Rabu, 13 Maret 2014 pukul 02.52
“.....
Lenyaplah tawa
Raiblah canda
Oh nestapa Aceh dalam nyeri dan perih kami
Jangan kalian cari lagi dimana Meulaboh
Jangan kalian tanya dimana Banda Aceh
Dimana Calang, Teunom, Lamno, Lhokseumawe, Bireun, Sigli..
Peta-peta telah koyak terlipat dalam gulungan laut...”
(Puisi dikutip dari Film Aceh Lon
Sayang)
26 Desember
2004
Gempa tektonik 8.5 SR mengguncang Banda Aceh disusul dengan Gelombang laut
menyasar daratan setinggi 30 meter. Ribuan penduduk berlarian mencari tempat
aman, tak sedikit yang bertahan di atas atap rumah mereka. Seketika, tsunamai
mampu memporakporandakan Banda aceh, Lamno, Lhokseumawe dan sekitarnya. Gempa
dan Tsunamai ini merupakan bencana yang paling dahsyat dialami Bangsa
Indonesia.
Menurut Tengku Reza Indria (Seorang Seniman dalam
Film Aceh Lon Sayang), Aceh memang tak pernah sepi dari konflik. Tidak hanya
dengan Indonesia, bahkan dengan suku-sukunya sendiri selalu ada kesenjangan.
Mereka yang tak pernah luput dari rasa takut, permusuhan dan pertentangan.
Hingga akhirnya tsunami datang yang membuat warga aceh benar-benar tenggelam
dalam trauma berkepanjangan.
Beruntung, banyak pihak yang juga merasa iba melihat
banyaknya korban tsunami Aceh ditambah penanganan dalam negeri yang lamban.
Negara di Eropa termasuk badan PBB langsung turun untuk memberi bantuan bahkan
tim relawan. Perlahan, Aceh akan mampu memulihkan diri dan membangun kembali
daerahnya.
Senyuman anak-anak Aceh kembali terlihat, Munawar
salah satu bocah beruntung yang selamat dari bencana. Walau mereka mungkin tak
akan pernah lupa apa yang telah mereka alami, menghilangkan anggota keluarga
mereka, tempat tinggal bahkan masa depan untuk bisa bersekolah.
Tengku Abdul Razak (Pengasuh Dayah dalam Film Aceh
Lon Sayang) sangat menyadari bahwa ujian yang Tuhan berikan adalah semata-mata
untuk menguatkan hamba-Nya. Keinginannya hanya agar anak-anak asuhannya dapat
tumbuh, mengeyam pendidikan, dan hidup dengan layak.
Saat pengambilan gambar film ini kira-kira dua bulan
setelah bencana, Aceh masih terlihat seperti Kota Mati. Hanya ada beberapa
Posko Bantuan yang letaknya berjauhan. Bangunan masih luluh lantak dan banyak
korban yang masih berada dibawah reruntuhan.
Tapi kini, Banda Aceh telah tumbuh menjadi Kota
besar. Pembangunan dan perbaikan semakin menata kota yang pernah dihantam
bencana dahsyat.
Sutradara berhasil mengoyak emosi penonton dalam film
garapannya. Memunculkan video amatir bagaimana peristiwa itu terjadi.
Mengkombinasikan dengan budaya Aceh yang lekat dengan nilai religi.
Memperlihatkan anak-anak korban tsunami yang telah mampu menyingkirkan trauma
kehilangan keluarga.
Menurut gue sendiri, film ini adalah sebuah cerminan.
Titik balik dari bagian suram kehidupan. Karena tak selamnya hidup berjalan
mulus tanpa cobaan, tanpa penderitaan. Disinilah manusia mulai belajar. Belajar
mengingat Sang Pencipta. Belajar sebuah keikhlasan. Mungkin bila gue ada disitu
dan menjadi salah satu korban, gue ngga tau akan gue apakan hidup gue esok.
Tapi mereka berhasil. Membalikan bagian suram hingga
terlihat terangnya. Tak peduli apa yang pernah terjadi dulu. Kini, mereka dan
Aceh sudah tumbuh menampaki hidup yang baru.
No comments:
Post a Comment