Semenjak
tau Siti menduduki tahta tertinggi Festival Film Indonesia 2015 sebagai Film
Terbaik, gue langsung penasaran pengen nonton Siti. Judulnya yang juga sangat
biasa, buat gue tambah penasaran.
Hari
Minggu kemaren, gue dan temen gue akhirnya berkesempatan nonton Siti di salah
satu bioskop di Bandung. Kita bela-belain menerebos hujan cuma buat nonton
Siti. Cuma buat sampean, mbak Siti.
Kaget
pas pesen tiket, kursi baru terisi satu orang. Nambah kita berdua, jadi dua
orang. Padahal pintu teater udah dibuka. Ya, walaupun ditengah-tengah film
diputer, dateng tiga orang lagi. Tetep aja, Film Indonesia sebagus Siti cuma di
tonton 6 orang aja di bioskop. Di banding film horor semi bokep Indonesia yang
ngga paham lagi gue alurnya kayak gimana.
Kita
fokus ke Siti aja ya.
Gue
udah jatuh cinta dengan film Siti sejak 10 menit pemutarannya. Film Siti ber-setting di Pantai Parangtritis,
Yogyakarta. Siti mengisahkan seorang perempuan, bernama Siti (Sekar Sari) yang
hidup di pinggiran Pantai Parangtritis bersama sang suami, Bagus (Ibnu Widodo)
dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur Widodo).
Bagus
mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat melaut, yang membuatnya ngga bisa
bangun dari tempat tidur. Sedangkan Bagas, siswa SD yang menurut gue anak yang
cerdas. Cerdas bukan karena dapet nilai matematika 5, tapi dia tau kalo makan
ngga boleh bicara. Anak sekarang kan kalo makan mainan hp. Dan Siti, Siti
adalah wanita yang hebat.
Siti
harus bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar utang suaminya. Pagi hingga
siang hari Siti berjualan peyek, sedangkn
malam harinya ia bekerja di sebuah karaoke. Semenjak Siti bekerja menjadi
pemandu karaoke, Bagus ngga mau bicara dengan Siti. Sama sekali. Lucunya, gue
melihat akting Bagus disini bagus banget. Bahkan tanpa berbicara ia mampu
menghantarkan emosi yang ia ingin sampaikan kepada Siti dan kepada Penonton.
Siti
sama sekali ngga merubah niatnya untuk berhenti bekerja di karaoke. Karena hanya
dengan ini, iya mampu melunasi utang sang suami.
Bekerja
di karaoke, Siti bertemu dengan Mas Gatot. Laki-laki yang begitu mencintai Siti
dengan segala polemiknya. Mas Gatot bahkan beberapa kali meminta Siti
meninggalkan suaminya dan menikah dengannya. Inilah konflik yang berusaha
dibangun dalam film ini. Siti yang dihadapkan dengan pilihan, tetap menjaga
sang suami atau justru hidup ‘layak’ dengan Mas Gatot yang seorang polisi.
Eddie
Cahyono, sang sutradara menyuguhkan sesuatu yang sangat tidak biasa dalam Film
Siti. Pertama, Film Siti ditayangkan dengan warna hitam putih. Bukan tanpa
alasan, warna hitam putih yang disajikan Film Siti sebenarnya dilatarbelakangi
keterbatasan dana. Bahkan karena maslah finansial yang dihadapi Siti,
sampai-sampai film ini ngga mampu menyewa peralatan lighting yang memadai. Sehingga Ediie, memutuskan untuk menjadikan
film Siti berwarna hitam putih.
Dan
yang gue baca dari salah satu berita online, perlengkapan kamera yang digunakan
untuk menggarap Film Siti sangat terbatas. Eddie bersama sang produser, Ifa
Isfansyah tidak menganggap itu sebuah kekurangan. Karena menurut mereka,
kejujuran adalah hal yang terpenting dalam penggarapan film.
Terbukti,
keterbatasan dana tidak mengurangi kualitas Film Siti. Justru menurut gue, warna
hitam putih dan banyak shot kamera yang follow shot membuat film ini keren.
Siti terlihat jujur dan begitu sederhana.
Seni
dalam film Siti juga terletak pada rasio gambar, 4:3 bukan seperti film biasa
yaitu 16:9. Menurut artikel yang gue baca ini karena, Mas Eddie ingin
"mendekatkan" kehidupan Siti kepada penontonnya, sekaligus
menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti.
Selanjutnya
kesuksesan Siti ngga terlepas dari pemeran Siti-nya sendiri, yaitu Sekar Sari. Gue
akui, akting Sekar memerankan Siti begitu luar biasa. Gue sempet kepo, siapa
sih sosok Sekar Sari ini. Dan yang gue dapet hasilnya sangat mengejutkan. Sekar
Sari adalah orang Yogyakarta asli yang kini sedang menempuh pendidikan dance kontemporer di Hungaria. Wow. Dari
kecil Sekar memang hobi menari. Ia juga adalah satu finalis ajang Putri Jogja
gitu. Jadi sosok yang gue tonton, yang mampu berperan sebagai ibu-ibu muda yang
ndeso ternyata memiliki prestasi yang
luar biasa.
Sayangnya
Sekar tidak masuk dalam nominasi aktris wanita dalam ajang FFI. Padahal bila
dibandingkan dengan aktris nominasi yang lain, Sekar tentu tidak bisa dianggap
remeh. Memerankan Siti, sangat sulit menurut gue. Ia harus merubah dengan cepat
ekrpresi wajahnya dalam kondisi apapun. Ditambah, Siti adalah film panjang
layar lebar pertama Sekar. Sungguh keren sekali mbak Sekar ini. Tapi kabar gembiranya, Sekar berhasil menuai pujian
dari banyak penonton dan diganjar penghargaan Best Performance dalam Singapore
International Film Festival ke-25 pada Desember tahun lalu.
Oya,
sebagai tambahan informasi, ternyata Sekar bukanlah pilihan pertama pemeran
Siti. Ia tidak lolos casting sebagai pemain utama. Namun karena aktris yang
terpilih memerankan Siti mengundurkan Siti, pilihan Mas Eddie jatuh kepada
Sekar.
Kemudian
ada Mas Gatot (Haydar Saliz) yang membuat film ini semakin hidup. Berperan sebagai
orang ketiga, Mas Gatot mampu mengaduk emosi penonton. Bahkan ia dan Sekar
melakukan adegan vulgar tapi lolos sensor. Haha.
Selanjutnya
yang mebuat film ini menarik juga adalah akting dari teman-teman Siti (maaf gue
lupa namanya). Dengan logat jawa yang khas, mereka mampu menjadi sosok yang pas
ada disamping Siti.
Bagas,
anak Siti yang bercita-cita menjadi pilot juga tidka boleh dilupakan. Walaupun kata
temen gue, aktingnya ngga bagus, tapi di mata gue Bagas berhasil memerankan
anak yang berasal dari keluar ‘kurang mampu’ yang begitu polos. Semua adegan
yang dilakukan Bagas terasa real bagi gue. Saat Bagas mandi, mau berangkat
sekolah, nonton layar tancep, naik sepeda, dan semuanya.
Proses
shoting Siti cuma membutuhkan wakyu 6 hari, dengan budget hanya 150 juta
rupiah. Wow. Film berkualitas dengan biaya murah. Keren Mas Eddi!
Menurut
gue Siti adalah Film yang sangat sederhana. Mulai dari cerita, plot, alur dan setting-nya. Yang membuat cerita Siti
begitu kuat, adalah pengorbanan Siti untuk suaminya namun di akhir ia harus
menelan pil pahit ketika Siti bercerita soal Mas Gatot yang ingin menikahinya,
Bagus malah membolehkannya. Siti kecewa.
Pengorbanannya
selama ini tidak membuat Bagus mempertahankan dirinya. Dan saat Bagus menjawan
pertanyaan Siti, inilah dialog pertama dan terakhir Bagus dalam film.
Gue
‘seakan’ mengerti apa yang Siti rasakan. Saat kita telah berkorban demi orang
yang kita cintai, dia bahkan merelakan kita bersama orang lain. Tanpa perlawanan.
Hancur hati Siti, yang mati-matian menjaga hatinya.
Melihat
dari sudut pandang Bagus. Menurut gue, Bagus hanya ingin yang ‘lebih baik’
untuk Siti.
Cinta
begitu rumit.
Dan
lagi-lagi bagusnya dari Film Siti, adalah tidak adanya karakter yang
bener-bener baik ataupun jahat sekalipun. Siti mampu begitu baik dan kadang
kala kata-kata kasar terlontar dari mulutnya.
Pengorbanan
Siti dan kisah cintanya sama sekali tidak klise. Bahkan ini terlihat seperti
doku-drama. Sangat real. Bahwasannya memang benar ada kisah hidup seperti Siti
di negeri ini. Di tengah kemiskinan, seorang perempuan harus berjuang
menghidupi keluarganya dengan cara apapun. Disisi lain, pengorbanan itu
sepertinya tidak berarti apa-apa bagi sang suami.
Gue
hampir tidak menemukan cacat sedikit pun dari film ini. Seharusnya mungkin ada,
atau gue yang tidak terlalu kritis. Gue cuma menyayangkan, jumlah penonton yang
sangat tidak masuk akal. Film sebagus Siti ngga ada yang nonton. Dari sini
terlihat bagaimana selera tontonan masyarakat negeri ini.
Semasih
film ini di bioskop, gue sarankan kalian untuk segera menonton. Film berkualitas
jangan dilewatkan begitu saja.
Dari
film ini gue seperti mendapat gambaran betapa susahnya sekaligus muliannya menjadi
seorang wanita.
Mas
Eddie, mungkin sepemikiran dengan gue. Ia menampilkan sosok Siti seperti Yogja
tempat tinggalnya, yang sederhana tapi istimewa.
Ditunggu
film keren selanjutnya, Mas!
No comments:
Post a Comment