Monday, August 25, 2014

Babel, Kisah Dramatis Tiga Benua

Minggu, 2 Juni 2013 pukul 23.18


Mengangkat empat kisah dramatis di tiga benua, Babel (2006) berhasil mengkoyak-koyak emosi penonton dengan film yang ber-genre drama. Alur yang maju mundur, serta keberanian sang sutradara memotong adegan demi adegan dengan setting yang sangat berbeda membuat film ini menjadi agak rancu. Namun, diakhir cerita dapat ditarik dengan jelas benang merahnya yang ternyata konflik-konflik yang terjadi pada film saling keterkaitan. Penasaran? Mari simak seklemit ceritanya.
                                                            
Adegan diawali dengan kisah dua orang kakak beradik di sebuah daerah tandus perbukitan gurun pasir, Maroko. Dengan polos Yossef (Boubker Ait El Caid) dan Ahmed (Said Tarchani) menunjukan kebolehan mereka menggunakan senjata api yang baru saja dihadiahi ayahnya, Abdullah (Mustapha Rachidi). Namanya saja anak-anak, setelah tidak puas menembaki karang bebatuan, mereka bertaruh siapa yang mampu menembak target dari kejauhan dan tepat sasaran. Hingga akhirnya, sebuah bus berhenti tak lama setelah saat salah satu dari mereka menembak bus dari arah bukit. Sesuatu hal yang tidak pernah terbayang pada bocah pengembala kambing terjadi.

Cerita berlanjut ke San Diego. Seorang pengasuh wanita asal Meksiko yang memberanikan diri  bekerja menjadi pengasuh anak di sebuah rumah. Kekhawatiran terjadi ketika majikannya yang sedang berlibur memberi kabar tidak bisa pulang hari itu, karena ada insiden di tempat mereka berlibur. Sedangkan keesokan harinya, Amelia (Adriana Barzza) harus pulang untuk menghadiri pernikahan putranya. Dan akhirnya, Amelia nekat membawa dua orang anak majikannya pergi ke Meksiko dengan menumpang mobil keponakannya, Santiago (Gael Garcial Bernal). Mereka sama sekali tidak terbayang resiko apa yang dihadapi setelah ini.

Di saat bersamaan, sepasang suami istri, Richard (Brad Pitt) dan Susan (Cate Blanchett) sedang berlibur guna memperbaiki hubungan mereka yang akhir-akhir ini renggang. Kepanikan muncul saat mereka dikejutkan dengan peluru nyasar yang menembus bahu Susan.

Jauh di Negeri Sakura, seorang gadis remaja Chieko (Rinko Kikuchi) dilengkapi ketidaksempurnaan pada dirinya, yakni bisu dan tuli. Sang Ayah, Yasujhiro (Koji Yakusho) sangat prihatin dengan sifat anaknya yang sensitif dan pemberontak. Saat kecil, Chieko telah dihadapkan dengan kematian tragis sang ibu. Kemudian sang ayah yang lebih sering di luar rumah ketimbang mengurusi putrinya. Chieko juga moody apabila disinggung masalah keperawanan dan merasa terkucilkan diantara teman-temannya.

Nah, alur cerita yang terputus-putus serta konfliknya yang komplek sesaat membinggungkan. Terutama bagi penonton yang menonton film ini sendirian, sebaiknya jangan. Karena kemungkinan, kamu akan didera kebosanan diawal-awal cerita.

Cerita pun berlanjut dan diketahui bahwa yang tertembak adalah Susan yang anak-anaknya sedang tersesat ditengah padang tandus. Kejadian ini dikarenakan Amelia dan keponakannya dicurigai oleh polisi, sehingga Santiago memilih kabur dan meninggalkan mereka di perbatasan. Pada adegan ini terasa sangat dramatis, karena Amelia harus melindungi kedua anak majikan yang telah dianggapnya anak sendiri. Bahkan Amelia sempat di borgol polisi saat mencari bantuan.

Chieko lebih gila lagi. Karena merasa dikucilkan oleh teman-temannya, Chieko membuka pakaiannya dihadapan seorang detektif bernama Kenji Mamiya (Satoshi Nikaido). Chieko bahkan memaksa Kenji menyentuh bagian tubuhnya. Namun Kenji berhasil menyadarkan Chieko untuk tidak terpengaruh pergaulan bebas dan persepsi teman-temannya. Diketahui akhirnya, ayah Chieko’lah yang menyelundupkan senjata api hingga sampai ke tangan penjual senjata di Moroko. Hingga akhirnya senjata itu jatuh ke tangan dua bocah tadi.

Walaupun mereka berada pada tempat yang jauh berbeda, namun mereka sama-sama dihadapkan pada masalah yang akhirnya menyatukan mereka. Konflik pararel yang dihidangkan sang sutradara (Alejandro Gonzalez Iñárritu) mampu menggiring penonton hingga akhir cerita.

menurut berbagai referensi, Barbel sendiri adalah sebuah menara bernama "Menara Barbel" yang dimana pembangunan menara tersebut diperkirakan tingginya mencapai surga. hingga akhirnya menara itu roboh dan memecah manusia ke dalam kelompok hidup yang berbeda bahasa dan budaya.

saya sendiri pertama kali melihat genre film drama seperti Babel. sutradara dengan apik mampu mengaitkan kisah satu tokoh di tempat berbeda dengan tokoh yang lainnya. pesan yang saya tangkap dari film ini, ya setiap manusia di berbagai belahan dunia sekalipun memiliki masalahnya sendiri, yang berbeda adalah penyelesaiannya.

Di Maroko polisi mungkin sering bertindak gegabah, dengan memukul lelaki tua hingga menyarangkan peluru pada anak kecil. tapi di negeri itu masih ada penduduk yang berbaik hari menolong orang asing yang belum dikenalnya. Atau mungkin di San Diego polisi sangat ketat memerikasa kendaraan yang masuk terutama bagi penduduk ilegal yang belum terdaftar. dan kebebasan seks di Jepang yang menjadikan seorang remaja minder apabila belum pernah melakukan hubungan seks.

Baiklah. Semua kejadian dalam hidup dan kehidupan sebenarnya berawal dari manusia itu sendiri. Beberapa hal yang dikatakan baik belum tentu benar dan sebaliknya.

No comments:

Post a Comment