Monday, February 15, 2016

Deadpool, Superhero Kalang-Kabut



Gue tau Deadpool, berawal dari suruhan produser buat nyari film terbaru untuk closing segmen Metro Plus Siang. Dan trailer nya keliatannya seru banget. Superhero tapi lucu. Ditambah pas itu, kedua host yang penggemar film-film Marvel juga bilang kalo Deadpool bagus filmnya. Makanya gue makin pengen nonton. Hari sabtu kemaren, tepat sehari sebelum valentine gue dan temen gue nonton di salah satu bahkan satu-satunya bioskop murah di Jakarta. Karena nonton di weekend itu harganya ‘agak’ ngga masuk akal. Fiuh.

Lanjut.Kali ini gue mau ceritain tentang Deadpool.

Deadpool bercerita tentang seorang mantan tentara bayaran yang juga pasukan khusus militer, bernama Wade Wilson (Ryan Reynolds). Wade memiliki seorang kekasih, Vanessa Varlyse (Morena Baccarin) yang sangat mencintainya. Bahkan ketika Wade divonis menderita penyakit kanker mematikan, Vanessa tidak ingin pergi dari hidup Wade.

Romansa Kaum Pinggiran

Pertama, gue mau menyampaikan rasa bangga gue karena sudah menonton film Indonesia. Yeah!
Tapi hampir sama dengan film Siti, jumlah penonton A Copy of My Mind pas gue nonton ngga lebih dari 20 orang. Sangat sedikit.

A Copy of My Mind (kita singkat ACMM aja biar ngga kepanjangan ngetiknya) adalah film karya salah satu sutradara terbaik di Indonesia, Mas Joko Anwar. Lah akrab bener manggilnya pake mas? Eits, gue udah kenalan. Dia pernah jadi narasumber di program acara gue. Cie gitu.

Nih
Sumber: dokumentasi pribadi


Pertama kali gue nonton film karya Joko Anwar, judulnya Janji Joni. Dan itu menurut gue film yang keren.Gue suka banget film yang ceritanya cuma sehari, tapi pesannya dalem. Seperti film Siti contohnya. Semenjak itu gue terobsesi bikin film yang setting waktunya cuma sehari.Karena terinspirasi dari Janji Joni, di semester 3 pas matakuliah pengantar broadcast gue ditugaskan buat film. Film pertama gue. Gue kasi judul, ‘KSATRIA’. Film pendek tanpa dialog berdurasi 5 menit yang ceritanya cuma, perjalanan sang cowok buat nepatin janji ketemu sama pacarnya.As simple as that. Kenapa judulnya Ksatria? Yah karena, pertama nama Joni udah keambil sama Mas Joko. Haha. Kedua karena menurut gue, Ksatria bukan cuma soal membela yang benar di medan perang. Tapi Ksatria adalah orang yang mampu menepati janjinya. Selain nama si Cowo itu di film emang Ksatria.

Sebentar. Kok jadi ngomongin film gue.

Kita lanjut ke ACMM.

ACMM bercerita tentang Sari (Tara Basro) seorang pegawai salon yang gemar membeli dvd bajakan. Tapi Sari sering dapet dvd dengan subtitleyang ngawur. Suatu ketika, Sari protes ke tukang yang jualan dvd. Nah momennya pas banget pas Sari komplen ada Alek (Chico Jericho), si penerjemah dvd bajakan.

Sari yang kesal karena protesnya tidak mendapat ganti rugi, ia lalu pergi dari toko dengan mengambil satu dvd bajakan tanpa ijin. Tindakan itu diliat oleh Alek yang langsung membuntuti Sari pergi. Alek kemudian ‘menjebak’ Sari agar mau ikut ke kosannya. Dan Sari mau.

Setelah hari itu, mereka bertemu lagi. Sepertinya Alek udah suka sama Sari dari pertama pas mereka ketemu. Kalo bisa dibilang ini kayak FTV versi alusnya, ngga langsung tabrakan jatuh cinta. Anehnya, aneh banget pas pertemuan kedua mereka yang sepertinya ‘udah saling jatuh cinta’ melakukan hubungan layaknya suami-istri. ‘baru dua kali ketemu loh, cepet amat’ pikir gue. Pas adegan kayak gini, gue malah sibuk liatin ekspresi penonton. Haha. Tapi gue masih heran kenapa lolos sensor ya. Hhmm.

Makin hari, cinta mereka semakin kuat.

Sari yang bosen sama tempat kerjanya yang lama nyobain cari tempat kerja baru yang ngga jauh dari salonnya yang lama. Di salon yang baru, Sari harus training sekitar 2 minggu baru diperbolehkan handlepelanggan. Jadi setelah diterima, kerjanya si Sari cuma ngeliatin senior therapist-nya. Karena bosen, Sari ngadu ke Manajernya biar dia bisa langsung handle pelanggan.

Gara-gara itu, Sari akhirnya diutus untuk memberikan perawatan wajah pada seorang narapidana di penjara yang punya banyak relasi di kalangan atas. Narapidana tersebut dipenjara karena kasus korupsi, bisa dibilang juga dia makelar korupsi gitu. Yang hubungin pejabat dengan pengusaha gitulah.

Mas Joko seperti mengangkat kisah di negeri ini, atau justru ingin menyindir seseorang. Penjara yang menurut orang-orang termasuk Sari, adalah tempat yang kotor, sempit dan bau ternyata kenyataannya tidak demikian. Dalam sel napi kasus korupsi yang dimainkan oleh Maera Panigoro ini, lebih mewah dari kos-kosan pada umumnya. Ruangannya bersih ber-AC, ada kulkas, dan home theater yang lengkap koleksi dvd.

Setelah memberi perawatan, Sari diam-diam mengambil koleksi dvdnya. Adegan menegang ketika, sebelum pulang Sari dipaksa membuka tasnya untuk diperiksa. Takut-takut kalo ada penyadap yang dibawa Sari. Sesampainya di kos Alek, Sari mengajak Alek menonton bersama. Tapi ternyata dvd curian Sari adalah rekaman korupsi para pejabat tinggi dan juga salah satu calon presiden saat itu. Ketika Sari dan Alek mengetahui hal itu, bahaya mengancam mereka berdua.

Setelah menonton ACMM, gue serasa melihat ada yang ingin Joko Anwar sampaikan secara implisit dan eksplisit. Semacam tragedi masa lalu, dimana apabila seorang merugikan pejabat saat itu akan dihabisi nyawanya. Atau paparan fakta bahwa koruptor di Indonesia, yang katanya di penjara ternyata hidupnya lebih enak dari rakyat yang telah menjadi miskin karena haknya tidak diperhatikan.

Gue tau Joko Anwar memang vokal kalo ngomongin soal politik di Indonesia. Beberapa kali nonton Mata Najwa yang ada Mas Joko-nya, sangat-sangat terlihat kalo Mas Joko anti pejabat yang beruntang janji. Ini juga terlihat dari tweetMas Joko di Twitter yang ngga hentinya-hentinya mengkritik pemerintah.

Momen proses produksi film ini juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden tahun 2014, kemaren. Dimana Mas Joko dengan lantang dan tegas mendukung Jokowi-JK kala itu. Nah yang jadi pertanyaan gue adalah, (1) Apakah film ini dibuat bertepatan dengan momen pemilihan presiden, dimana Mas Joko terinspirasi dari salah satu calon presiden yang memiliki ketrkaitan kuat dengan kasus 1998? Atau (2) cerita film ini sudah dibuat lama, hanya secara kebetulan momen yang pas saat pemilihan presiden? Jawab dong Mas Joko.

Teka-tekinya udah ya, gue akan mencoba memberi penilaian terhadap film ACMM.

Visual film ACMM seperti dokumenter kalo menurut gue, dari warna dan shoot-shoot yang diambil. Banyak close up bahkan extreme close up. Kamera moving yang mem-follow objek juga banyak. Sesekali gue suka, cuma kalo keseringan jadi pusing juga. Sepertinya gue paham maksudnya disini, bahwa kita (penonton) diajak lebih dekat dengan tokoh. Baik Siti ataupun Alek. Karena garis besar film ini yang menceritakan masyarakat bawah, gambar soal kemiskinan, anak terlantar, sebagai sisipian  atau transisi juga banyak. Ini gue suka. Inilah Indonesia, mungkin tepatnya Jakarta.Angle pengambilan gambar sangat beragam, tidak hanya satu atau dua titik. Penonton tidak akan bosan, gue yakin.

Gue juga suka transisi musik. Mungkin bukan trasisi, tapi perpindahan suasana dari sepi tiba-tiba berpindah ke tempat rame. Bener-bener membuat penonton terkejut.Nah tapi, apa ini menurut gue doang ya. Kok kayaknya tempat kosan Alek, adalah rumah yang sama, sama rumahnya Rio Dewanto yang di Filosofi Kopi. Terasa sangat familier. Iya ngga si?
Gue puas dengan wardrobe dan makeup yang bisa buat Sari jadi beneran orang pinggiran. Cuman kok rasa-rasanya, Tara Basro menurut gue kurang ‘greget’ ya. Beda sama Sekar Sari yang memerankan sosok Siti. Gue masih heran, kok bisa ya dapet Pemeran Utama Wanita terbaik di FFI kemaren. Tapi siapa gue, yang ngga ada tandingannya sama juri. Kalo Ciko mah ngga usah ditanya. Gue selalu suka dia jadi apapun. Apalagi kalo karakter cowok keras, maco, suka berantem dan yang pasti pemberontak.

Alek yang ngga punya KTP, seperti sebuah realitas  bahwa masih banyak rakyat di negeri ini yang ‘seakan’ tidak dianggap. Sebenarnya ada banyak realita-realita disampaikan dalam film ini, termasuknya usaha dvd bajakan yang ngga pernah surut.

Kira-kira durasi film ACMM sekitar 2 jam. Cukup panjang. Alurnya juga terlalu lambat. Di awal gue sempet ‘agak’ bosen. Terlalu bertele-tele. Ya walaupun adegan sensual tadi jadi penyemangat. Loh. Bukan itu maksudnya. Itu cuma bumbu-bumbu dari film ini. Toh yang nonton dan banyak diputer juga di luar negeri kan? Jadi ya gue paham sih.

Kalo boleh jujur, dengan banyak respon orang yang suka sama film ini, kok rasa-rasanya gue kurang puas ya. Padahal yang bikin gue semangat nonton adalah testimoni Goenawan Mohamad, yang bilang film ini menakjubkan. Tapi kok gue engga ya. Gue kecewa sama Mas Joko. Tapi jangan khawatir Mas, apalah gue yang hanya satu penonton yang tak puas dari sekian banyak yang memuji film karya Mas Joko.

Ending yang Mas ciptakan, membuat gue setidaknya harus tau kelanjutan dari kisah Sari. Bagaimana kelanjutan buramnya politik negeri ini yang Mas ingin perlihatkan.

Oya, dari pengambilan gambar di ACMM gue seakan merasa kalo penonton diajak untuk fokus ke tokoh Sari dan Alek. Coba lihat, gambar tokoh lain selain pemeran utama diambil hanya beberapa detik. Sekelebat. Ditambah kadang tidak fokus atau lighting. Kayaknya ingin menciptakan ruang gerak yang sempit untuk mengenal tokoh lain. Kecuali, Bude ibu kosan Alek.

Pesan  yang gue dapet dari film ACMM ini adalah potret betapa tidak adilnya hidup di Indonesia. Betapa tragisnya ketika rakyat melolong mendukung mati-matian tokoh yang ia pilih untuk memimpin agar bisa merubah nasibnya, ternyata ia lah yang merebut kebahagian rakyat bahkan yang turut andil dalam ‘nasib buruk’ yang menimpa rakyat tersebut. Ternyata ada banyak permainan politik di dalam negeri yang katanya menjunjung tinggi Demokrasi Pancasila.

Okey Mas Joko, gue tunggu bagaimana Mas Joko merepresentasikan politik di negeri ini dalam kelanjutan kisah Sari. Tapi maaf ya Mas, gue cuma bisa kasi 7/10 buat rating dari ACMM.

Ditunggu film selajutnya Mas Joko!


Tuesday, February 9, 2016

Chef



Hari sabtu yang lalu, akhirnya niat untuk menyelesaikan film Chef terpenuhi. Film yang udah di copy semenjak zaman belum mengenal perihnya revisi skripsi.

Pengetahuan soal film hollywood gue sangat rendah. Jadi, dalam menceritakan sedikit tentang Chef ini gue sangat dibantu dengan beberapa artikel berita yang gue baca dari internet. Nah, mohon dimaklumi keterbatasan ini. Hehe

Chef adalah film karya Jon Favreau yang juga berperan langsung menjadi pemain utama film ini. Buat kalian penggemar Sherlock Holmes (gue ngga termasuk), pasti langsung kenal sama dua bintang yang main di film Chef. Keduanya adalah Robert Downey Jr. dan Scarlett Johansson. Tapi tenang, di Chef mereka tidak memecahkan kasus pembunuhan nan rumit. Dalam film Chef ini, kalian akan disuguhkan dengan kelezatan dan keindahan makanan.

Carl Casper (Jon Favreau) adalah seorang chef yang bekerja di sebuah restoran milik Riva (Dustin Hoffman). Carl  Casper memiliki seorang anak laki-laki semata wayang bernama Percy (Emjay Anthony) dari mantan istrinya Inez (Sofia Vergara). Konflik dimulai dari tulisan seorang kritikus makanan, Ramsey Michel (Oliver Platt) di blog pribadinya. Ia bahkan menyebarkan tulisannya tersebut didunia maya, hingga anak Carl tau.

Tertarik membalas penghinaan tersebut di media sosial, carl akhirnya meminta tolong pada anaknya untuk membuatkannya akun twitter. Carl yang mengira, ia mengirimkan direct message ke akun twitter Ramsey, ternyata ia mengirim memposting langsung dengan me-mention orang yang bersangkutan. Dalam sehari banyak mem-follow akun @CarlCasper_Chef dan me­-retweet postingan Carl. Ia sendiri kaget.

Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, ia kemudian dipecat oleh Riva karena tidak mau mengikuti keinginan yang owner restoran masalah menu yang akan disajikan.

Di sisi lain, kehidupan pribadinya juga tidak berjalan mulus. Carl yang sudah pisah dari sang istri harus menyiapkan waktu di akhir pekan untuk sang anak semata wayang. Carl adalah sosok ayah yang kaku. Ia bahkan tidak memperbolehkan Percy, untuk ikut memasak bersamanya. Ia juga tidak mau menuruti segala saran Inez yang ingin carl hidup yang lebih baik setelah keluar dari pekerjaannya.

Mereka, Carl, Inez dan Percy akhirnya memutuskan berlibur ke sebuah pulau dimana Percy dilahirkan. Disini Carl menemukan semangatnya kembali. Dengan bantuan Marvin (Robert Downey Jr.) yang merupakan mantan suami dari mantan istrinya, Carl memodifikasi kembali truck yang akan digunakan untuk sebuah restoran berjalan. Istilah kerennya, Food Truck. Dibantu oleh anaknya dan teman Carl. Martin (John Luguizamo) mereka merintis food truck dengan melakukan perjalanan dari Miami menuju Los Angeles. Berkat inisiatif sang anak yang melakukan promosi lewat twitter, Food Truck ‘El Jefe Cubanos’ dengan Chef Carl sebagai Chef handal diserbu oleh banyak pengunjung saat mereka berhenti di suatu tempat.

Banyak keseruan yang mereka alami disepanjang perjalanan, termasuk hubungan Carl dan Percy yang semakin membaik. Percy juga terlibat langsung saat memasak makanan.

Sebagai seorang produser dan sutradara terkenal akan film-film superhero, Jon Favreau menawarkan Chef sebagai film drama komedi yang menurut gue cukup menarik. Ternyata makanan bukan hanya soal perut, tapi lebih dari itu ada banyak rasa dan emosi yang dilimpahkan dalam sebuah makanan yang dibuat oleh Sang Chef.

Di film ini gue juga melihat adanya ikatan emosi dari seorang ayah dan anak. Awalnya gue sanksi kenapa judulnya Chef, padahal yang diceritan lebih kepada hubungan sang Chef sendiri ketimbang makanan itu. Tapi gue salah. Menjadi seorang Chef, lagi-lagi gue katakan bukan soal makanan semata tapi juga rasa. Rasa bagaimana ketika makanan itu bisa tersaji di meja makan.

Chef menurut gue seperti seorang seniman, yang karyanya tidak bisa diatur akan kemana dan seperti apa. Idealisme-nya sama. Mereka berkarya atas apa yang mereka mau, bukan yang pasar mau.

Isi cerita Chef banyak mengadopsi budaya Spanyol, mulai dari musik, bahasa, dan adat. Bertabur banyak bintang, film ini menurut gue cukup memberikan hiburan dan tentu membuat kita (penonton) jadi laper mata. Pengen sekali rasanya mencoba masakan yang dibuat oleh Chef Carl.

Durasinya agak lama, dengan konflik yang menurut gue tidak terlalu besar. Hanya sebatas, komentar makanan, pengembalian semangat untuk berusaha dan memperbaiki hubungan ayah dan anak. Tapi ini film yang ringan.

Pesan yang gue dapet dari film ini adalah kita ngga boleh mengabaikan orang-orang sekitar kita untuk fokus terhadap satu hal. Carl yang (dulunya) mengabaikan sang anak dan istri, bahkan di akhir ia terbantu dengan dukungan mereka. Jadi inget mama sama bapak di rumah, yang kadang gue lupa bales smsnya karena (sok) sibuk kerja. Huft.

Dan satulagi, gue jadi tertarik berbinis makanan setelah nonton film ini. Haha. Buat Chef gue kasi 7.5/10. Yeah!


Thursday, February 4, 2016

Siti yang Istimewa



Semenjak tau Siti menduduki tahta tertinggi Festival Film Indonesia 2015 sebagai Film Terbaik, gue langsung penasaran pengen nonton Siti. Judulnya yang juga sangat biasa, buat gue tambah penasaran.

Hari Minggu kemaren, gue dan temen gue akhirnya berkesempatan nonton Siti di salah satu bioskop di Bandung. Kita bela-belain menerebos hujan cuma buat nonton Siti. Cuma buat sampean, mbak Siti.

Kaget pas pesen tiket, kursi baru terisi satu orang. Nambah kita berdua, jadi dua orang. Padahal pintu teater udah dibuka. Ya, walaupun ditengah-tengah film diputer, dateng tiga orang lagi. Tetep aja, Film Indonesia sebagus Siti cuma di tonton 6 orang aja di bioskop. Di banding film horor semi bokep Indonesia yang ngga paham lagi gue alurnya kayak gimana.

Kita fokus ke Siti aja ya.

Gue udah jatuh cinta dengan film Siti sejak 10 menit pemutarannya. Film Siti ber-setting di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Siti mengisahkan seorang perempuan, bernama Siti (Sekar Sari) yang hidup di pinggiran Pantai Parangtritis bersama sang suami, Bagus (Ibnu Widodo) dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur Widodo).

Bagus mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat melaut, yang membuatnya ngga bisa bangun dari tempat tidur. Sedangkan Bagas, siswa SD yang menurut gue anak yang cerdas. Cerdas bukan karena dapet nilai matematika 5, tapi dia tau kalo makan ngga boleh bicara. Anak sekarang kan kalo makan mainan hp. Dan Siti, Siti adalah wanita yang hebat.

Siti harus bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar utang suaminya. Pagi hingga siang hari Siti berjualan peyek, sedangkn malam harinya ia bekerja di sebuah karaoke. Semenjak Siti bekerja menjadi pemandu karaoke, Bagus ngga mau bicara dengan Siti. Sama sekali. Lucunya, gue melihat akting Bagus disini bagus banget. Bahkan tanpa berbicara ia mampu menghantarkan emosi yang ia ingin sampaikan kepada Siti dan kepada Penonton.

Siti sama sekali ngga merubah niatnya untuk berhenti bekerja di karaoke. Karena hanya dengan ini, iya mampu melunasi utang sang suami.

Bekerja di karaoke, Siti bertemu dengan Mas Gatot. Laki-laki yang begitu mencintai Siti dengan segala polemiknya. Mas Gatot bahkan beberapa kali meminta Siti meninggalkan suaminya dan menikah dengannya. Inilah konflik yang berusaha dibangun dalam film ini. Siti yang dihadapkan dengan pilihan, tetap menjaga sang suami atau justru hidup ‘layak’ dengan Mas Gatot yang seorang polisi.

Eddie Cahyono, sang sutradara menyuguhkan sesuatu yang sangat tidak biasa dalam Film Siti. Pertama, Film Siti ditayangkan dengan warna hitam putih. Bukan tanpa alasan, warna hitam putih yang disajikan Film Siti sebenarnya dilatarbelakangi keterbatasan dana. Bahkan karena maslah finansial yang dihadapi Siti, sampai-sampai film ini ngga mampu menyewa peralatan lighting yang memadai. Sehingga Ediie, memutuskan untuk menjadikan film Siti berwarna hitam putih.

Dan yang gue baca dari salah satu berita online, perlengkapan kamera yang digunakan untuk menggarap Film Siti sangat terbatas. Eddie bersama sang produser, Ifa Isfansyah tidak menganggap itu sebuah kekurangan. Karena menurut mereka, kejujuran adalah hal yang terpenting dalam penggarapan film.

Terbukti, keterbatasan dana tidak mengurangi kualitas Film Siti. Justru menurut gue, warna hitam putih dan banyak shot kamera yang follow shot membuat film ini keren. Siti terlihat jujur dan begitu sederhana.

Seni dalam film Siti juga terletak pada rasio gambar, 4:3 bukan seperti film biasa yaitu 16:9. Menurut artikel yang gue baca ini karena, Mas Eddie ingin "mendekatkan" kehidupan Siti kepada penontonnya, sekaligus menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti.

Selanjutnya kesuksesan Siti ngga terlepas dari pemeran Siti-nya sendiri, yaitu Sekar Sari. Gue akui, akting Sekar memerankan Siti begitu luar biasa. Gue sempet kepo, siapa sih sosok Sekar Sari ini. Dan yang gue dapet hasilnya sangat mengejutkan. Sekar Sari adalah orang Yogyakarta asli yang kini sedang menempuh pendidikan dance kontemporer di Hungaria. Wow. Dari kecil Sekar memang hobi menari. Ia juga adalah satu finalis ajang Putri Jogja gitu. Jadi sosok yang gue tonton, yang mampu berperan sebagai ibu-ibu muda yang ndeso ternyata memiliki prestasi yang luar biasa.

Sayangnya Sekar tidak masuk dalam nominasi aktris wanita dalam ajang FFI. Padahal bila dibandingkan dengan aktris nominasi yang lain, Sekar tentu tidak bisa dianggap remeh. Memerankan Siti, sangat sulit menurut gue. Ia harus merubah dengan cepat ekrpresi wajahnya dalam kondisi apapun. Ditambah, Siti adalah film panjang layar lebar pertama Sekar. Sungguh keren sekali mbak Sekar ini. Tapi kabar gembiranya, Sekar berhasil menuai pujian dari banyak penonton dan diganjar penghargaan Best Performance dalam Singapore International Film Festival ke-25 pada Desember tahun lalu.

Oya, sebagai tambahan informasi, ternyata Sekar bukanlah pilihan pertama pemeran Siti. Ia tidak lolos casting sebagai pemain utama. Namun karena aktris yang terpilih memerankan Siti mengundurkan Siti, pilihan Mas Eddie jatuh kepada Sekar.

Kemudian ada Mas Gatot (Haydar Saliz) yang membuat film ini semakin hidup. Berperan sebagai orang ketiga, Mas Gatot mampu mengaduk emosi penonton. Bahkan ia dan Sekar melakukan adegan vulgar tapi lolos sensor. Haha.

Selanjutnya yang mebuat film ini menarik juga adalah akting dari teman-teman Siti (maaf gue lupa namanya). Dengan logat jawa yang khas, mereka mampu menjadi sosok yang pas ada disamping Siti.

Bagas, anak Siti yang bercita-cita menjadi pilot juga tidka boleh dilupakan. Walaupun kata temen gue, aktingnya ngga bagus, tapi di mata gue Bagas berhasil memerankan anak yang berasal dari keluar ‘kurang mampu’ yang begitu polos. Semua adegan yang dilakukan Bagas terasa real bagi gue. Saat Bagas mandi, mau berangkat sekolah, nonton layar tancep, naik sepeda, dan semuanya.

Proses shoting Siti cuma membutuhkan wakyu 6 hari, dengan budget hanya 150 juta rupiah. Wow. Film berkualitas dengan biaya murah. Keren Mas Eddi!

Menurut gue Siti adalah Film yang sangat sederhana. Mulai dari cerita, plot, alur dan setting-nya. Yang membuat cerita Siti begitu kuat, adalah pengorbanan Siti untuk suaminya namun di akhir ia harus menelan pil pahit ketika Siti bercerita soal Mas Gatot yang ingin menikahinya, Bagus malah membolehkannya. Siti kecewa.

Pengorbanannya selama ini tidak membuat Bagus mempertahankan dirinya. Dan saat Bagus menjawan pertanyaan Siti, inilah dialog pertama dan terakhir Bagus dalam film.

Gue ‘seakan’ mengerti apa yang Siti rasakan. Saat kita telah berkorban demi orang yang kita cintai, dia bahkan merelakan kita bersama orang lain. Tanpa perlawanan. Hancur hati Siti, yang mati-matian menjaga hatinya.

Melihat dari sudut pandang Bagus. Menurut gue, Bagus hanya ingin yang ‘lebih baik’ untuk Siti.

Cinta begitu rumit.

Dan lagi-lagi bagusnya dari Film Siti, adalah tidak adanya karakter yang bener-bener baik ataupun jahat sekalipun. Siti mampu begitu baik dan kadang kala kata-kata kasar terlontar dari mulutnya.

Pengorbanan Siti dan kisah cintanya sama sekali tidak klise. Bahkan ini terlihat seperti doku-drama. Sangat real. Bahwasannya memang benar ada kisah hidup seperti Siti di negeri ini. Di tengah kemiskinan, seorang perempuan harus berjuang menghidupi keluarganya dengan cara apapun. Disisi lain, pengorbanan itu sepertinya tidak berarti apa-apa bagi sang suami.

Gue hampir tidak menemukan cacat sedikit pun dari film ini. Seharusnya mungkin ada, atau gue yang tidak terlalu kritis. Gue cuma menyayangkan, jumlah penonton yang sangat tidak masuk akal. Film sebagus Siti ngga ada yang nonton. Dari sini terlihat bagaimana selera tontonan masyarakat negeri ini.

Semasih film ini di bioskop, gue sarankan kalian untuk segera menonton. Film berkualitas jangan dilewatkan begitu saja.

Dari film ini gue seperti mendapat gambaran betapa susahnya sekaligus muliannya menjadi seorang wanita.

Mas Eddie, mungkin sepemikiran dengan gue. Ia menampilkan sosok Siti seperti Yogja tempat tinggalnya, yang sederhana tapi istimewa.

Ditunggu film keren selanjutnya, Mas!