Pertama, gue mau menyampaikan rasa
bangga gue karena sudah menonton film Indonesia. Yeah!
Tapi hampir sama dengan film Siti,
jumlah penonton A Copy of My Mind pas gue nonton ngga lebih dari 20 orang.
Sangat sedikit.
A Copy of My Mind (kita singkat
ACMM aja biar ngga kepanjangan ngetiknya) adalah film karya salah satu
sutradara terbaik di Indonesia, Mas Joko Anwar. Lah akrab bener manggilnya pake
mas? Eits, gue udah kenalan. Dia
pernah jadi narasumber di program acara gue. Cie gitu.
Nih
Sumber: dokumentasi pribadi
Pertama kali gue nonton film karya
Joko Anwar, judulnya Janji Joni. Dan itu menurut gue film yang keren.Gue suka
banget film yang ceritanya cuma sehari, tapi pesannya dalem. Seperti film Siti
contohnya. Semenjak itu gue terobsesi bikin film yang setting waktunya cuma sehari.Karena terinspirasi dari Janji Joni,
di semester 3 pas matakuliah pengantar broadcast
gue ditugaskan buat film. Film pertama gue. Gue kasi judul, ‘KSATRIA’. Film
pendek tanpa dialog berdurasi 5 menit yang ceritanya cuma, perjalanan sang
cowok buat nepatin janji ketemu sama pacarnya.As simple as that. Kenapa judulnya Ksatria? Yah karena, pertama
nama Joni udah keambil sama Mas Joko.
Haha. Kedua karena menurut gue, Ksatria bukan cuma soal membela yang benar di
medan perang. Tapi Ksatria adalah orang yang mampu menepati janjinya. Selain
nama si Cowo itu di film emang Ksatria.
Sebentar. Kok jadi ngomongin film
gue.
Kita lanjut ke ACMM.
ACMM bercerita tentang Sari (Tara
Basro) seorang pegawai salon yang gemar membeli dvd bajakan. Tapi Sari sering
dapet dvd dengan subtitleyang ngawur.
Suatu ketika, Sari protes ke tukang yang jualan dvd. Nah momennya pas banget
pas Sari komplen ada Alek (Chico Jericho), si penerjemah dvd bajakan.
Sari yang kesal karena protesnya
tidak mendapat ganti rugi, ia lalu pergi dari toko dengan mengambil satu dvd
bajakan tanpa ijin. Tindakan itu diliat oleh Alek yang langsung membuntuti Sari
pergi. Alek kemudian ‘menjebak’ Sari agar mau ikut ke kosannya. Dan Sari mau.
Setelah hari itu, mereka bertemu
lagi. Sepertinya Alek udah suka sama Sari dari pertama pas mereka ketemu. Kalo
bisa dibilang ini kayak FTV versi alusnya, ngga langsung tabrakan jatuh cinta.
Anehnya, aneh banget pas pertemuan kedua mereka yang sepertinya ‘udah saling
jatuh cinta’ melakukan hubungan layaknya suami-istri. ‘baru dua kali ketemu
loh, cepet amat’ pikir gue. Pas adegan kayak gini, gue malah sibuk liatin
ekspresi penonton. Haha. Tapi gue masih heran kenapa lolos sensor ya. Hhmm.
Makin hari, cinta mereka semakin
kuat.
Sari yang bosen sama tempat
kerjanya yang lama nyobain cari tempat kerja baru yang ngga jauh dari salonnya
yang lama. Di salon yang baru, Sari harus training
sekitar 2 minggu baru diperbolehkan handlepelanggan.
Jadi setelah diterima, kerjanya si Sari cuma ngeliatin senior therapist-nya. Karena bosen, Sari ngadu
ke Manajernya biar dia bisa langsung handle
pelanggan.
Gara-gara itu, Sari akhirnya
diutus untuk memberikan perawatan wajah pada seorang narapidana di penjara yang
punya banyak relasi di kalangan atas. Narapidana tersebut dipenjara karena
kasus korupsi, bisa dibilang juga dia makelar korupsi gitu. Yang hubungin
pejabat dengan pengusaha gitulah.
Mas Joko seperti mengangkat kisah
di negeri ini, atau justru ingin menyindir seseorang. Penjara yang menurut
orang-orang termasuk Sari, adalah tempat yang kotor, sempit dan bau ternyata
kenyataannya tidak demikian. Dalam sel napi kasus korupsi yang
dimainkan oleh Maera Panigoro ini, lebih mewah dari
kos-kosan pada umumnya. Ruangannya bersih ber-AC, ada kulkas, dan home theater
yang lengkap koleksi dvd.
Setelah memberi perawatan, Sari diam-diam mengambil
koleksi dvdnya. Adegan menegang ketika, sebelum pulang Sari dipaksa membuka
tasnya untuk diperiksa. Takut-takut kalo ada penyadap yang dibawa Sari.
Sesampainya di kos Alek, Sari mengajak Alek menonton bersama. Tapi ternyata dvd
curian Sari adalah rekaman korupsi para pejabat tinggi dan juga salah satu
calon presiden saat itu. Ketika Sari dan Alek mengetahui hal itu, bahaya mengancam
mereka berdua.
Setelah menonton ACMM, gue serasa
melihat ada yang ingin Joko Anwar sampaikan secara implisit dan eksplisit. Semacam
tragedi masa lalu, dimana apabila seorang merugikan pejabat saat itu akan dihabisi
nyawanya. Atau paparan fakta bahwa koruptor di Indonesia, yang katanya di
penjara ternyata hidupnya lebih enak dari rakyat yang telah menjadi miskin
karena haknya tidak diperhatikan.
Gue tau Joko Anwar memang vokal
kalo ngomongin soal politik di Indonesia. Beberapa kali nonton Mata Najwa yang
ada Mas Joko-nya, sangat-sangat terlihat kalo Mas Joko anti pejabat yang
beruntang janji. Ini juga terlihat dari tweetMas
Joko di Twitter yang ngga hentinya-hentinya mengkritik pemerintah.
Momen proses produksi film ini
juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden tahun 2014, kemaren. Dimana Mas Joko dengan lantang dan tegas
mendukung Jokowi-JK kala itu. Nah yang jadi pertanyaan gue adalah, (1) Apakah film ini dibuat bertepatan dengan
momen pemilihan presiden, dimana Mas Joko terinspirasi dari salah satu calon
presiden yang memiliki ketrkaitan kuat dengan kasus 1998? Atau (2) cerita film ini sudah dibuat lama, hanya
secara kebetulan momen yang pas saat pemilihan presiden? Jawab dong Mas
Joko.
Teka-tekinya udah ya, gue akan
mencoba memberi penilaian terhadap film ACMM.
Visual film ACMM seperti
dokumenter kalo menurut gue, dari warna dan shoot-shoot
yang diambil. Banyak close up bahkan extreme close up. Kamera moving yang mem-follow objek juga banyak. Sesekali gue suka, cuma kalo keseringan
jadi pusing juga. Sepertinya gue paham maksudnya disini, bahwa kita (penonton)
diajak lebih dekat dengan tokoh. Baik Siti ataupun Alek. Karena garis besar
film ini yang menceritakan masyarakat bawah, gambar soal kemiskinan, anak
terlantar, sebagai sisipian atau
transisi juga banyak. Ini gue suka. Inilah Indonesia, mungkin tepatnya Jakarta.Angle pengambilan gambar sangat beragam,
tidak hanya satu atau dua titik. Penonton tidak akan bosan, gue yakin.
Gue juga suka transisi musik.
Mungkin bukan trasisi, tapi perpindahan suasana dari sepi tiba-tiba berpindah
ke tempat rame. Bener-bener membuat penonton terkejut.Nah tapi, apa ini menurut
gue doang ya. Kok kayaknya tempat kosan Alek, adalah rumah yang sama, sama
rumahnya Rio Dewanto yang di Filosofi Kopi. Terasa sangat familier. Iya ngga
si?
Gue puas dengan wardrobe dan makeup yang bisa buat Sari jadi beneran orang pinggiran. Cuman kok
rasa-rasanya, Tara Basro menurut gue kurang ‘greget’ ya. Beda sama Sekar Sari
yang memerankan sosok Siti. Gue masih heran, kok bisa ya dapet Pemeran Utama Wanita terbaik di FFI kemaren. Tapi siapa gue, yang ngga ada tandingannya sama
juri. Kalo Ciko mah ngga usah ditanya. Gue selalu suka dia jadi apapun. Apalagi
kalo karakter cowok keras, maco, suka berantem dan yang pasti pemberontak.
Alek yang ngga punya KTP, seperti
sebuah realitas bahwa masih banyak
rakyat di negeri ini yang ‘seakan’ tidak dianggap. Sebenarnya ada banyak
realita-realita disampaikan dalam film ini, termasuknya usaha dvd bajakan yang
ngga pernah surut.
Kira-kira durasi film ACMM sekitar
2 jam. Cukup panjang. Alurnya juga terlalu lambat. Di awal gue sempet ‘agak’
bosen. Terlalu bertele-tele. Ya walaupun adegan sensual tadi jadi penyemangat.
Loh. Bukan itu maksudnya. Itu cuma bumbu-bumbu dari film ini. Toh yang nonton
dan banyak diputer juga di luar negeri kan? Jadi ya gue paham sih.
Kalo boleh jujur, dengan banyak
respon orang yang suka sama film ini, kok rasa-rasanya gue kurang puas ya.
Padahal yang bikin gue semangat nonton adalah testimoni Goenawan Mohamad, yang
bilang film ini menakjubkan. Tapi kok gue engga ya. Gue kecewa sama Mas Joko. Tapi jangan khawatir Mas, apalah gue yang hanya satu penonton
yang tak puas dari sekian banyak yang memuji film karya Mas Joko.
Ending yang Mas ciptakan, membuat gue setidaknya harus tau kelanjutan dari
kisah Sari. Bagaimana kelanjutan buramnya politik negeri ini yang Mas ingin perlihatkan.
Oya, dari pengambilan gambar di
ACMM gue seakan merasa kalo penonton diajak untuk fokus ke tokoh Sari dan Alek.
Coba lihat, gambar tokoh lain selain pemeran utama diambil hanya beberapa
detik. Sekelebat. Ditambah kadang tidak fokus atau lighting. Kayaknya ingin menciptakan ruang gerak yang sempit untuk
mengenal tokoh lain. Kecuali, Bude ibu kosan Alek.
Pesan yang gue dapet dari film ACMM ini adalah
potret betapa tidak adilnya hidup di Indonesia. Betapa tragisnya ketika rakyat melolong
mendukung mati-matian tokoh yang ia pilih untuk memimpin agar bisa merubah
nasibnya, ternyata ia lah yang merebut kebahagian rakyat bahkan yang turut
andil dalam ‘nasib buruk’ yang menimpa rakyat tersebut. Ternyata ada banyak
permainan politik di dalam negeri yang katanya menjunjung
tinggi Demokrasi Pancasila.
Okey Mas Joko, gue tunggu bagaimana Mas
Joko merepresentasikan politik di negeri ini dalam kelanjutan kisah Sari.
Tapi maaf ya Mas, gue cuma bisa kasi
7/10 buat rating dari ACMM.
Ditunggu film selajutnya Mas Joko!
No comments:
Post a Comment