memiliki seorang kekasih, Vanessa Varlyse (Morena
Baccarin) yang sangat mencintainya. Bahkan ketika Wade divonis menderita penyakit
kanker mematikan, Vanessa tidak ingin pergi dari hidup Wade.
Pertama, gue mau menyampaikan rasa
bangga gue karena sudah menonton film Indonesia. Yeah!
Tapi hampir sama dengan film Siti,
jumlah penonton A Copy of My Mind pas gue nonton ngga lebih dari 20 orang.
Sangat sedikit.
A Copy of My Mind (kita singkat
ACMM aja biar ngga kepanjangan ngetiknya) adalah film karya salah satu
sutradara terbaik di Indonesia, Mas Joko Anwar. Lah akrab bener manggilnya pake
mas? Eits, gue udah kenalan. Dia
pernah jadi narasumber di program acara gue. Cie gitu.
Nih
Sumber: dokumentasi pribadi
Pertama kali gue nonton film karya
Joko Anwar, judulnya Janji Joni. Dan itu menurut gue film yang keren.Gue suka
banget film yang ceritanya cuma sehari, tapi pesannya dalem. Seperti film Siti
contohnya. Semenjak itu gue terobsesi bikin film yang setting waktunya cuma sehari.Karena terinspirasi dari Janji Joni,
di semester 3 pas matakuliah pengantar broadcast
gue ditugaskan buat film. Film pertama gue. Gue kasi judul, ‘KSATRIA’. Film
pendek tanpa dialog berdurasi 5 menit yang ceritanya cuma, perjalanan sang
cowok buat nepatin janji ketemu sama pacarnya.As simple as that. Kenapa judulnya Ksatria? Yah karena, pertama
nama Joni udah keambil sama Mas Joko.
Haha. Kedua karena menurut gue, Ksatria bukan cuma soal membela yang benar di
medan perang. Tapi Ksatria adalah orang yang mampu menepati janjinya. Selain
nama si Cowo itu di film emang Ksatria.
Sebentar. Kok jadi ngomongin film
gue.
Kita lanjut ke ACMM.
ACMM bercerita tentang Sari (Tara
Basro) seorang pegawai salon yang gemar membeli dvd bajakan. Tapi Sari sering
dapet dvd dengan subtitleyang ngawur.
Suatu ketika, Sari protes ke tukang yang jualan dvd. Nah momennya pas banget
pas Sari komplen ada Alek (Chico Jericho), si penerjemah dvd bajakan.
Sari yang kesal karena protesnya
tidak mendapat ganti rugi, ia lalu pergi dari toko dengan mengambil satu dvd
bajakan tanpa ijin. Tindakan itu diliat oleh Alek yang langsung membuntuti Sari
pergi. Alek kemudian ‘menjebak’ Sari agar mau ikut ke kosannya. Dan Sari mau.
Setelah hari itu, mereka bertemu
lagi. Sepertinya Alek udah suka sama Sari dari pertama pas mereka ketemu. Kalo
bisa dibilang ini kayak FTV versi alusnya, ngga langsung tabrakan jatuh cinta.
Anehnya, aneh banget pas pertemuan kedua mereka yang sepertinya ‘udah saling
jatuh cinta’ melakukan hubungan layaknya suami-istri. ‘baru dua kali ketemu
loh, cepet amat’ pikir gue. Pas adegan kayak gini, gue malah sibuk liatin
ekspresi penonton. Haha. Tapi gue masih heran kenapa lolos sensor ya. Hhmm.
Makin hari, cinta mereka semakin
kuat.
Sari yang bosen sama tempat
kerjanya yang lama nyobain cari tempat kerja baru yang ngga jauh dari salonnya
yang lama. Di salon yang baru, Sari harus training
sekitar 2 minggu baru diperbolehkan handlepelanggan.
Jadi setelah diterima, kerjanya si Sari cuma ngeliatin senior therapist-nya. Karena bosen, Sari ngadu
ke Manajernya biar dia bisa langsung handle
pelanggan.
Gara-gara itu, Sari akhirnya
diutus untuk memberikan perawatan wajah pada seorang narapidana di penjara yang
punya banyak relasi di kalangan atas. Narapidana tersebut dipenjara karena
kasus korupsi, bisa dibilang juga dia makelar korupsi gitu. Yang hubungin
pejabat dengan pengusaha gitulah.
Mas Joko seperti mengangkat kisah
di negeri ini, atau justru ingin menyindir seseorang. Penjara yang menurut
orang-orang termasuk Sari, adalah tempat yang kotor, sempit dan bau ternyata
kenyataannya tidak demikian. Dalam selnapi kasus korupsi yang
dimainkan oleh Maera Panigoro ini, lebih mewah dari
kos-kosan pada umumnya. Ruangannya bersih ber-AC, ada kulkas, dan home theater
yang lengkap koleksi dvd.
Setelah memberi perawatan, Sari diam-diam mengambil
koleksi dvdnya. Adegan menegang ketika, sebelum pulang Sari dipaksa membuka
tasnya untuk diperiksa. Takut-takut kalo ada penyadap yang dibawa Sari.
Sesampainya di kos Alek, Sari mengajak Alek menonton bersama. Tapi ternyata dvd
curian Sari adalah rekaman korupsi para pejabat tinggi dan juga salah satu
calon presiden saat itu. Ketika Sari dan Alek mengetahui hal itu, bahaya mengancam
mereka berdua.
Setelah menonton ACMM, gue serasa
melihat ada yang ingin Joko Anwar sampaikan secara implisit dan eksplisit. Semacam
tragedi masa lalu, dimana apabila seorang merugikan pejabat saat itu akan dihabisi
nyawanya. Atau paparan fakta bahwa koruptor di Indonesia, yang katanya di
penjara ternyata hidupnya lebih enak dari rakyat yang telah menjadi miskin
karena haknya tidak diperhatikan.
Gue tau Joko Anwar memang vokal
kalo ngomongin soal politik di Indonesia. Beberapa kali nonton Mata Najwa yang
ada Mas Joko-nya, sangat-sangat terlihat kalo Mas Joko anti pejabat yang
beruntang janji. Ini juga terlihat dari tweetMas
Joko di Twitter yang ngga hentinya-hentinya mengkritik pemerintah.
Momen proses produksi film ini
juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden tahun 2014, kemaren. Dimana Mas Joko dengan lantang dan tegas
mendukung Jokowi-JK kala itu. Nah yang jadi pertanyaan gue adalah, (1) Apakah film ini dibuat bertepatan dengan
momen pemilihan presiden, dimana Mas Joko terinspirasi dari salah satu calon
presiden yang memiliki ketrkaitan kuat dengan kasus 1998? Atau (2) cerita film ini sudah dibuat lama, hanya
secara kebetulan momen yang pas saat pemilihan presiden? Jawab dong Mas
Joko.
Teka-tekinya udah ya, gue akan
mencoba memberi penilaian terhadap film ACMM.
Visual film ACMM seperti
dokumenter kalo menurut gue, dari warna dan shoot-shoot
yang diambil. Banyak close up bahkan extreme close up. Kamera moving yang mem-follow objek juga banyak. Sesekali gue suka, cuma kalo keseringan
jadi pusing juga. Sepertinya gue paham maksudnya disini, bahwa kita (penonton)
diajak lebih dekat dengan tokoh. Baik Siti ataupun Alek. Karena garis besar
film ini yang menceritakan masyarakat bawah, gambar soal kemiskinan, anak
terlantar, sebagai sisipianatau
transisi juga banyak. Ini gue suka. Inilah Indonesia, mungkin tepatnya Jakarta.Angle pengambilan gambar sangat beragam,
tidak hanya satu atau dua titik. Penonton tidak akan bosan, gue yakin.
Gue juga suka transisi musik.
Mungkin bukan trasisi, tapi perpindahan suasana dari sepi tiba-tiba berpindah
ke tempat rame. Bener-bener membuat penonton terkejut.Nah tapi, apa ini menurut
gue doang ya. Kok kayaknya tempat kosan Alek, adalah rumah yang sama, sama
rumahnya Rio Dewanto yang di Filosofi Kopi. Terasa sangat familier. Iya ngga
si?
Gue puas dengan wardrobe dan makeup yang bisa buat Sari jadi beneran orang pinggiran. Cuman kok
rasa-rasanya, Tara Basro menurut gue kurang ‘greget’ ya. Beda sama Sekar Sari
yang memerankan sosok Siti. Gue masih heran, kok bisa ya dapet Pemeran Utama Wanita terbaik di FFI kemaren. Tapi siapa gue, yang ngga ada tandingannya sama
juri. Kalo Ciko mah ngga usah ditanya. Gue selalu suka dia jadi apapun. Apalagi
kalo karakter cowok keras, maco, suka berantem dan yang pasti pemberontak.
Alek yang ngga punya KTP, seperti
sebuah realitasbahwa masih banyak
rakyat di negeri ini yang ‘seakan’ tidak dianggap. Sebenarnya ada banyak
realita-realita disampaikan dalam film ini, termasuknya usaha dvd bajakan yang
ngga pernah surut.
Kira-kira durasi film ACMM sekitar
2 jam. Cukup panjang. Alurnya juga terlalu lambat. Di awal gue sempet ‘agak’
bosen. Terlalu bertele-tele. Ya walaupun adegan sensual tadi jadi penyemangat.
Loh. Bukan itu maksudnya. Itu cuma bumbu-bumbu dari film ini. Toh yang nonton
dan banyak diputer juga di luar negeri kan? Jadi ya gue paham sih.
Kalo boleh jujur, dengan banyak
respon orang yang suka sama film ini, kok rasa-rasanya gue kurang puas ya.
Padahal yang bikin gue semangat nonton adalah testimoni Goenawan Mohamad, yang
bilang film ini menakjubkan. Tapi kok gue engga ya. Gue kecewa sama Mas Joko. Tapi jangan khawatir Mas, apalah gue yang hanya satu penonton
yang tak puas dari sekian banyak yang memuji film karya Mas Joko.
Ending yang Mas ciptakan, membuat gue setidaknya harus tau kelanjutan dari
kisah Sari. Bagaimana kelanjutan buramnya politik negeri ini yang Mas ingin perlihatkan.
Oya, dari pengambilan gambar di
ACMM gue seakan merasa kalo penonton diajak untuk fokus ke tokoh Sari dan Alek.
Coba lihat, gambar tokoh lain selain pemeran utama diambil hanya beberapa
detik. Sekelebat. Ditambah kadang tidak fokus atau lighting. Kayaknya ingin menciptakan ruang gerak yang sempit untuk
mengenal tokoh lain. Kecuali, Bude ibu kosan Alek.
Pesanyang gue dapet dari film ACMM ini adalah
potret betapa tidak adilnya hidup di Indonesia. Betapa tragisnya ketika rakyat melolong
mendukung mati-matian tokoh yang ia pilih untuk memimpin agar bisa merubah
nasibnya, ternyata ia lah yang merebut kebahagian rakyat bahkan yang turut
andil dalam ‘nasib buruk’ yang menimpa rakyat tersebut. Ternyata ada banyak
permainan politik di dalam negeri yang katanya menjunjung
tinggi Demokrasi Pancasila.
Okey Mas Joko, gue tunggu bagaimana Mas
Joko merepresentasikan politik di negeri ini dalam kelanjutan kisah Sari.
Tapi maaf ya Mas, gue cuma bisa kasi
7/10 buat rating dari ACMM.
Hari sabtu yang lalu, akhirnya niat untuk
menyelesaikan film Chef terpenuhi. Film yang udah di copy semenjak zaman belum
mengenal perihnya revisi skripsi.
Pengetahuan soal film hollywood gue sangat rendah. Jadi,
dalam menceritakan sedikit tentang Chef ini gue sangat dibantu dengan beberapa
artikel berita yang gue baca dari internet. Nah, mohon dimaklumi keterbatasan
ini. Hehe
Chef adalah film karya Jon Favreau yang juga berperan
langsung menjadi pemain utama film ini. Buat kalian penggemar Sherlock Holmes
(gue ngga termasuk), pasti langsung kenal sama dua bintang yang main di film
Chef. Keduanya adalah Robert Downey Jr. dan Scarlett Johansson. Tapi tenang, di
Chef mereka tidak memecahkan kasus pembunuhan nan rumit. Dalam film Chef ini,
kalian akan disuguhkan dengan kelezatan dan keindahan makanan.
Carl Casper (Jon Favreau) adalah seorang chef yang
bekerja di sebuah restoran milik Riva (Dustin Hoffman). CarlCasper memiliki seorang anak laki-laki semata
wayang bernama Percy (Emjay Anthony) dari mantan istrinya Inez (Sofia Vergara).
Konflik dimulai dari tulisan seorang kritikus makanan, Ramsey Michel (Oliver
Platt) di blog pribadinya. Ia bahkan menyebarkan tulisannya tersebut didunia
maya, hingga anak Carl tau.
Tertarik membalas penghinaan tersebut di media
sosial, carl akhirnya meminta tolong pada anaknya untuk membuatkannya akun twitter.
Carl yang mengira, ia mengirimkan direct
message ke akun twitter Ramsey, ternyata ia mengirim memposting langsung
dengan me-mention orang yang
bersangkutan. Dalam sehari banyak mem-follow
akun @CarlCasper_Chef dan me-retweet
postingan Carl. Ia sendiri kaget.
Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, ia kemudian
dipecat oleh Riva karena tidak mau mengikuti keinginan yang owner restoran masalah menu yang akan
disajikan.
Di sisi lain, kehidupan pribadinya juga tidak
berjalan mulus. Carl yang sudah pisah dari sang istri harus menyiapkan waktu di
akhir pekan untuk sang anak semata wayang. Carl adalah sosok ayah yang kaku. Ia
bahkan tidak memperbolehkan Percy, untuk ikut memasak bersamanya. Ia juga tidak
mau menuruti segala saran Inez yang ingin carl hidup yang lebih baik setelah
keluar dari pekerjaannya.
Mereka, Carl, Inez dan Percy akhirnya memutuskan
berlibur ke sebuah pulau dimana Percy dilahirkan. Disini Carl menemukan
semangatnya kembali. Dengan bantuan Marvin (Robert Downey Jr.) yang merupakan
mantan suami dari mantan istrinya, Carl memodifikasi kembali truck yang akan
digunakan untuk sebuah restoran berjalan. Istilah kerennya, Food Truck. Dibantu
oleh anaknya dan teman Carl. Martin (John Luguizamo) mereka merintis food truck
dengan melakukan perjalanan dari Miami menuju Los Angeles. Berkat inisiatif
sang anak yang melakukan promosi lewat twitter, Food Truck ‘El Jefe Cubanos’
dengan Chef Carl sebagai Chef handal diserbu oleh banyak pengunjung saat mereka
berhenti di suatu tempat.
Banyak keseruan yang mereka alami disepanjang
perjalanan, termasuk hubungan Carl dan Percy yang semakin membaik. Percy juga
terlibat langsung saat memasak makanan.
Sebagai seorang produser dan sutradara terkenal akan
film-film superhero, Jon Favreau menawarkan Chef sebagai film drama komedi yang
menurut gue cukup menarik. Ternyata makanan bukan hanya soal perut, tapi lebih
dari itu ada banyak rasa dan emosi yang dilimpahkan dalam sebuah makanan yang
dibuat oleh Sang Chef.
Di film ini gue juga melihat adanya ikatan emosi dari
seorang ayah dan anak. Awalnya gue sanksi kenapa judulnya Chef, padahal yang
diceritan lebih kepada hubungan sang Chef sendiri ketimbang makanan itu. Tapi gue
salah. Menjadi seorang Chef, lagi-lagi gue katakan bukan soal makanan semata
tapi juga rasa. Rasa bagaimana ketika makanan itu bisa tersaji di meja makan.
Chef menurut gue seperti seorang seniman, yang
karyanya tidak bisa diatur akan kemana dan seperti apa. Idealisme-nya sama. Mereka
berkarya atas apa yang mereka mau, bukan yang pasar mau.
Isi cerita Chef banyak mengadopsi budaya Spanyol,
mulai dari musik, bahasa, dan adat. Bertabur banyak bintang, film ini menurut
gue cukup memberikan hiburan dan tentu membuat kita (penonton) jadi laper mata.
Pengen sekali rasanya mencoba masakan yang dibuat oleh Chef Carl.
Durasinya agak lama, dengan konflik yang menurut gue
tidak terlalu besar. Hanya sebatas, komentar makanan, pengembalian semangat
untuk berusaha dan memperbaiki hubungan ayah dan anak. Tapi ini film yang
ringan.
Pesan yang gue dapet dari film ini adalah kita ngga
boleh mengabaikan orang-orang sekitar kita untuk fokus terhadap satu hal. Carl yang
(dulunya) mengabaikan sang anak dan istri, bahkan di akhir ia terbantu dengan
dukungan mereka. Jadi inget mama sama bapak di rumah, yang kadang gue lupa
bales smsnya karena (sok) sibuk kerja. Huft.
Dan satulagi, gue jadi tertarik berbinis makanan
setelah nonton film ini. Haha. Buat Chef gue kasi 7.5/10. Yeah!
Semenjak
tau Siti menduduki tahta tertinggi Festival Film Indonesia 2015 sebagai Film
Terbaik, gue langsung penasaran pengen nonton Siti. Judulnya yang juga sangat
biasa, buat gue tambah penasaran.
Hari
Minggu kemaren, gue dan temen gue akhirnya berkesempatan nonton Siti di salah
satu bioskop di Bandung. Kita bela-belain menerebos hujan cuma buat nonton
Siti. Cuma buat sampean, mbak Siti.
Kaget
pas pesen tiket, kursi baru terisi satu orang. Nambah kita berdua, jadi dua
orang. Padahal pintu teater udah dibuka. Ya, walaupun ditengah-tengah film
diputer, dateng tiga orang lagi. Tetep aja, Film Indonesia sebagus Siti cuma di
tonton 6 orang aja di bioskop. Di banding film horor semi bokep Indonesia yang
ngga paham lagi gue alurnya kayak gimana.
Kita
fokus ke Siti aja ya.
Gue
udah jatuh cinta dengan film Siti sejak 10 menit pemutarannya. Film Siti ber-setting di Pantai Parangtritis,
Yogyakarta. Siti mengisahkan seorang perempuan, bernama Siti (Sekar Sari) yang
hidup di pinggiran Pantai Parangtritis bersama sang suami, Bagus (Ibnu Widodo)
dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur Widodo).
Bagus
mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat melaut, yang membuatnya ngga bisa
bangun dari tempat tidur. Sedangkan Bagas, siswa SD yang menurut gue anak yang
cerdas. Cerdas bukan karena dapet nilai matematika 5, tapi dia tau kalo makan
ngga boleh bicara. Anak sekarang kan kalo makan mainan hp. Dan Siti, Siti
adalah wanita yang hebat.
Siti
harus bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar utang suaminya. Pagi hingga
siang hari Siti berjualan peyek, sedangkn
malam harinya ia bekerja di sebuah karaoke. Semenjak Siti bekerja menjadi
pemandu karaoke, Bagus ngga mau bicara dengan Siti. Sama sekali. Lucunya, gue
melihat akting Bagus disini bagus banget. Bahkan tanpa berbicara ia mampu
menghantarkan emosi yang ia ingin sampaikan kepada Siti dan kepada Penonton.
Siti
sama sekali ngga merubah niatnya untuk berhenti bekerja di karaoke. Karena hanya
dengan ini, iya mampu melunasi utang sang suami.
Bekerja
di karaoke, Siti bertemu dengan Mas Gatot. Laki-laki yang begitu mencintai Siti
dengan segala polemiknya. Mas Gatot bahkan beberapa kali meminta Siti
meninggalkan suaminya dan menikah dengannya. Inilah konflik yang berusaha
dibangun dalam film ini. Siti yang dihadapkan dengan pilihan, tetap menjaga
sang suami atau justru hidup ‘layak’ dengan Mas Gatot yang seorang polisi.
Eddie
Cahyono, sang sutradara menyuguhkan sesuatu yang sangat tidak biasa dalam Film
Siti. Pertama, Film Siti ditayangkan dengan warna hitam putih. Bukan tanpa
alasan, warna hitam putih yang disajikan Film Siti sebenarnya dilatarbelakangi
keterbatasan dana. Bahkan karena maslah finansial yang dihadapi Siti,
sampai-sampai film ini ngga mampu menyewa peralatan lighting yang memadai. Sehingga Ediie, memutuskan untuk menjadikan
film Siti berwarna hitam putih.
Dan
yang gue baca dari salah satu berita online, perlengkapan kamera yang digunakan
untuk menggarap Film Siti sangat terbatas. Eddie bersama sang produser, Ifa
Isfansyah tidak menganggap itu sebuah kekurangan. Karena menurut mereka,
kejujuran adalah hal yang terpenting dalam penggarapan film.
Terbukti,
keterbatasan dana tidak mengurangi kualitas Film Siti. Justru menurut gue, warna
hitam putih dan banyak shot kamera yang follow shot membuat film ini keren.
Siti terlihat jujur dan begitu sederhana.
Seni
dalam film Siti juga terletak pada rasio gambar, 4:3 bukan seperti film biasa
yaitu 16:9. Menurut artikel yang gue baca ini karena, Mas Eddie ingin
"mendekatkan" kehidupan Siti kepada penontonnya, sekaligus
menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti.
Selanjutnya
kesuksesan Siti ngga terlepas dari pemeran Siti-nya sendiri, yaitu Sekar Sari. Gue
akui, akting Sekar memerankan Siti begitu luar biasa. Gue sempet kepo, siapa
sih sosok Sekar Sari ini. Dan yang gue dapet hasilnya sangat mengejutkan. Sekar
Sari adalah orang Yogyakarta asli yang kini sedang menempuh pendidikan dance kontemporer di Hungaria. Wow. Dari
kecil Sekar memang hobi menari. Ia juga adalah satu finalis ajang Putri Jogja
gitu. Jadi sosok yang gue tonton, yang mampu berperan sebagai ibu-ibu muda yang
ndeso ternyata memiliki prestasi yang
luar biasa.
Sayangnya
Sekar tidak masuk dalam nominasi aktris wanita dalam ajang FFI. Padahal bila
dibandingkan dengan aktris nominasi yang lain, Sekar tentu tidak bisa dianggap
remeh. Memerankan Siti, sangat sulit menurut gue. Ia harus merubah dengan cepat
ekrpresi wajahnya dalam kondisi apapun. Ditambah, Siti adalah film panjang
layar lebar pertama Sekar. Sungguh keren sekali mbak Sekar ini. Tapi kabar gembiranya, Sekar berhasil menuai pujian
dari banyak penonton dan diganjar penghargaan Best Performance dalam Singapore
International Film Festival ke-25 pada Desember tahun lalu.
Oya,
sebagai tambahan informasi, ternyata Sekar bukanlah pilihan pertama pemeran
Siti. Ia tidak lolos casting sebagai pemain utama. Namun karena aktris yang
terpilih memerankan Siti mengundurkan Siti, pilihan Mas Eddie jatuh kepada
Sekar.
Kemudian
ada Mas Gatot (Haydar Saliz) yang membuat film ini semakin hidup. Berperan sebagai
orang ketiga, Mas Gatot mampu mengaduk emosi penonton. Bahkan ia dan Sekar
melakukan adegan vulgar tapi lolos sensor. Haha.
Selanjutnya
yang mebuat film ini menarik juga adalah akting dari teman-teman Siti (maaf gue
lupa namanya). Dengan logat jawa yang khas, mereka mampu menjadi sosok yang pas
ada disamping Siti.
Bagas,
anak Siti yang bercita-cita menjadi pilot juga tidka boleh dilupakan. Walaupun kata
temen gue, aktingnya ngga bagus, tapi di mata gue Bagas berhasil memerankan
anak yang berasal dari keluar ‘kurang mampu’ yang begitu polos. Semua adegan
yang dilakukan Bagas terasa real bagi gue. Saat Bagas mandi, mau berangkat
sekolah, nonton layar tancep, naik sepeda, dan semuanya.
Proses
shoting Siti cuma membutuhkan wakyu 6 hari, dengan budget hanya 150 juta
rupiah. Wow. Film berkualitas dengan biaya murah. Keren Mas Eddi!
Menurut
gue Siti adalah Film yang sangat sederhana. Mulai dari cerita, plot, alur dan setting-nya. Yang membuat cerita Siti
begitu kuat, adalah pengorbanan Siti untuk suaminya namun di akhir ia harus
menelan pil pahit ketika Siti bercerita soal Mas Gatot yang ingin menikahinya,
Bagus malah membolehkannya. Siti kecewa.
Pengorbanannya
selama ini tidak membuat Bagus mempertahankan dirinya. Dan saat Bagus menjawan
pertanyaan Siti, inilah dialog pertama dan terakhir Bagus dalam film.
Gue
‘seakan’ mengerti apa yang Siti rasakan. Saat kita telah berkorban demi orang
yang kita cintai, dia bahkan merelakan kita bersama orang lain. Tanpa perlawanan.
Hancur hati Siti, yang mati-matian menjaga hatinya.
Melihat
dari sudut pandang Bagus. Menurut gue, Bagus hanya ingin yang ‘lebih baik’
untuk Siti.
Cinta
begitu rumit.
Dan
lagi-lagi bagusnya dari Film Siti, adalah tidak adanya karakter yang
bener-bener baik ataupun jahat sekalipun. Siti mampu begitu baik dan kadang
kala kata-kata kasar terlontar dari mulutnya.
Pengorbanan
Siti dan kisah cintanya sama sekali tidak klise. Bahkan ini terlihat seperti
doku-drama. Sangat real. Bahwasannya memang benar ada kisah hidup seperti Siti
di negeri ini. Di tengah kemiskinan, seorang perempuan harus berjuang
menghidupi keluarganya dengan cara apapun. Disisi lain, pengorbanan itu
sepertinya tidak berarti apa-apa bagi sang suami.
Gue
hampir tidak menemukan cacat sedikit pun dari film ini. Seharusnya mungkin ada,
atau gue yang tidak terlalu kritis. Gue cuma menyayangkan, jumlah penonton yang
sangat tidak masuk akal. Film sebagus Siti ngga ada yang nonton. Dari sini
terlihat bagaimana selera tontonan masyarakat negeri ini.
Semasih
film ini di bioskop, gue sarankan kalian untuk segera menonton. Film berkualitas
jangan dilewatkan begitu saja.
Dari
film ini gue seperti mendapat gambaran betapa susahnya sekaligus muliannya menjadi
seorang wanita.
Mas
Eddie, mungkin sepemikiran dengan gue. Ia menampilkan sosok Siti seperti Yogja
tempat tinggalnya, yang sederhana tapi istimewa.