Setelah nonton SITI, gue terlibat dalam sebuah
obrolan bareng temen gue di warung makan kaki lima paling hitz di Kota Bandung.
Sebenernya kita asik mengomentari Film Siti yang baru aja kita tonton. Mulai dari
kesederhanaan Siti, kejujuran film, budgeting, sampe ke film yang akan
disutradai lagi oleh sang sutradara film Siti. Kita yang sama-sama suka nonton
film, dan dia notabene adalah reporter sekaligus editor di sebuah majalah film,
wajar obrolannya pun ngga ada putus-putusnya.
Sampe ada potongan percakapan seperti ini,
Gue: eh, kayaknya asik nih kalo kita review Siti yuk.
Dia: seru juga. Boleh.
Gue: okay
Dia: eh tapi gue belum berani, nulis review film. Gue
belum ada kredibilitasnya untuk menilai sebuah film.
Gue: ….
Gue ulangi lagi. ‘Gue belum ada kredibilitasnya
untuk menilai sebuah film’.
Gue: serius amat sih lo. Maksud gue kan nulis di
Blog.
Dia: iya gue paham. Gue ngrasa belum pantes aja.
What?! Apakabar gue. Gue yang cukup sering nulis
review film di blog. Tapi toh gue bukan siapa-siapa. Gue bukan kritikus film,
film-maker pun masih amatir. Pengamat film apalagi. Tapi kenapa gue berani?
Gue jadi diem setelah percakapan itu. Gue mikir. Terus
gue nanya lagi ke dia.
Gue: emang kalo mau naik motor, harus jadi pembalap
dulu ya?
Dia: ya engga juga sih
Maksud dari pertanyaan gue adalah, apakah setiap
orang harus memiliki kredibilitas yang sama untuk melakukan, bahkan menilai
sesuatu? Apakah seorang harus menjadi ‘ahli’ dulu baru ia berani?
Apakah orang yang mau naik motor nantinya akan jadi
pembalap? Toh kalo seandainya ia pembalap, jalan raya tentu bukan arena balap
kan. So, apakah mereka harus ngeliatin mereka bisa balap di jalan raya. Kalo di
arena balap, iya. Pasti.
Korelasinya dengan jawaban temen gue tadi adalah,
apakah seseorang harus memiliki kredibilitas dulu untuk menulis sebuah review
film. Nah kalo memang iya, toh ia menulis di blog pribadi bukan di website
resmi sebuah majalah film. Maksud gue, posisikan diri lo kapan harus jadi
seorang jurnalis film kapan harus jadi ‘penonton film’.
Bukankah blog memang dibuat untuk menulis,
mencurahkan, membagi tulisan ‘sesuka’ pengguna blog. Gue sedikit tersinggung,
jujur. Cuman, ini bisa jadi bahan renungan tulisan yang akan gue posting
nantinya. Apakah, gue cukup kredibel dengan apa yang gue tulis? Alah.
Gue menulis itu karena gue memang suka nulis. Gue seneng
membagi apa yang gue rasakan saat menghadapi sesuatu, baik itu menonton film,
membaca buku, bahkan bagaimana gue dapet kerja dan lain-lain. Dan kalo
pengalaman gue bisa jadi bahan pertimbangan orang lain untuk melakukan sesuatu,
yang dapet pahala siapa?
Gue cuma ingin merasakan waktu, mengulang kembali memori
yang gue lewati dengan menulis. Syukur kalo itu bermanfaat bagi orang banyak. Kalo
engga, ya syukur gue masih punya media untuk menampung isi kepala gue.
Mungkin elu kurang piknik. Atau mungkin gue yang
kurang piknik. Atau justru kita yang kurang piknik. Gara-gara kerja, kayaknya kita
jadi manusia yang terlalu serius. Kadang sampe lupa kapan harus serius dan ngga. Kapan harus tersinggung dan tau mana yang cuma basa-basi.
Huft. Ini sebabnya kenapa dewasa diikuti dengan
menua.
***
Kemaren siang, dalam perjalanan balik ke Jakarta
dari Bandung, gue buka instagram buat ngisi waktu luang. Gue liat foto seorang
public figur, yang gue follow. Dia lagi berlibur sama sang pacar di suatu
tempat. Nah, foto itu langsung men-tag sang pacar. Gue penasaran, gue kepoin
akun instagram pacar si pemilik akun. Ternyata pacarnya adalah seorang pilot. Di
bio intagram pacarnya, ada link yang merupakan blog pribadinya.
‘Wah, seru nih baca blog orang’, pikirr gue. Langsung
gue buka.
Posting terakhir yang ada di blognya itu sekitar 3
tahun yang lalu. Mungkin dia belum sempet nulis blog lagi.
Menarik tulisannya. Ia bercerita bagaimana perasaan
yang ‘hampir mati’ karena gagal mendarat karena mesin pesawat mengalami error. Urutan
kejadiannya detail, beberapa kali ia menjelaskan istilah penerbangan serta
kode sandi yang agak susah di pahami. Tapi gue ngerti alur ceritanya.
Oh ternyata begini sudut pandang pilot kalo lagi
nerbangin pesawat yang dalam cuaca buruk atau mesinnya bermasalah. Mereka juga
punya ketakutan yang sama seperti penumpang, hanya saja tanggung jawab yang
melenyapkan ketakutan itu. Menurut yang gue baca, bahkan ketika penumpang
berhasil di selamatkan setelah itu pilot lah yang baru merasa ‘takut’. Takut kalo
seandainya tadi ia berkemungkinan gagal. Hingga tak mampu menyelamatkan nyawa
ratusan penumpang yang mereka bawa.
Gue tertegun.
Balik lagi ke masalah blog tadi. Gue jadi mikir
lagi. Pengalaman orang yang seperti ini yang gue cari kalo baca blog. Gue sendiri
kadang udah bosen dengan suguhan berita setiap hari, kasus kopi beracun, kereta
cepat sampe kriminalisasi anggota DPR.
Kita (terutama gue) butuh bacaan yang lebih ringan
ketimbang ulasan tulisan yang berat. Kredibilitas tentu saja ngga menyinggung
soal gaya penulisan atau cara lo berututur ke pembaca dan lain sebagainya. Tapi
dengan elo mengagungkan kredibilitas itu, lo sendiri sibuk mencari pembenaran
tanpa mau membagi pengalaman dengan orang lain (pembaca blog).
Gue paham, kita semua punya kecerdasan
masing-masing. Melewati kejadian yang tentu tiap orang beda. Ngga ada salahnya
toh untuk dibagi. Kredibilitas itu tumbuh dari berlatih, belajar, dan tentunya
kesanggupan menerima cercaan. Toh ini blog pribadi yang 'mumpung' masih bisa
menulis apa aja sesuka hati. Mojok.co aja blog resmi yang penulisnya dipaksa
menulis sesuka hati.
Sudahlah. Hidup itu perlu ditertawakan, jangan
semuanya dibawa serius. Kalo masih punya jatah liburan, mending piknik.
Kok gue yang emosi ya. Sebentar, yang butuh piknik kayaknya gue.
Kok gue yang emosi ya. Sebentar, yang butuh piknik kayaknya gue.
No comments:
Post a Comment