Senin, 25 Februari 2013, pukul 00.04
Malam dengan semburan angin kencang beberapa hari yang lalu, memberhentikan niat gue untuk pulang usai rapat. Gue memilih duduk di depan sebuah lobby kampus. Sembari menekuk tangan, mengurangi dinginnya udara yang masuk ketubuh, obrolan kecil pun dimulai.
Malam dengan semburan angin kencang beberapa hari yang lalu, memberhentikan niat gue untuk pulang usai rapat. Gue memilih duduk di depan sebuah lobby kampus. Sembari menekuk tangan, mengurangi dinginnya udara yang masuk ketubuh, obrolan kecil pun dimulai.
Seseorang dari mereka bercerita dengan suara lantang.
Sosok tubuh yang tinggi, kurus dengan kumis tipis mengkritik kebobrokan sistem kampus. Dia seakan punya banyak pengalaman, mencela satu
persatu dosen yang dianggap memiliki cara mengajar yang “ngga becus”. Lantas
orang lainnya, mereka seakan menjadi pendengar setia. Walau sesekali berpendapat,
apabila tingkah laku si pria itu dianggap berlebihan. Termasuk gue. Gue
menemukan sesuatu yang unik disini. Mari kita lanjutkan ke paragraf
selanjutnya.
Si pria itu sebenarnya pimpinan gue disalah satu
media kampus. Gue kenal dia sebagai sosok pemimpin yang tegas, berani, walau
terkadang agak semena-mena. Tapi dia beruntung, dia memiliki keberanian
berpendapat walau semua orang mencelanya. Dia berani berbeda, asal sesuai
kehendak hatinya. Gue melihat semangat yang seharusnya dimiliki mahasiswa
disitu. Seperti Hok Gie, mahasiswa sastra Universitas Indonesia yang berani
menentang razim pemerintah yang
dianggap melenceng dari Pancasila. Mahasiswa engga seharusnya di didik hanya
beorientasi pada bisnis dan uang.
Gue sendiri mencerna beberapa kata yang pria itu
ucapkan. Mengkaji, dan mencocokan dengan pengalaman yang gue dapat. Dan
ternyata, emang bener. Di jurusan yang gue ambil, kurang dari 50 persen materi
yang gue dapati sesuai. Sisanya, matakuliah pelengkap dengan kualitas dosen
yang jauh dari kata standar. Bukan maksud menghujat, tapi sebagai mahasiswa gue
rasa berhak bersikap kritis.
Bahkan kata yang gue inget dari ucapan pria itu, ia
menganggap kuliah disini sebuah “pengisian waktu luang”. Dia juga mengatakan,
gue ngga butuh nilai a dengan mohon-mohon sama dosen. Seandainya pun gue ngga
lulus sidang skripsi, ya gue terima. Gue cuma butuh orang yang menghargai
setiap karya gue. Dan kampus yang seharusnya menyediakan dukungan moral serta
materil buat gue’pun ngga bisa berbuat banyak.
Dalam hal ini, gue sependapat dengan pria itu. Gue
juga uda melakukan perlawan untuk dosen yang gue anggap melenceng. Walau akhirnya, gue harus menerima ganjaran dari
perlawanan itu. Disinilah gue merasa seperti mahasiswa. Yang ngga cuma duduk
manis, memainkan gadget super canggih
tapi otaknya kosong. Gue mencoba objektif, ngga hanya menyalahkan intansi
pendidik atas masalah ini. Lagian kita masih kampus yang baru, perlu pembenahan
di berbagai bidang. Mahasiswa’lah yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Mengikuti air mengalir seperti ikan mati, dengan menikmati kebobrokan kampus. Atau menjadi ikan hidup yang melawan arus,
dengan berkarya hingga diakui.
Okay, obrolan berakhir karena perut gue uda ngga
sanggup menahan rasa lapar.
No comments:
Post a Comment