Tuesday, February 2, 2016

Mungkin elu, Butuh Piknik.

Setelah nonton SITI, gue terlibat dalam sebuah obrolan bareng temen gue di warung makan kaki lima paling hitz di Kota Bandung. Sebenernya kita asik mengomentari Film Siti yang baru aja kita tonton. Mulai dari kesederhanaan Siti, kejujuran film, budgeting, sampe ke film yang akan disutradai lagi oleh sang sutradara film Siti. Kita yang sama-sama suka nonton film, dan dia notabene adalah reporter sekaligus editor di sebuah majalah film, wajar obrolannya pun ngga ada putus-putusnya.

Sampe ada potongan percakapan seperti ini,

Gue: eh, kayaknya asik nih kalo kita  review Siti yuk.
Dia: seru juga. Boleh.
Gue: okay
Dia: eh tapi gue belum berani, nulis review film. Gue belum ada kredibilitasnya untuk menilai sebuah film.
Gue: ….

Gue ulangi lagi. ‘Gue belum ada kredibilitasnya untuk menilai sebuah film’.

Gue: serius amat sih lo. Maksud gue kan nulis di Blog.
Dia: iya gue paham. Gue ngrasa belum pantes aja.

What?! Apakabar gue. Gue yang cukup sering nulis review film di blog. Tapi toh gue bukan siapa-siapa. Gue bukan kritikus film, film-maker pun masih amatir. Pengamat film apalagi. Tapi kenapa gue berani?

Gue jadi diem setelah percakapan itu. Gue mikir. Terus gue nanya lagi ke dia.

Gue: emang kalo mau naik motor, harus jadi pembalap dulu ya?
Dia: ya engga juga sih

Maksud dari pertanyaan gue adalah, apakah setiap orang harus memiliki kredibilitas yang sama untuk melakukan, bahkan menilai sesuatu? Apakah seorang harus menjadi ‘ahli’ dulu baru ia berani?

Apakah orang yang mau naik motor nantinya akan jadi pembalap? Toh kalo seandainya ia pembalap, jalan raya tentu bukan arena balap kan. So, apakah mereka harus ngeliatin mereka bisa balap di jalan raya. Kalo di arena balap, iya. Pasti.

Korelasinya dengan jawaban temen gue tadi adalah, apakah seseorang harus memiliki kredibilitas dulu untuk menulis sebuah review film. Nah kalo memang iya, toh ia menulis di blog pribadi bukan di website resmi sebuah majalah film. Maksud gue, posisikan diri lo kapan harus jadi seorang jurnalis film kapan harus jadi ‘penonton film’.

Bukankah blog memang dibuat untuk menulis, mencurahkan, membagi tulisan ‘sesuka’ pengguna blog. Gue sedikit tersinggung, jujur. Cuman, ini bisa jadi bahan renungan tulisan yang akan gue posting nantinya. Apakah, gue cukup kredibel dengan apa yang gue tulis? Alah.

Gue menulis itu karena gue memang suka nulis. Gue seneng membagi apa yang gue rasakan saat menghadapi sesuatu, baik itu menonton film, membaca buku, bahkan bagaimana gue dapet kerja dan lain-lain. Dan kalo pengalaman gue bisa jadi bahan pertimbangan orang lain untuk melakukan sesuatu, yang dapet pahala siapa?

Gue cuma ingin merasakan waktu, mengulang kembali memori yang gue lewati dengan menulis. Syukur kalo itu bermanfaat bagi orang banyak. Kalo engga, ya syukur gue masih punya media untuk menampung isi kepala gue.

Mungkin elu kurang piknik. Atau mungkin gue yang kurang piknik. Atau justru kita yang kurang piknik. Gara-gara kerja, kayaknya kita jadi manusia yang terlalu serius. Kadang sampe lupa kapan harus serius dan ngga. Kapan harus tersinggung dan tau mana yang cuma basa-basi.

Huft. Ini sebabnya kenapa dewasa diikuti dengan menua.

***

Kemaren siang, dalam perjalanan balik ke Jakarta dari Bandung, gue buka instagram buat ngisi waktu luang. Gue liat foto seorang public figur, yang gue follow. Dia lagi berlibur sama sang pacar di suatu tempat. Nah, foto itu langsung men-tag sang pacar. Gue penasaran, gue kepoin akun instagram pacar si pemilik akun. Ternyata pacarnya adalah seorang pilot. Di bio intagram pacarnya, ada link yang merupakan blog pribadinya.

‘Wah, seru nih baca blog orang’, pikirr gue. Langsung gue buka.

Posting terakhir yang ada di blognya itu sekitar 3 tahun yang lalu. Mungkin dia belum sempet nulis blog lagi.

Menarik tulisannya. Ia bercerita bagaimana perasaan yang ‘hampir mati’ karena gagal mendarat karena mesin pesawat mengalami error. Urutan kejadiannya detail, beberapa kali ia menjelaskan istilah penerbangan serta kode sandi yang agak susah di pahami. Tapi gue ngerti alur ceritanya.

Oh ternyata begini sudut pandang pilot kalo lagi nerbangin pesawat yang dalam cuaca buruk atau mesinnya bermasalah. Mereka juga punya ketakutan yang sama seperti penumpang, hanya saja tanggung jawab yang melenyapkan ketakutan itu. Menurut yang gue baca, bahkan ketika penumpang berhasil di selamatkan setelah itu pilot lah yang baru merasa ‘takut’. Takut kalo seandainya tadi ia berkemungkinan gagal. Hingga tak mampu menyelamatkan nyawa ratusan penumpang yang mereka bawa.

Gue tertegun.

Balik lagi ke masalah blog tadi. Gue jadi mikir lagi. Pengalaman orang yang seperti ini yang gue cari kalo baca blog. Gue sendiri kadang udah bosen dengan suguhan berita setiap hari, kasus kopi beracun, kereta cepat sampe kriminalisasi anggota DPR.

Kita (terutama gue) butuh bacaan yang lebih ringan ketimbang ulasan tulisan yang berat. Kredibilitas tentu saja ngga menyinggung soal gaya penulisan atau cara lo berututur ke pembaca dan lain sebagainya. Tapi dengan elo mengagungkan kredibilitas itu, lo sendiri sibuk mencari pembenaran tanpa mau membagi pengalaman dengan orang lain (pembaca blog).

Gue paham, kita semua punya kecerdasan masing-masing. Melewati kejadian yang tentu tiap orang beda. Ngga ada salahnya toh untuk dibagi. Kredibilitas itu tumbuh dari berlatih, belajar, dan tentunya kesanggupan menerima cercaan. Toh ini blog pribadi yang 'mumpung' masih bisa menulis apa aja sesuka hati. Mojok.co aja blog resmi yang penulisnya dipaksa menulis sesuka hati.


Sudahlah. Hidup itu perlu ditertawakan, jangan semuanya dibawa serius. Kalo masih punya jatah liburan, mending piknik.

Kok gue yang emosi ya. Sebentar, yang butuh piknik kayaknya gue.

No comments:

Post a Comment