Rabu, 20 Maret 2013 pukul 02.04
Disudut kamar
petak berukuran sedang lengkap dengan sebuah jendela tanpa gorden, seorang
lelaki dewasa berumur hampir 30 tahun bersender pada dipan yang merapat ke
tembok biru. Ada sebuah lampu beralas meja yang sengaja diletakan dipinggir
tempat tidur dengan cahaya menyorot objek pandangnya. Sebuah asbak serta
ceceran puntung rokok juga meramaikan isi meja. Kebiasaan merokok, baru-baru
ini mewabah pada pria ini. Sebuah buku Tetralogi Dangdut karya Putu Wijaya
berjudul Nora, memfokuskan perhatiannya. Selain kebiasaan merokok, pria ini
juga baru disengat demam buku absurdisme. Cerita yang mengedepankan imajinatif,
alam bawah sadar dan tokoh-tokohnya teralienasi.
Menuju ke
halaman 98, terdengar suara bocah berlari mendekati kamarnya. Tak butuh waktu
lama, pintu terbuka. Terlihat seorang bocah laki-laki menengokkan kepalanya
dibalik pintu sambil tersenyum lebar pada pria tadi. Seyumnya seperti
mengisyaratkan permohonan ijin untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa pikir panjang,
pria tadi langsung membalas senyum sambil menganggukan kepalanya. Layaknya
bocah yang masih berumur lima tahun, ia pun berlari kegirangan menghampiri pria
tadi sambil membawa sebuah majalah anak-anak. Pria tadi meletakkan bukunya, dan
menarik badan bocah laki-laki itu untuk duduk dipangkuannya.
“kenapa belom tidur bang?” tanya pria itu.
“ia pa, aku kan ngga
bisa tidur kalo lampunya mati” jawabnya cengegesan.
Ini berlanjut
kesebuah percakapan antara ayah dan anak.
“mbok Nah mana?”
“papa gimana si.
Kan semenjak mbok kenal sama tukang
kebun depan rumah tiap malem dia telpon-telponan pa. Aku di lupain deh”
pengakuan bocah laki-laki itu.
“ Ya sudah, kalo
gitu abang tidur sama papa ya” bujuk pria tadi.
“mauu. Oya pa,
tadi disekolah aku uda diajarin baca tulisan yang ada di majalah lo. Terus aku
dibilang pinter sama ibu guru. Aku bisa baca tanpa ngeja lagi. Hebat kan pa”
cercanya.
“iya kan dulu
uda belajar sama mama. Belajar nulis trus belajar baca. Ntar belajar hitungnya papa yang ajarin”.
“yah papa,
berhitung mah aku uda jago. Hahhaha”
“kalo uda jago,
masih tetep mau belajar kan?”
“mau dong.
Pokoknya mau pinter kayak papa. Kayak mama. Oya pa, tadi ibu guru nyeritain aku
tentang Bintang”
“apa kata bu
guru?”
“bintang itu
salah satu sumber cahaya bumi, trus bintang itu jumlahnya sangaaaat banyak ngga
ada orang yang bisa ngitung. Terus bu guru juga bilang, bintang itu ibarat
surga. Jadi kalo orang yang sudah mati trus masuk surga, tinggalnya di bintang.
Makanya bintang makin hari makin banyak jumlahnya”. Cerocosnya dengan antusias.
“kecuali kalo
ujan. Bintang ditutupi awan” katanya pria itu sambil mengusap rambut anaknya.
“kata papa, mama
orang baik kan?”
“sangat baik”
“berarti mama
masuk surga?”
“iya tentu”
“beraarti mama
tinggal di bintang?”
“mungkin saja”
Bocah laki-laki itu
berjalan mendekati jendela, kemudian menatap langit dari dalam kamar.
“aku rasa mama
yang itu pa. Yang paling terang. Bisa papa merayunya untuk pulang?”
(ini ditulis
saat gue didera kerinduan yang teramat pada mama dalam hubungan Long Distance Relationship,
karena mama jauh di Bali)
No comments:
Post a Comment