Monday, February 15, 2016

Romansa Kaum Pinggiran

Pertama, gue mau menyampaikan rasa bangga gue karena sudah menonton film Indonesia. Yeah!
Tapi hampir sama dengan film Siti, jumlah penonton A Copy of My Mind pas gue nonton ngga lebih dari 20 orang. Sangat sedikit.

A Copy of My Mind (kita singkat ACMM aja biar ngga kepanjangan ngetiknya) adalah film karya salah satu sutradara terbaik di Indonesia, Mas Joko Anwar. Lah akrab bener manggilnya pake mas? Eits, gue udah kenalan. Dia pernah jadi narasumber di program acara gue. Cie gitu.

Nih
Sumber: dokumentasi pribadi


Pertama kali gue nonton film karya Joko Anwar, judulnya Janji Joni. Dan itu menurut gue film yang keren.Gue suka banget film yang ceritanya cuma sehari, tapi pesannya dalem. Seperti film Siti contohnya. Semenjak itu gue terobsesi bikin film yang setting waktunya cuma sehari.Karena terinspirasi dari Janji Joni, di semester 3 pas matakuliah pengantar broadcast gue ditugaskan buat film. Film pertama gue. Gue kasi judul, ‘KSATRIA’. Film pendek tanpa dialog berdurasi 5 menit yang ceritanya cuma, perjalanan sang cowok buat nepatin janji ketemu sama pacarnya.As simple as that. Kenapa judulnya Ksatria? Yah karena, pertama nama Joni udah keambil sama Mas Joko. Haha. Kedua karena menurut gue, Ksatria bukan cuma soal membela yang benar di medan perang. Tapi Ksatria adalah orang yang mampu menepati janjinya. Selain nama si Cowo itu di film emang Ksatria.

Sebentar. Kok jadi ngomongin film gue.

Kita lanjut ke ACMM.

ACMM bercerita tentang Sari (Tara Basro) seorang pegawai salon yang gemar membeli dvd bajakan. Tapi Sari sering dapet dvd dengan subtitleyang ngawur. Suatu ketika, Sari protes ke tukang yang jualan dvd. Nah momennya pas banget pas Sari komplen ada Alek (Chico Jericho), si penerjemah dvd bajakan.

Sari yang kesal karena protesnya tidak mendapat ganti rugi, ia lalu pergi dari toko dengan mengambil satu dvd bajakan tanpa ijin. Tindakan itu diliat oleh Alek yang langsung membuntuti Sari pergi. Alek kemudian ‘menjebak’ Sari agar mau ikut ke kosannya. Dan Sari mau.

Setelah hari itu, mereka bertemu lagi. Sepertinya Alek udah suka sama Sari dari pertama pas mereka ketemu. Kalo bisa dibilang ini kayak FTV versi alusnya, ngga langsung tabrakan jatuh cinta. Anehnya, aneh banget pas pertemuan kedua mereka yang sepertinya ‘udah saling jatuh cinta’ melakukan hubungan layaknya suami-istri. ‘baru dua kali ketemu loh, cepet amat’ pikir gue. Pas adegan kayak gini, gue malah sibuk liatin ekspresi penonton. Haha. Tapi gue masih heran kenapa lolos sensor ya. Hhmm.

Makin hari, cinta mereka semakin kuat.

Sari yang bosen sama tempat kerjanya yang lama nyobain cari tempat kerja baru yang ngga jauh dari salonnya yang lama. Di salon yang baru, Sari harus training sekitar 2 minggu baru diperbolehkan handlepelanggan. Jadi setelah diterima, kerjanya si Sari cuma ngeliatin senior therapist-nya. Karena bosen, Sari ngadu ke Manajernya biar dia bisa langsung handle pelanggan.

Gara-gara itu, Sari akhirnya diutus untuk memberikan perawatan wajah pada seorang narapidana di penjara yang punya banyak relasi di kalangan atas. Narapidana tersebut dipenjara karena kasus korupsi, bisa dibilang juga dia makelar korupsi gitu. Yang hubungin pejabat dengan pengusaha gitulah.

Mas Joko seperti mengangkat kisah di negeri ini, atau justru ingin menyindir seseorang. Penjara yang menurut orang-orang termasuk Sari, adalah tempat yang kotor, sempit dan bau ternyata kenyataannya tidak demikian. Dalam sel napi kasus korupsi yang dimainkan oleh Maera Panigoro ini, lebih mewah dari kos-kosan pada umumnya. Ruangannya bersih ber-AC, ada kulkas, dan home theater yang lengkap koleksi dvd.

Setelah memberi perawatan, Sari diam-diam mengambil koleksi dvdnya. Adegan menegang ketika, sebelum pulang Sari dipaksa membuka tasnya untuk diperiksa. Takut-takut kalo ada penyadap yang dibawa Sari. Sesampainya di kos Alek, Sari mengajak Alek menonton bersama. Tapi ternyata dvd curian Sari adalah rekaman korupsi para pejabat tinggi dan juga salah satu calon presiden saat itu. Ketika Sari dan Alek mengetahui hal itu, bahaya mengancam mereka berdua.

Setelah menonton ACMM, gue serasa melihat ada yang ingin Joko Anwar sampaikan secara implisit dan eksplisit. Semacam tragedi masa lalu, dimana apabila seorang merugikan pejabat saat itu akan dihabisi nyawanya. Atau paparan fakta bahwa koruptor di Indonesia, yang katanya di penjara ternyata hidupnya lebih enak dari rakyat yang telah menjadi miskin karena haknya tidak diperhatikan.

Gue tau Joko Anwar memang vokal kalo ngomongin soal politik di Indonesia. Beberapa kali nonton Mata Najwa yang ada Mas Joko-nya, sangat-sangat terlihat kalo Mas Joko anti pejabat yang beruntang janji. Ini juga terlihat dari tweetMas Joko di Twitter yang ngga hentinya-hentinya mengkritik pemerintah.

Momen proses produksi film ini juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden tahun 2014, kemaren. Dimana Mas Joko dengan lantang dan tegas mendukung Jokowi-JK kala itu. Nah yang jadi pertanyaan gue adalah, (1) Apakah film ini dibuat bertepatan dengan momen pemilihan presiden, dimana Mas Joko terinspirasi dari salah satu calon presiden yang memiliki ketrkaitan kuat dengan kasus 1998? Atau (2) cerita film ini sudah dibuat lama, hanya secara kebetulan momen yang pas saat pemilihan presiden? Jawab dong Mas Joko.

Teka-tekinya udah ya, gue akan mencoba memberi penilaian terhadap film ACMM.

Visual film ACMM seperti dokumenter kalo menurut gue, dari warna dan shoot-shoot yang diambil. Banyak close up bahkan extreme close up. Kamera moving yang mem-follow objek juga banyak. Sesekali gue suka, cuma kalo keseringan jadi pusing juga. Sepertinya gue paham maksudnya disini, bahwa kita (penonton) diajak lebih dekat dengan tokoh. Baik Siti ataupun Alek. Karena garis besar film ini yang menceritakan masyarakat bawah, gambar soal kemiskinan, anak terlantar, sebagai sisipian  atau transisi juga banyak. Ini gue suka. Inilah Indonesia, mungkin tepatnya Jakarta.Angle pengambilan gambar sangat beragam, tidak hanya satu atau dua titik. Penonton tidak akan bosan, gue yakin.

Gue juga suka transisi musik. Mungkin bukan trasisi, tapi perpindahan suasana dari sepi tiba-tiba berpindah ke tempat rame. Bener-bener membuat penonton terkejut.Nah tapi, apa ini menurut gue doang ya. Kok kayaknya tempat kosan Alek, adalah rumah yang sama, sama rumahnya Rio Dewanto yang di Filosofi Kopi. Terasa sangat familier. Iya ngga si?
Gue puas dengan wardrobe dan makeup yang bisa buat Sari jadi beneran orang pinggiran. Cuman kok rasa-rasanya, Tara Basro menurut gue kurang ‘greget’ ya. Beda sama Sekar Sari yang memerankan sosok Siti. Gue masih heran, kok bisa ya dapet Pemeran Utama Wanita terbaik di FFI kemaren. Tapi siapa gue, yang ngga ada tandingannya sama juri. Kalo Ciko mah ngga usah ditanya. Gue selalu suka dia jadi apapun. Apalagi kalo karakter cowok keras, maco, suka berantem dan yang pasti pemberontak.

Alek yang ngga punya KTP, seperti sebuah realitas  bahwa masih banyak rakyat di negeri ini yang ‘seakan’ tidak dianggap. Sebenarnya ada banyak realita-realita disampaikan dalam film ini, termasuknya usaha dvd bajakan yang ngga pernah surut.

Kira-kira durasi film ACMM sekitar 2 jam. Cukup panjang. Alurnya juga terlalu lambat. Di awal gue sempet ‘agak’ bosen. Terlalu bertele-tele. Ya walaupun adegan sensual tadi jadi penyemangat. Loh. Bukan itu maksudnya. Itu cuma bumbu-bumbu dari film ini. Toh yang nonton dan banyak diputer juga di luar negeri kan? Jadi ya gue paham sih.

Kalo boleh jujur, dengan banyak respon orang yang suka sama film ini, kok rasa-rasanya gue kurang puas ya. Padahal yang bikin gue semangat nonton adalah testimoni Goenawan Mohamad, yang bilang film ini menakjubkan. Tapi kok gue engga ya. Gue kecewa sama Mas Joko. Tapi jangan khawatir Mas, apalah gue yang hanya satu penonton yang tak puas dari sekian banyak yang memuji film karya Mas Joko.

Ending yang Mas ciptakan, membuat gue setidaknya harus tau kelanjutan dari kisah Sari. Bagaimana kelanjutan buramnya politik negeri ini yang Mas ingin perlihatkan.

Oya, dari pengambilan gambar di ACMM gue seakan merasa kalo penonton diajak untuk fokus ke tokoh Sari dan Alek. Coba lihat, gambar tokoh lain selain pemeran utama diambil hanya beberapa detik. Sekelebat. Ditambah kadang tidak fokus atau lighting. Kayaknya ingin menciptakan ruang gerak yang sempit untuk mengenal tokoh lain. Kecuali, Bude ibu kosan Alek.

Pesan  yang gue dapet dari film ACMM ini adalah potret betapa tidak adilnya hidup di Indonesia. Betapa tragisnya ketika rakyat melolong mendukung mati-matian tokoh yang ia pilih untuk memimpin agar bisa merubah nasibnya, ternyata ia lah yang merebut kebahagian rakyat bahkan yang turut andil dalam ‘nasib buruk’ yang menimpa rakyat tersebut. Ternyata ada banyak permainan politik di dalam negeri yang katanya menjunjung tinggi Demokrasi Pancasila.

Okey Mas Joko, gue tunggu bagaimana Mas Joko merepresentasikan politik di negeri ini dalam kelanjutan kisah Sari. Tapi maaf ya Mas, gue cuma bisa kasi 7/10 buat rating dari ACMM.

Ditunggu film selajutnya Mas Joko!


No comments:

Post a Comment