Thursday, February 4, 2016

Siti yang Istimewa



Semenjak tau Siti menduduki tahta tertinggi Festival Film Indonesia 2015 sebagai Film Terbaik, gue langsung penasaran pengen nonton Siti. Judulnya yang juga sangat biasa, buat gue tambah penasaran.

Hari Minggu kemaren, gue dan temen gue akhirnya berkesempatan nonton Siti di salah satu bioskop di Bandung. Kita bela-belain menerebos hujan cuma buat nonton Siti. Cuma buat sampean, mbak Siti.

Kaget pas pesen tiket, kursi baru terisi satu orang. Nambah kita berdua, jadi dua orang. Padahal pintu teater udah dibuka. Ya, walaupun ditengah-tengah film diputer, dateng tiga orang lagi. Tetep aja, Film Indonesia sebagus Siti cuma di tonton 6 orang aja di bioskop. Di banding film horor semi bokep Indonesia yang ngga paham lagi gue alurnya kayak gimana.

Kita fokus ke Siti aja ya.

Gue udah jatuh cinta dengan film Siti sejak 10 menit pemutarannya. Film Siti ber-setting di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Siti mengisahkan seorang perempuan, bernama Siti (Sekar Sari) yang hidup di pinggiran Pantai Parangtritis bersama sang suami, Bagus (Ibnu Widodo) dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur Widodo).

Bagus mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat melaut, yang membuatnya ngga bisa bangun dari tempat tidur. Sedangkan Bagas, siswa SD yang menurut gue anak yang cerdas. Cerdas bukan karena dapet nilai matematika 5, tapi dia tau kalo makan ngga boleh bicara. Anak sekarang kan kalo makan mainan hp. Dan Siti, Siti adalah wanita yang hebat.

Siti harus bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar utang suaminya. Pagi hingga siang hari Siti berjualan peyek, sedangkn malam harinya ia bekerja di sebuah karaoke. Semenjak Siti bekerja menjadi pemandu karaoke, Bagus ngga mau bicara dengan Siti. Sama sekali. Lucunya, gue melihat akting Bagus disini bagus banget. Bahkan tanpa berbicara ia mampu menghantarkan emosi yang ia ingin sampaikan kepada Siti dan kepada Penonton.

Siti sama sekali ngga merubah niatnya untuk berhenti bekerja di karaoke. Karena hanya dengan ini, iya mampu melunasi utang sang suami.

Bekerja di karaoke, Siti bertemu dengan Mas Gatot. Laki-laki yang begitu mencintai Siti dengan segala polemiknya. Mas Gatot bahkan beberapa kali meminta Siti meninggalkan suaminya dan menikah dengannya. Inilah konflik yang berusaha dibangun dalam film ini. Siti yang dihadapkan dengan pilihan, tetap menjaga sang suami atau justru hidup ‘layak’ dengan Mas Gatot yang seorang polisi.

Eddie Cahyono, sang sutradara menyuguhkan sesuatu yang sangat tidak biasa dalam Film Siti. Pertama, Film Siti ditayangkan dengan warna hitam putih. Bukan tanpa alasan, warna hitam putih yang disajikan Film Siti sebenarnya dilatarbelakangi keterbatasan dana. Bahkan karena maslah finansial yang dihadapi Siti, sampai-sampai film ini ngga mampu menyewa peralatan lighting yang memadai. Sehingga Ediie, memutuskan untuk menjadikan film Siti berwarna hitam putih.

Dan yang gue baca dari salah satu berita online, perlengkapan kamera yang digunakan untuk menggarap Film Siti sangat terbatas. Eddie bersama sang produser, Ifa Isfansyah tidak menganggap itu sebuah kekurangan. Karena menurut mereka, kejujuran adalah hal yang terpenting dalam penggarapan film.

Terbukti, keterbatasan dana tidak mengurangi kualitas Film Siti. Justru menurut gue, warna hitam putih dan banyak shot kamera yang follow shot membuat film ini keren. Siti terlihat jujur dan begitu sederhana.

Seni dalam film Siti juga terletak pada rasio gambar, 4:3 bukan seperti film biasa yaitu 16:9. Menurut artikel yang gue baca ini karena, Mas Eddie ingin "mendekatkan" kehidupan Siti kepada penontonnya, sekaligus menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti.

Selanjutnya kesuksesan Siti ngga terlepas dari pemeran Siti-nya sendiri, yaitu Sekar Sari. Gue akui, akting Sekar memerankan Siti begitu luar biasa. Gue sempet kepo, siapa sih sosok Sekar Sari ini. Dan yang gue dapet hasilnya sangat mengejutkan. Sekar Sari adalah orang Yogyakarta asli yang kini sedang menempuh pendidikan dance kontemporer di Hungaria. Wow. Dari kecil Sekar memang hobi menari. Ia juga adalah satu finalis ajang Putri Jogja gitu. Jadi sosok yang gue tonton, yang mampu berperan sebagai ibu-ibu muda yang ndeso ternyata memiliki prestasi yang luar biasa.

Sayangnya Sekar tidak masuk dalam nominasi aktris wanita dalam ajang FFI. Padahal bila dibandingkan dengan aktris nominasi yang lain, Sekar tentu tidak bisa dianggap remeh. Memerankan Siti, sangat sulit menurut gue. Ia harus merubah dengan cepat ekrpresi wajahnya dalam kondisi apapun. Ditambah, Siti adalah film panjang layar lebar pertama Sekar. Sungguh keren sekali mbak Sekar ini. Tapi kabar gembiranya, Sekar berhasil menuai pujian dari banyak penonton dan diganjar penghargaan Best Performance dalam Singapore International Film Festival ke-25 pada Desember tahun lalu.

Oya, sebagai tambahan informasi, ternyata Sekar bukanlah pilihan pertama pemeran Siti. Ia tidak lolos casting sebagai pemain utama. Namun karena aktris yang terpilih memerankan Siti mengundurkan Siti, pilihan Mas Eddie jatuh kepada Sekar.

Kemudian ada Mas Gatot (Haydar Saliz) yang membuat film ini semakin hidup. Berperan sebagai orang ketiga, Mas Gatot mampu mengaduk emosi penonton. Bahkan ia dan Sekar melakukan adegan vulgar tapi lolos sensor. Haha.

Selanjutnya yang mebuat film ini menarik juga adalah akting dari teman-teman Siti (maaf gue lupa namanya). Dengan logat jawa yang khas, mereka mampu menjadi sosok yang pas ada disamping Siti.

Bagas, anak Siti yang bercita-cita menjadi pilot juga tidka boleh dilupakan. Walaupun kata temen gue, aktingnya ngga bagus, tapi di mata gue Bagas berhasil memerankan anak yang berasal dari keluar ‘kurang mampu’ yang begitu polos. Semua adegan yang dilakukan Bagas terasa real bagi gue. Saat Bagas mandi, mau berangkat sekolah, nonton layar tancep, naik sepeda, dan semuanya.

Proses shoting Siti cuma membutuhkan wakyu 6 hari, dengan budget hanya 150 juta rupiah. Wow. Film berkualitas dengan biaya murah. Keren Mas Eddi!

Menurut gue Siti adalah Film yang sangat sederhana. Mulai dari cerita, plot, alur dan setting-nya. Yang membuat cerita Siti begitu kuat, adalah pengorbanan Siti untuk suaminya namun di akhir ia harus menelan pil pahit ketika Siti bercerita soal Mas Gatot yang ingin menikahinya, Bagus malah membolehkannya. Siti kecewa.

Pengorbanannya selama ini tidak membuat Bagus mempertahankan dirinya. Dan saat Bagus menjawan pertanyaan Siti, inilah dialog pertama dan terakhir Bagus dalam film.

Gue ‘seakan’ mengerti apa yang Siti rasakan. Saat kita telah berkorban demi orang yang kita cintai, dia bahkan merelakan kita bersama orang lain. Tanpa perlawanan. Hancur hati Siti, yang mati-matian menjaga hatinya.

Melihat dari sudut pandang Bagus. Menurut gue, Bagus hanya ingin yang ‘lebih baik’ untuk Siti.

Cinta begitu rumit.

Dan lagi-lagi bagusnya dari Film Siti, adalah tidak adanya karakter yang bener-bener baik ataupun jahat sekalipun. Siti mampu begitu baik dan kadang kala kata-kata kasar terlontar dari mulutnya.

Pengorbanan Siti dan kisah cintanya sama sekali tidak klise. Bahkan ini terlihat seperti doku-drama. Sangat real. Bahwasannya memang benar ada kisah hidup seperti Siti di negeri ini. Di tengah kemiskinan, seorang perempuan harus berjuang menghidupi keluarganya dengan cara apapun. Disisi lain, pengorbanan itu sepertinya tidak berarti apa-apa bagi sang suami.

Gue hampir tidak menemukan cacat sedikit pun dari film ini. Seharusnya mungkin ada, atau gue yang tidak terlalu kritis. Gue cuma menyayangkan, jumlah penonton yang sangat tidak masuk akal. Film sebagus Siti ngga ada yang nonton. Dari sini terlihat bagaimana selera tontonan masyarakat negeri ini.

Semasih film ini di bioskop, gue sarankan kalian untuk segera menonton. Film berkualitas jangan dilewatkan begitu saja.

Dari film ini gue seperti mendapat gambaran betapa susahnya sekaligus muliannya menjadi seorang wanita.

Mas Eddie, mungkin sepemikiran dengan gue. Ia menampilkan sosok Siti seperti Yogja tempat tinggalnya, yang sederhana tapi istimewa.

Ditunggu film keren selanjutnya, Mas! 



No comments:

Post a Comment