Sunday, December 25, 2016

Kejutan di Film 'May Who?'

Di dunia ini tak ada yang adil, 
ada yang tinggi,
ada yang rendah.
Semua punya standarnya.
Termasuk di sekolah.

Murid-murid dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok,
paling bawah ada mereka yang biasa-biasa saja.
Diatasnya adalah mereka yang nakal,
tidak berbuat apa-apa, tapi mencari masalah.
Kemudian, adalah group rajin,
mereka yang sering menggunakan bahasa yang sulit dipahami.
Urutan ketiga adalah atletik,
mereka yang memiliki kekuatan super.
Kedua, adalah group cantik.
Masing-masing dari mereka memiliki banyak followers.
Urutan pertama adalah mereka yang memiliki keunikan tersendiri.

Dan yang paling atas adalah, ia yang jago segala-galanya.

Mereka yang tidak memiliki banyak, masuk ke group yang sama dengan ku.



Panjang ya pengantarnya.... Hahaha
Kurang lebih seperti itu, prolog dari Film Thailand May Who yang gue tonton beberapa hari lalu. May Who atau dalam bahasa Tagalognya May Nai Fai Rang Frer bercerita tentang romansa remaja beserta problematika yang ada didalamnya. Sutradara May Who, adalah Chayanop Boonprakob yang ternyata juga menyutradarai film populer di Thailand, SuckSeed. Film dengan genre romantic comedy ini diperankan oleh Sutatta "PunPun" Udomsilp (May), Bank Thiti Mahayotaruk (Pong), Tor Thanapob Leeratanakajorn (Fame).


(sumber: google.com)


Cerita berawal dari siswa laki-laki (gue ngga tau ini SMP atau SMA) bernama Pong yang mengganggap dirinya tidak masuk dalam satupun group (kelompok pergaulan) di sekolah. Itu karena dia tidak memiliki bakat apa-apa. Tidak memiliki wajah yang tampan, ataupun prestasi di sekolah. Yang menarik, Pong naksir sama Ming, cewek populer pemandu sorak. Pong yang hobi gambar, buat ilustrasi kayak komik gitu yang isinya agak mesum. Tanpa sengaja, buku gambar Pong sampai di tangan Ming. Hancurlah sudah semuanya.


Setelah ditelusuri, yang menyebarkan buku Pong adalah May. 

Konon di Thailand, May adalah nama yang paling umum. Di sekolah pasti ada saja yang bernama May anu atau May itu. Kalo di Indonesia, kayak Ayu kali ya, atau Agus buat cowok. Hahha. Nama lengkap May, adalah May Nhai. kalo bahasa inggris May Nhai berarti "May Who" yang artinya "May siapa?" atau "May yang mana?"

Disni, dari yang gue baca, sutradara pengen bilang tokoh utamanya bukan sosok penting di sekolahnya, Sebuah sekolah dengan kurikulum Jepang-Thailand. Uniknya lagi, May punya kekuatan super, yaitu bisa mengaliri listrik kalo detak jantungnya tinggi. Pong lah yang pertama kali tau, pas mereka bertengkar. Karena inilah mereka jadi deket, dan tentunya saling bantu buat dapeting pasangan idaman masing-masing.

Tapi menurut gue, cerita ini mudah ditebak. Muncul benih-benih cinta di antara mereka berdua. Melihat ceritanya yang cuma gitu aja, emang ngga ada yang istimewa dari May Who. Tapi yang menarik adalah, kekuatan super May yang nantinya bakal menghalangi dia jatuh cinta, dan cuma Pong yang bisa bantu.

Gimana ceritanya? Mending nonton aja. Gue yakin kali bakal tertawa atau terharu di tiap scene nya. Ditambah Pong, menurut gue cakep banget, dibanding Fame yang keliatan dewasa dan maco. Bank Thiti Mahayotaruk berhasil memerankan Pong, sebagai karakter remaja yang sedang jatuh cintah, yang lucu tanpa dibuat-buat. Yang koplak dan apa ya...pokoknya lucu deh. Rasanya pengen dipacarin. Loh.

Sebagai bonus, sang sutradara juga menyelipkan animasi sesuai kartun yang digambar Pong. Jadi lo akan dibawa di dunia nyata dan dunia khayalan Pong. Seru!

Beberapa kali nonton film Thailand, gue rasa yang membuat Thailand unggul dalam filmnya adalah idenya yang luar biasa, ditambah cerita Thailand yang khas. Ditiap filmnya selalu ada kesegaran, selalu ada yang namanya kejutan, dan yang pasti membuat ketagihan. Gue sama sekali ngga ilfeel sama cara bicaranya yang aneh, gue fokus sama cerita dan visual yang ditawarkan.

Dan kalian pasti setuju, kalo selain film, iklan Thailand juga bikin mewek kan? Bener kan?
Yaps, mereka ngga cuma menjual produk, tapi nilai produk itu sendiri. Bayangin aja iklan obat muka bisa dibuatin film. Iklan asuransi udah kayak short movie, atau film dokumenter.

Balik lagi ke May Who?, yang jelas film ini sangat recommended. Nggak kayak FTV yang konfliknya tiap episode sama gitu-gitu aja. Ini jauh lebih seru. 7.8/10 buat Who Who? Yeah!



Tuesday, December 20, 2016

Ketika Kota di Serang Zombie...

Setelah menahan beberapa bulan, akhirnya gue menyerah. Gue ngga bisa melewatkan untuk tidak me-review film Train to Busan. Film ini terlalu bagus jika harus dilewatkan dalam bentuk tulisan dan dibagi kepada semua penonton, ngga melulu mereka yang fanatik sama film Korea.

Oke, gue mulai.

Gue kenal Drama Korea sejak kelas 5 SD, dan mulai benar-benar suka tahun kedua kuliah. Semua waktu luang yang ada, gue habiskan untuk nontonin oppa-oppa ganteng, termasuk tingkah konyol mereka di variety show. Kenapa gue suka Korea? Ini ngga cuma soal wajah cakep hasil oplasan. Tapi memang cerita mereka yang orisinil dan beda sama drama atau series lain. Termasuk sinetron Indonesia. Yeah, sinetron yang bisa tayang seumur hidup sampe season tak terhingga. Tapi Train to Busan, menurut gue, tanpa melebihkan-lebihkan ke-keren-an aksi Gong Yoo, dari segi cerita, visual, pesan dan porsi drama yang tidak berlebihan memang harus menerima pujian. Bahkan, dunia hollywood sana mau memproduksi ulang film ini, tapi tentunya dengan kondisi yang disesuakan. Dengan capaian jumlah penonton hingga 10 juta, di minggu kedua penayangannya jauh diatas Warkop DKI Reborn, elo masih mau gengsi nonton Film Korea?

Train to Busan, sebuah film bergenre action, suspense, thriller yang disutradarai oleh Yeon Sang-Ho juga sekaligus sebagai penulis naskah bersama Park Joo-Suk. Seperti yang udah gue bilang tadi, Train to Busan dibintangi oleh aktor populer Gong-Yoo. Ngga main-main film ini diputar pertama kali di Festival Film Cannes 2016 lalu, serta meraih penghargaan di the 20th Fantasia International Film Festival. 

Film ini bercerita tentang seorang anak bernama Soon An (Kim So Ahn) yang ikut bertemu ibunya di Busan. Ayah Soon An - Seok Wok (Gong Yoo) memiliki masalah dengan istrinya yang membuat ia tinggal terpisah. Masalah muncul ketika Gong Yoo dan Soon An yang berada dalam kereta menuju Busan dengan penumpang lain, harus menerima kenyataan bahwa ada seorang penumpang yang telah terjangkit virus aneh dan berbahaya masuk ke dalam kereta. Virus itu yang membuat ia menjadi zombi lalu memangsa penumpang lainnya. 

Ada banyak sekali adegan berbahaya, tragis, bahkan dramatis di dalam kereta. Bahkan saking banyaknya gue ngga bisa sebut satu-satu. bagaimana aksi heroik Sang Hwa (Ma Dong Seok) yang harus merelekan dirinya digigit dan terinfeksi demi menyelamatkan penumpang yang lain, sementara sang istri sedang hamil tua. Bagaimana adegan dramatis Young Gook (Choi Woo Sik) yang harus akhirnya juga harus menjadi zombie karena orang yang ia cintai terinfeksi. Dan tentu saja masih banyak lagi.

Gue pernah sesekali nonton film zombie versi barat tapi ngga semenyentuh ini. Apa ya, emosianal penonton bener-bener diaduk dalam setiap adegannya. Alurnya pas menurut gue, diawal kita disuguhkan hiburan dari beberapa candaan anak SMA, hingga di tengah film penononton bahkan tidak dibiarkan bernafas saat mereka menembus lorong demi lorong untuk menyelamatkan orang yang mereka kasihi. Bahkan sampai akhir film pun, saya yakin anda akan dibuat menangis. Walau gue sendiri ngga nangis, karena terlalu gengsi untuk mengeluarkan air mata diantara riuh orang bisokop. Haha.

Film ini menyuratkan kasih sayang ayah kepada anak perempuannya, bagaimana dia harus membayar waktu yang selama ini ia gunakan untuk bekerja. Action, thriller, drama lengkap ada dalam film ini. Inilah berbedaan budaya ketika film digarap. Mungkin jika orang barat membuat film zombie, tidak akan ada kisah dramatis seperti orang timur. Sentuhan-sentuhan keluarga, 'rasa', dan banyak kata yang tidak bisa diungkapkan, ada dalam film ini. Ditambah visual yang begitu ciamik. 

Bahkan setelah keluar dari bioskop gue parno kalo-kalo disamping gue ada zombie yang siap gigit. Lebay sih, tapi apa mau dikata. Hahaha. Dan gue searching, dulu keberadaan zombie itu dikatakan pernah ada dibelahan bumi mana gue lupa. Mereka adalah orang mati yang kemudian bangkit lalu menyebarkan virus berbahaya.

Yang kurang dalam film ini cuma satu, kenapa pemeran utama harus mati di akhir. Terlalu sayang...Huft. 

Setelah lo nonton film ini, cepat ambil hp dan hubungi keluarga lo lalu katakan, kalo kalian sayang mereka. Ini memang terlalu bodoh. Tapi gue cukup yakin, seberapa banyak waktu yang tidak mereka habiskan untuk elo tapi bekerja, adalah demi lo juga. Ngga sedikit orang tua atau bahkan anak, gengsi berucap sayang. 

Oke gue kasi dua jempol untuk Train to Busan, dan rating 9/10. Daebak!

eh kabarnya, akan ada sequel dari fim ini yang akan diperankan oleh Kim Jong Ki. Tapi gue rasa ngga akan sebagus yang pertama. Yoih, tungguin aja.

Thursday, December 15, 2016

Headshot, Drama Film Laga

Hai universe, I'm Back!


Yeah, I'm Back.
Lama banget ya gue ngga bersua di blog. Kalo ibarat rumah, ini blog udah penuh sama sarang laba-laba. Sebenernya sih ngga karena sibuk-sibuk banget, emang gue-nya yang mulai males nulis. Kebiasan yang baik ilang, karena suguhan oppa-oppa Korea yang gantengnya dewa. Gue lebih sering nontonin drama dan internetan ngga jelas ketimbang nulis. Dan sekarang itu ngga boleh lagi. Nggak!

Kali ini gue bakal review film yang udah gue tonton sekitar 3 hari yang lalu. Temen gue maksa gue nulis, soalnya dia gregetan dengerin curhatan gue di watsap betapa errgh-nya ini film. Okay, gue bakal coba sedikit mengupas film ini. Dan semoga gaya tulisan gue ngga berubah. Hahha.

Senin, 12 Desember lalu gue dan temen-temen kuliah gue ketemuan. Kebetulan kita pada libur (eh gue ngga libur) dan akhirnya kita sepakat nonton film.
Dan.......
Film yang kita tonton adalah, Headshot.

Yeah, Headshot yang pemainnya udah dikenal banget aktor spesial film laga. Iko Uwais. Pertama liat posternya di bioskop, gue kagum. Ada banyak tulisan nominasi ataupun penghargaan Headshot. Dan penghargaannya lebih banyak di luar negeri. Wow. Ada Festival Film di Paris, Toronto, dan masih banyak yang sampe gue ngga inget. Melihat sambutan yang baik itu, otomatis dong gue makin makin penasaran sama ini film. And then...


(Sumber: google.com)

Okay, gue bakal jelasin dulu. Apasih film Headshot dan siapa aja sih pemainnya?

Headshot adalah sebuah film dengan genre action, yang sutradaranya dikenal dengan Mo Brothers, yaitu Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel. Rilis tanggal 8 Desember 2016, ngga main-main film ini dibintangi sama Iko Uwais (abdi/Ishmael), Chelsea Islan (Ailin), Julie Estelle (Rika), Zack Lee (Tano), Sunny (Lee), David Hendrawan (Tejo), Very Tri Yulisman (Besi), Ganindra Bimo, dan masih banyak lagi. Dan gue dapet info, Headshot adalah film pertama dari rumah produksi Screenplay Production dan Infinite Frameworks Studios. Proses syutingnya sendiri, berlangsung 45 hari di Batam. 

Ekspektasi gue tinggi sama film ini, melihat dua film Iko sebelumnya sangat sukses, ditambah deretan prestasi yang udah diraih ini film bahkan sebelum penayangannya di Indonesia.

Dzeengg, sekitar 2 menit pemutaran film ini gue langsung bisa ngambil kesimpulan kalo ini film jelek dari segi cerita dan logika. But sorry to say. Film yang bagus menurut gue adalah film yang mampu meraih perhatian penontonnya di 15 menit awal pemutaran. Dan Headshot sama sekali ngga membuat perhatian gue teralihkan.

Film ini bercerita soal pria yang awalnya tidak diketahui namanya (Iko Uwais) yang terbangun dari koma yang panjang. Dan selama si cowo koma, ia dirawat oleh Ailin (Chelsea Islan) yang notabene adalah dokter. Kondisi si pria ditemukan sekarat pertama kali oleh seorang nelayan sekitar pantai. Dramanya muncul ketika pria ini, akhirnya dinamai Ishmael hilang ingatan. 

Ishmael dan Ailin langsung dekat. Cepet banget menurut gue, walaupun ini terjadi di film. Sambil si Ishmael mencari siapa dirinya, seorang tahanan penjara atas kasus narkoba (menurut gue) lepas. Lepasnya pun sangat tidak wajar dan tidak masuk akal. Ini yang gue bilang adegan awalnya udah bikin ngakak. Kok ya bisa, gampang banget polisi dibunuh saat ada kunjungan rutin ke lapas, trus dengan gampangnya mereka tembak-tembakan trus udah mati. gitu aja. Ngga ada yang namanya pengawalan ketat. Seakan untuk keluar dari penjara ngga ada tantangan yang berarti. Ya walaupun pada akhirnya semua napi mati ketembak kecuali si Lee ini.

Aduhh mak, gue yang ngga pernah di penjara pun tau kok ya gitu amat ya.

okey, cerita berlanjut ke tindakan kejahatan Lee hingga akhirnya membawa di bertemu dengan Ishmael yang ternyata nama sebenarnya adalah Abdi. Dan ternyata Lee adalah ayah angkat Abdi. Abdi berhianat karena udah muak menjadi boneka yang tugasnya melakukan kejahatan. Akibatnya di ditembak, tercebur ke laut dan lupa ingatan. Begitulah kira-kira.

Kelucuan dalam film ini berlanjut ketika Ganindra Bimo nongol. Ini orang kocak parah. Walaupun aktingnya sangat serius dalam keadaan genting, gue sama sekali ngga liat sangarnya Bimo dimananya. Kupingnya ditembak, pergi ke rumah sakit bikin teror ke dokter Ailin. Semua gue liat lucu. 

Selanjutnya adalah adegan di bis yang menurut gue ngga penting. Semua penumpang di Bis ditembak, cuma buat nyari Abdi. Dokter Airin dan seorang gadis kecil pun disandera, agar supaya si Abdi menyerahkan diri. 

Singkat cerita, Abdi udah sampe di basecamp lokasi penyenderaan dengan bantuan share location. Heloooo, sejak kapan di hutan belantara ada sinyal. Okey kita anggap ada. Karena Telkomsel udah menyasar seluruh pelosok Indonesia.

Disini Abdi berhasil membunuh 4 teman baiknya dulu, termasuk Rika (Julie Estele). Juli seksi abis disini. Ini sih yang membuat film ini mahal. Heran kenapa bisa lolos sensor. Banyangin aja, si Juli harus jungkir balik ngelawan Iko pake tangtop item press body. Kalo ada yang bilang, 'gue ngga nggeh loh prim itu keliatan anunya, atau apanya. Gue fokus sama silatnya' itu boong. Mereka boong. 

Dan akhirnya, Abdi melawan 'ayah angkat'nya sendiri, dengan sangat tragis, lalu hujan turun. Adegan selanjutnya, Ishmael bangun dari tempat tidur di sebuah rumah sakit disampingnya ada Chelsea Islan. 

Yeaaah, good untuk drama FTV nya.

Jujur kalo menurut gue, cerita Headshot sangat cetek, dangkal, ringan, dan drama abis. Ini sama aja kayak FTV yang ditambah adegan silat. Terlalu banyak 'anjing' yang keluar yang menurut sangat tidak lucu. Iko sangat tidak cocok beradegan romantis. Plis. Mas Iko lebih baik beradengan sangar dibanding harus manis-manis dan sok romantis. Ngga banget. Ngga cocok. Ngga pantes. 

Adegan yang lain pun terasa konyol, saat Iko berantem di kantor polisi. Iko diserang oleh musuh, dan musuhnya lainnya ngidupin lampu. Setalah mati, baru musuh yang ngidupin lampu dateng. aaah. gimana ngga gregetan ini nontonya. 

Keanehannya sampe ke bolong bajunya Iko pas berantem. jaitan kepala, make up Chelsea yang gue liat berubah-ubah. 

Yang gue heran adalah kok ya bisa film kayak ini dapet banyak penghargaan ya. 

ya, disamping minus yang banyak tadi, yang bagus sih emang adegan silat dan banyak adegan sadis yang cukup berani. Visual gambar juga cukup bagus, kamera moving sepanjang adegan berantem yang buat penonton bisa melihat dari banyak sisi. Atau justru pusing, entahlah.

Kalo gue bandingin sama The Raid 1 dan 2, ini mah jauh di bawah. Bahkan levelnya pun dan target penontonnya beda. Ini film sangat ringan dan bisa dinikmati siapa aja.

Menurut gue (menurut gue loh ya) ini sebuah kemunduran film laga Indonesia. Ini yang terjadi ketika film laga 'dipaksa' dibungkus dengan drama cinta. Mas Iko, ngga usah beradegan romantis dan sok manis juga udah keren kok. Gue cuma sayang aja, ini film yang udah banyak dinanti tapi ngga sesuai ekspektasi.

Dan lagi-lagi gue bilang, ini murni menurut gue loh ya. Tanpa ada tekanan ataupun paksaan. Gue ngga berpura-pura suka cuma demi menaikkan derajat film negeri. Ini kritik membangun untuk lebih baik kedepannya. Gue sendiri pecinta film Indonesia. 

So, rating dari gue 6/10. Maaf Mas Iko, kamu ngga cocok jadi cowok melankolis.



Monday, February 15, 2016

Deadpool, Superhero Kalang-Kabut



Gue tau Deadpool, berawal dari suruhan produser buat nyari film terbaru untuk closing segmen Metro Plus Siang. Dan trailer nya keliatannya seru banget. Superhero tapi lucu. Ditambah pas itu, kedua host yang penggemar film-film Marvel juga bilang kalo Deadpool bagus filmnya. Makanya gue makin pengen nonton. Hari sabtu kemaren, tepat sehari sebelum valentine gue dan temen gue nonton di salah satu bahkan satu-satunya bioskop murah di Jakarta. Karena nonton di weekend itu harganya ‘agak’ ngga masuk akal. Fiuh.

Lanjut.Kali ini gue mau ceritain tentang Deadpool.

Deadpool bercerita tentang seorang mantan tentara bayaran yang juga pasukan khusus militer, bernama Wade Wilson (Ryan Reynolds). Wade memiliki seorang kekasih, Vanessa Varlyse (Morena Baccarin) yang sangat mencintainya. Bahkan ketika Wade divonis menderita penyakit kanker mematikan, Vanessa tidak ingin pergi dari hidup Wade.

Romansa Kaum Pinggiran

Pertama, gue mau menyampaikan rasa bangga gue karena sudah menonton film Indonesia. Yeah!
Tapi hampir sama dengan film Siti, jumlah penonton A Copy of My Mind pas gue nonton ngga lebih dari 20 orang. Sangat sedikit.

A Copy of My Mind (kita singkat ACMM aja biar ngga kepanjangan ngetiknya) adalah film karya salah satu sutradara terbaik di Indonesia, Mas Joko Anwar. Lah akrab bener manggilnya pake mas? Eits, gue udah kenalan. Dia pernah jadi narasumber di program acara gue. Cie gitu.

Nih
Sumber: dokumentasi pribadi


Pertama kali gue nonton film karya Joko Anwar, judulnya Janji Joni. Dan itu menurut gue film yang keren.Gue suka banget film yang ceritanya cuma sehari, tapi pesannya dalem. Seperti film Siti contohnya. Semenjak itu gue terobsesi bikin film yang setting waktunya cuma sehari.Karena terinspirasi dari Janji Joni, di semester 3 pas matakuliah pengantar broadcast gue ditugaskan buat film. Film pertama gue. Gue kasi judul, ‘KSATRIA’. Film pendek tanpa dialog berdurasi 5 menit yang ceritanya cuma, perjalanan sang cowok buat nepatin janji ketemu sama pacarnya.As simple as that. Kenapa judulnya Ksatria? Yah karena, pertama nama Joni udah keambil sama Mas Joko. Haha. Kedua karena menurut gue, Ksatria bukan cuma soal membela yang benar di medan perang. Tapi Ksatria adalah orang yang mampu menepati janjinya. Selain nama si Cowo itu di film emang Ksatria.

Sebentar. Kok jadi ngomongin film gue.

Kita lanjut ke ACMM.

ACMM bercerita tentang Sari (Tara Basro) seorang pegawai salon yang gemar membeli dvd bajakan. Tapi Sari sering dapet dvd dengan subtitleyang ngawur. Suatu ketika, Sari protes ke tukang yang jualan dvd. Nah momennya pas banget pas Sari komplen ada Alek (Chico Jericho), si penerjemah dvd bajakan.

Sari yang kesal karena protesnya tidak mendapat ganti rugi, ia lalu pergi dari toko dengan mengambil satu dvd bajakan tanpa ijin. Tindakan itu diliat oleh Alek yang langsung membuntuti Sari pergi. Alek kemudian ‘menjebak’ Sari agar mau ikut ke kosannya. Dan Sari mau.

Setelah hari itu, mereka bertemu lagi. Sepertinya Alek udah suka sama Sari dari pertama pas mereka ketemu. Kalo bisa dibilang ini kayak FTV versi alusnya, ngga langsung tabrakan jatuh cinta. Anehnya, aneh banget pas pertemuan kedua mereka yang sepertinya ‘udah saling jatuh cinta’ melakukan hubungan layaknya suami-istri. ‘baru dua kali ketemu loh, cepet amat’ pikir gue. Pas adegan kayak gini, gue malah sibuk liatin ekspresi penonton. Haha. Tapi gue masih heran kenapa lolos sensor ya. Hhmm.

Makin hari, cinta mereka semakin kuat.

Sari yang bosen sama tempat kerjanya yang lama nyobain cari tempat kerja baru yang ngga jauh dari salonnya yang lama. Di salon yang baru, Sari harus training sekitar 2 minggu baru diperbolehkan handlepelanggan. Jadi setelah diterima, kerjanya si Sari cuma ngeliatin senior therapist-nya. Karena bosen, Sari ngadu ke Manajernya biar dia bisa langsung handle pelanggan.

Gara-gara itu, Sari akhirnya diutus untuk memberikan perawatan wajah pada seorang narapidana di penjara yang punya banyak relasi di kalangan atas. Narapidana tersebut dipenjara karena kasus korupsi, bisa dibilang juga dia makelar korupsi gitu. Yang hubungin pejabat dengan pengusaha gitulah.

Mas Joko seperti mengangkat kisah di negeri ini, atau justru ingin menyindir seseorang. Penjara yang menurut orang-orang termasuk Sari, adalah tempat yang kotor, sempit dan bau ternyata kenyataannya tidak demikian. Dalam sel napi kasus korupsi yang dimainkan oleh Maera Panigoro ini, lebih mewah dari kos-kosan pada umumnya. Ruangannya bersih ber-AC, ada kulkas, dan home theater yang lengkap koleksi dvd.

Setelah memberi perawatan, Sari diam-diam mengambil koleksi dvdnya. Adegan menegang ketika, sebelum pulang Sari dipaksa membuka tasnya untuk diperiksa. Takut-takut kalo ada penyadap yang dibawa Sari. Sesampainya di kos Alek, Sari mengajak Alek menonton bersama. Tapi ternyata dvd curian Sari adalah rekaman korupsi para pejabat tinggi dan juga salah satu calon presiden saat itu. Ketika Sari dan Alek mengetahui hal itu, bahaya mengancam mereka berdua.

Setelah menonton ACMM, gue serasa melihat ada yang ingin Joko Anwar sampaikan secara implisit dan eksplisit. Semacam tragedi masa lalu, dimana apabila seorang merugikan pejabat saat itu akan dihabisi nyawanya. Atau paparan fakta bahwa koruptor di Indonesia, yang katanya di penjara ternyata hidupnya lebih enak dari rakyat yang telah menjadi miskin karena haknya tidak diperhatikan.

Gue tau Joko Anwar memang vokal kalo ngomongin soal politik di Indonesia. Beberapa kali nonton Mata Najwa yang ada Mas Joko-nya, sangat-sangat terlihat kalo Mas Joko anti pejabat yang beruntang janji. Ini juga terlihat dari tweetMas Joko di Twitter yang ngga hentinya-hentinya mengkritik pemerintah.

Momen proses produksi film ini juga bertepatan dengan Pemilihan Presiden tahun 2014, kemaren. Dimana Mas Joko dengan lantang dan tegas mendukung Jokowi-JK kala itu. Nah yang jadi pertanyaan gue adalah, (1) Apakah film ini dibuat bertepatan dengan momen pemilihan presiden, dimana Mas Joko terinspirasi dari salah satu calon presiden yang memiliki ketrkaitan kuat dengan kasus 1998? Atau (2) cerita film ini sudah dibuat lama, hanya secara kebetulan momen yang pas saat pemilihan presiden? Jawab dong Mas Joko.

Teka-tekinya udah ya, gue akan mencoba memberi penilaian terhadap film ACMM.

Visual film ACMM seperti dokumenter kalo menurut gue, dari warna dan shoot-shoot yang diambil. Banyak close up bahkan extreme close up. Kamera moving yang mem-follow objek juga banyak. Sesekali gue suka, cuma kalo keseringan jadi pusing juga. Sepertinya gue paham maksudnya disini, bahwa kita (penonton) diajak lebih dekat dengan tokoh. Baik Siti ataupun Alek. Karena garis besar film ini yang menceritakan masyarakat bawah, gambar soal kemiskinan, anak terlantar, sebagai sisipian  atau transisi juga banyak. Ini gue suka. Inilah Indonesia, mungkin tepatnya Jakarta.Angle pengambilan gambar sangat beragam, tidak hanya satu atau dua titik. Penonton tidak akan bosan, gue yakin.

Gue juga suka transisi musik. Mungkin bukan trasisi, tapi perpindahan suasana dari sepi tiba-tiba berpindah ke tempat rame. Bener-bener membuat penonton terkejut.Nah tapi, apa ini menurut gue doang ya. Kok kayaknya tempat kosan Alek, adalah rumah yang sama, sama rumahnya Rio Dewanto yang di Filosofi Kopi. Terasa sangat familier. Iya ngga si?
Gue puas dengan wardrobe dan makeup yang bisa buat Sari jadi beneran orang pinggiran. Cuman kok rasa-rasanya, Tara Basro menurut gue kurang ‘greget’ ya. Beda sama Sekar Sari yang memerankan sosok Siti. Gue masih heran, kok bisa ya dapet Pemeran Utama Wanita terbaik di FFI kemaren. Tapi siapa gue, yang ngga ada tandingannya sama juri. Kalo Ciko mah ngga usah ditanya. Gue selalu suka dia jadi apapun. Apalagi kalo karakter cowok keras, maco, suka berantem dan yang pasti pemberontak.

Alek yang ngga punya KTP, seperti sebuah realitas  bahwa masih banyak rakyat di negeri ini yang ‘seakan’ tidak dianggap. Sebenarnya ada banyak realita-realita disampaikan dalam film ini, termasuknya usaha dvd bajakan yang ngga pernah surut.

Kira-kira durasi film ACMM sekitar 2 jam. Cukup panjang. Alurnya juga terlalu lambat. Di awal gue sempet ‘agak’ bosen. Terlalu bertele-tele. Ya walaupun adegan sensual tadi jadi penyemangat. Loh. Bukan itu maksudnya. Itu cuma bumbu-bumbu dari film ini. Toh yang nonton dan banyak diputer juga di luar negeri kan? Jadi ya gue paham sih.

Kalo boleh jujur, dengan banyak respon orang yang suka sama film ini, kok rasa-rasanya gue kurang puas ya. Padahal yang bikin gue semangat nonton adalah testimoni Goenawan Mohamad, yang bilang film ini menakjubkan. Tapi kok gue engga ya. Gue kecewa sama Mas Joko. Tapi jangan khawatir Mas, apalah gue yang hanya satu penonton yang tak puas dari sekian banyak yang memuji film karya Mas Joko.

Ending yang Mas ciptakan, membuat gue setidaknya harus tau kelanjutan dari kisah Sari. Bagaimana kelanjutan buramnya politik negeri ini yang Mas ingin perlihatkan.

Oya, dari pengambilan gambar di ACMM gue seakan merasa kalo penonton diajak untuk fokus ke tokoh Sari dan Alek. Coba lihat, gambar tokoh lain selain pemeran utama diambil hanya beberapa detik. Sekelebat. Ditambah kadang tidak fokus atau lighting. Kayaknya ingin menciptakan ruang gerak yang sempit untuk mengenal tokoh lain. Kecuali, Bude ibu kosan Alek.

Pesan  yang gue dapet dari film ACMM ini adalah potret betapa tidak adilnya hidup di Indonesia. Betapa tragisnya ketika rakyat melolong mendukung mati-matian tokoh yang ia pilih untuk memimpin agar bisa merubah nasibnya, ternyata ia lah yang merebut kebahagian rakyat bahkan yang turut andil dalam ‘nasib buruk’ yang menimpa rakyat tersebut. Ternyata ada banyak permainan politik di dalam negeri yang katanya menjunjung tinggi Demokrasi Pancasila.

Okey Mas Joko, gue tunggu bagaimana Mas Joko merepresentasikan politik di negeri ini dalam kelanjutan kisah Sari. Tapi maaf ya Mas, gue cuma bisa kasi 7/10 buat rating dari ACMM.

Ditunggu film selajutnya Mas Joko!


Tuesday, February 9, 2016

Chef



Hari sabtu yang lalu, akhirnya niat untuk menyelesaikan film Chef terpenuhi. Film yang udah di copy semenjak zaman belum mengenal perihnya revisi skripsi.

Pengetahuan soal film hollywood gue sangat rendah. Jadi, dalam menceritakan sedikit tentang Chef ini gue sangat dibantu dengan beberapa artikel berita yang gue baca dari internet. Nah, mohon dimaklumi keterbatasan ini. Hehe

Chef adalah film karya Jon Favreau yang juga berperan langsung menjadi pemain utama film ini. Buat kalian penggemar Sherlock Holmes (gue ngga termasuk), pasti langsung kenal sama dua bintang yang main di film Chef. Keduanya adalah Robert Downey Jr. dan Scarlett Johansson. Tapi tenang, di Chef mereka tidak memecahkan kasus pembunuhan nan rumit. Dalam film Chef ini, kalian akan disuguhkan dengan kelezatan dan keindahan makanan.

Carl Casper (Jon Favreau) adalah seorang chef yang bekerja di sebuah restoran milik Riva (Dustin Hoffman). Carl  Casper memiliki seorang anak laki-laki semata wayang bernama Percy (Emjay Anthony) dari mantan istrinya Inez (Sofia Vergara). Konflik dimulai dari tulisan seorang kritikus makanan, Ramsey Michel (Oliver Platt) di blog pribadinya. Ia bahkan menyebarkan tulisannya tersebut didunia maya, hingga anak Carl tau.

Tertarik membalas penghinaan tersebut di media sosial, carl akhirnya meminta tolong pada anaknya untuk membuatkannya akun twitter. Carl yang mengira, ia mengirimkan direct message ke akun twitter Ramsey, ternyata ia mengirim memposting langsung dengan me-mention orang yang bersangkutan. Dalam sehari banyak mem-follow akun @CarlCasper_Chef dan me­-retweet postingan Carl. Ia sendiri kaget.

Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, ia kemudian dipecat oleh Riva karena tidak mau mengikuti keinginan yang owner restoran masalah menu yang akan disajikan.

Di sisi lain, kehidupan pribadinya juga tidak berjalan mulus. Carl yang sudah pisah dari sang istri harus menyiapkan waktu di akhir pekan untuk sang anak semata wayang. Carl adalah sosok ayah yang kaku. Ia bahkan tidak memperbolehkan Percy, untuk ikut memasak bersamanya. Ia juga tidak mau menuruti segala saran Inez yang ingin carl hidup yang lebih baik setelah keluar dari pekerjaannya.

Mereka, Carl, Inez dan Percy akhirnya memutuskan berlibur ke sebuah pulau dimana Percy dilahirkan. Disini Carl menemukan semangatnya kembali. Dengan bantuan Marvin (Robert Downey Jr.) yang merupakan mantan suami dari mantan istrinya, Carl memodifikasi kembali truck yang akan digunakan untuk sebuah restoran berjalan. Istilah kerennya, Food Truck. Dibantu oleh anaknya dan teman Carl. Martin (John Luguizamo) mereka merintis food truck dengan melakukan perjalanan dari Miami menuju Los Angeles. Berkat inisiatif sang anak yang melakukan promosi lewat twitter, Food Truck ‘El Jefe Cubanos’ dengan Chef Carl sebagai Chef handal diserbu oleh banyak pengunjung saat mereka berhenti di suatu tempat.

Banyak keseruan yang mereka alami disepanjang perjalanan, termasuk hubungan Carl dan Percy yang semakin membaik. Percy juga terlibat langsung saat memasak makanan.

Sebagai seorang produser dan sutradara terkenal akan film-film superhero, Jon Favreau menawarkan Chef sebagai film drama komedi yang menurut gue cukup menarik. Ternyata makanan bukan hanya soal perut, tapi lebih dari itu ada banyak rasa dan emosi yang dilimpahkan dalam sebuah makanan yang dibuat oleh Sang Chef.

Di film ini gue juga melihat adanya ikatan emosi dari seorang ayah dan anak. Awalnya gue sanksi kenapa judulnya Chef, padahal yang diceritan lebih kepada hubungan sang Chef sendiri ketimbang makanan itu. Tapi gue salah. Menjadi seorang Chef, lagi-lagi gue katakan bukan soal makanan semata tapi juga rasa. Rasa bagaimana ketika makanan itu bisa tersaji di meja makan.

Chef menurut gue seperti seorang seniman, yang karyanya tidak bisa diatur akan kemana dan seperti apa. Idealisme-nya sama. Mereka berkarya atas apa yang mereka mau, bukan yang pasar mau.

Isi cerita Chef banyak mengadopsi budaya Spanyol, mulai dari musik, bahasa, dan adat. Bertabur banyak bintang, film ini menurut gue cukup memberikan hiburan dan tentu membuat kita (penonton) jadi laper mata. Pengen sekali rasanya mencoba masakan yang dibuat oleh Chef Carl.

Durasinya agak lama, dengan konflik yang menurut gue tidak terlalu besar. Hanya sebatas, komentar makanan, pengembalian semangat untuk berusaha dan memperbaiki hubungan ayah dan anak. Tapi ini film yang ringan.

Pesan yang gue dapet dari film ini adalah kita ngga boleh mengabaikan orang-orang sekitar kita untuk fokus terhadap satu hal. Carl yang (dulunya) mengabaikan sang anak dan istri, bahkan di akhir ia terbantu dengan dukungan mereka. Jadi inget mama sama bapak di rumah, yang kadang gue lupa bales smsnya karena (sok) sibuk kerja. Huft.

Dan satulagi, gue jadi tertarik berbinis makanan setelah nonton film ini. Haha. Buat Chef gue kasi 7.5/10. Yeah!


Thursday, February 4, 2016

Siti yang Istimewa



Semenjak tau Siti menduduki tahta tertinggi Festival Film Indonesia 2015 sebagai Film Terbaik, gue langsung penasaran pengen nonton Siti. Judulnya yang juga sangat biasa, buat gue tambah penasaran.

Hari Minggu kemaren, gue dan temen gue akhirnya berkesempatan nonton Siti di salah satu bioskop di Bandung. Kita bela-belain menerebos hujan cuma buat nonton Siti. Cuma buat sampean, mbak Siti.

Kaget pas pesen tiket, kursi baru terisi satu orang. Nambah kita berdua, jadi dua orang. Padahal pintu teater udah dibuka. Ya, walaupun ditengah-tengah film diputer, dateng tiga orang lagi. Tetep aja, Film Indonesia sebagus Siti cuma di tonton 6 orang aja di bioskop. Di banding film horor semi bokep Indonesia yang ngga paham lagi gue alurnya kayak gimana.

Kita fokus ke Siti aja ya.

Gue udah jatuh cinta dengan film Siti sejak 10 menit pemutarannya. Film Siti ber-setting di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Siti mengisahkan seorang perempuan, bernama Siti (Sekar Sari) yang hidup di pinggiran Pantai Parangtritis bersama sang suami, Bagus (Ibnu Widodo) dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur Widodo).

Bagus mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat melaut, yang membuatnya ngga bisa bangun dari tempat tidur. Sedangkan Bagas, siswa SD yang menurut gue anak yang cerdas. Cerdas bukan karena dapet nilai matematika 5, tapi dia tau kalo makan ngga boleh bicara. Anak sekarang kan kalo makan mainan hp. Dan Siti, Siti adalah wanita yang hebat.

Siti harus bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar utang suaminya. Pagi hingga siang hari Siti berjualan peyek, sedangkn malam harinya ia bekerja di sebuah karaoke. Semenjak Siti bekerja menjadi pemandu karaoke, Bagus ngga mau bicara dengan Siti. Sama sekali. Lucunya, gue melihat akting Bagus disini bagus banget. Bahkan tanpa berbicara ia mampu menghantarkan emosi yang ia ingin sampaikan kepada Siti dan kepada Penonton.

Siti sama sekali ngga merubah niatnya untuk berhenti bekerja di karaoke. Karena hanya dengan ini, iya mampu melunasi utang sang suami.

Bekerja di karaoke, Siti bertemu dengan Mas Gatot. Laki-laki yang begitu mencintai Siti dengan segala polemiknya. Mas Gatot bahkan beberapa kali meminta Siti meninggalkan suaminya dan menikah dengannya. Inilah konflik yang berusaha dibangun dalam film ini. Siti yang dihadapkan dengan pilihan, tetap menjaga sang suami atau justru hidup ‘layak’ dengan Mas Gatot yang seorang polisi.

Eddie Cahyono, sang sutradara menyuguhkan sesuatu yang sangat tidak biasa dalam Film Siti. Pertama, Film Siti ditayangkan dengan warna hitam putih. Bukan tanpa alasan, warna hitam putih yang disajikan Film Siti sebenarnya dilatarbelakangi keterbatasan dana. Bahkan karena maslah finansial yang dihadapi Siti, sampai-sampai film ini ngga mampu menyewa peralatan lighting yang memadai. Sehingga Ediie, memutuskan untuk menjadikan film Siti berwarna hitam putih.

Dan yang gue baca dari salah satu berita online, perlengkapan kamera yang digunakan untuk menggarap Film Siti sangat terbatas. Eddie bersama sang produser, Ifa Isfansyah tidak menganggap itu sebuah kekurangan. Karena menurut mereka, kejujuran adalah hal yang terpenting dalam penggarapan film.

Terbukti, keterbatasan dana tidak mengurangi kualitas Film Siti. Justru menurut gue, warna hitam putih dan banyak shot kamera yang follow shot membuat film ini keren. Siti terlihat jujur dan begitu sederhana.

Seni dalam film Siti juga terletak pada rasio gambar, 4:3 bukan seperti film biasa yaitu 16:9. Menurut artikel yang gue baca ini karena, Mas Eddie ingin "mendekatkan" kehidupan Siti kepada penontonnya, sekaligus menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti.

Selanjutnya kesuksesan Siti ngga terlepas dari pemeran Siti-nya sendiri, yaitu Sekar Sari. Gue akui, akting Sekar memerankan Siti begitu luar biasa. Gue sempet kepo, siapa sih sosok Sekar Sari ini. Dan yang gue dapet hasilnya sangat mengejutkan. Sekar Sari adalah orang Yogyakarta asli yang kini sedang menempuh pendidikan dance kontemporer di Hungaria. Wow. Dari kecil Sekar memang hobi menari. Ia juga adalah satu finalis ajang Putri Jogja gitu. Jadi sosok yang gue tonton, yang mampu berperan sebagai ibu-ibu muda yang ndeso ternyata memiliki prestasi yang luar biasa.

Sayangnya Sekar tidak masuk dalam nominasi aktris wanita dalam ajang FFI. Padahal bila dibandingkan dengan aktris nominasi yang lain, Sekar tentu tidak bisa dianggap remeh. Memerankan Siti, sangat sulit menurut gue. Ia harus merubah dengan cepat ekrpresi wajahnya dalam kondisi apapun. Ditambah, Siti adalah film panjang layar lebar pertama Sekar. Sungguh keren sekali mbak Sekar ini. Tapi kabar gembiranya, Sekar berhasil menuai pujian dari banyak penonton dan diganjar penghargaan Best Performance dalam Singapore International Film Festival ke-25 pada Desember tahun lalu.

Oya, sebagai tambahan informasi, ternyata Sekar bukanlah pilihan pertama pemeran Siti. Ia tidak lolos casting sebagai pemain utama. Namun karena aktris yang terpilih memerankan Siti mengundurkan Siti, pilihan Mas Eddie jatuh kepada Sekar.

Kemudian ada Mas Gatot (Haydar Saliz) yang membuat film ini semakin hidup. Berperan sebagai orang ketiga, Mas Gatot mampu mengaduk emosi penonton. Bahkan ia dan Sekar melakukan adegan vulgar tapi lolos sensor. Haha.

Selanjutnya yang mebuat film ini menarik juga adalah akting dari teman-teman Siti (maaf gue lupa namanya). Dengan logat jawa yang khas, mereka mampu menjadi sosok yang pas ada disamping Siti.

Bagas, anak Siti yang bercita-cita menjadi pilot juga tidka boleh dilupakan. Walaupun kata temen gue, aktingnya ngga bagus, tapi di mata gue Bagas berhasil memerankan anak yang berasal dari keluar ‘kurang mampu’ yang begitu polos. Semua adegan yang dilakukan Bagas terasa real bagi gue. Saat Bagas mandi, mau berangkat sekolah, nonton layar tancep, naik sepeda, dan semuanya.

Proses shoting Siti cuma membutuhkan wakyu 6 hari, dengan budget hanya 150 juta rupiah. Wow. Film berkualitas dengan biaya murah. Keren Mas Eddi!

Menurut gue Siti adalah Film yang sangat sederhana. Mulai dari cerita, plot, alur dan setting-nya. Yang membuat cerita Siti begitu kuat, adalah pengorbanan Siti untuk suaminya namun di akhir ia harus menelan pil pahit ketika Siti bercerita soal Mas Gatot yang ingin menikahinya, Bagus malah membolehkannya. Siti kecewa.

Pengorbanannya selama ini tidak membuat Bagus mempertahankan dirinya. Dan saat Bagus menjawan pertanyaan Siti, inilah dialog pertama dan terakhir Bagus dalam film.

Gue ‘seakan’ mengerti apa yang Siti rasakan. Saat kita telah berkorban demi orang yang kita cintai, dia bahkan merelakan kita bersama orang lain. Tanpa perlawanan. Hancur hati Siti, yang mati-matian menjaga hatinya.

Melihat dari sudut pandang Bagus. Menurut gue, Bagus hanya ingin yang ‘lebih baik’ untuk Siti.

Cinta begitu rumit.

Dan lagi-lagi bagusnya dari Film Siti, adalah tidak adanya karakter yang bener-bener baik ataupun jahat sekalipun. Siti mampu begitu baik dan kadang kala kata-kata kasar terlontar dari mulutnya.

Pengorbanan Siti dan kisah cintanya sama sekali tidak klise. Bahkan ini terlihat seperti doku-drama. Sangat real. Bahwasannya memang benar ada kisah hidup seperti Siti di negeri ini. Di tengah kemiskinan, seorang perempuan harus berjuang menghidupi keluarganya dengan cara apapun. Disisi lain, pengorbanan itu sepertinya tidak berarti apa-apa bagi sang suami.

Gue hampir tidak menemukan cacat sedikit pun dari film ini. Seharusnya mungkin ada, atau gue yang tidak terlalu kritis. Gue cuma menyayangkan, jumlah penonton yang sangat tidak masuk akal. Film sebagus Siti ngga ada yang nonton. Dari sini terlihat bagaimana selera tontonan masyarakat negeri ini.

Semasih film ini di bioskop, gue sarankan kalian untuk segera menonton. Film berkualitas jangan dilewatkan begitu saja.

Dari film ini gue seperti mendapat gambaran betapa susahnya sekaligus muliannya menjadi seorang wanita.

Mas Eddie, mungkin sepemikiran dengan gue. Ia menampilkan sosok Siti seperti Yogja tempat tinggalnya, yang sederhana tapi istimewa.

Ditunggu film keren selanjutnya, Mas!