Sunday, August 24, 2014

Mahasiswa Berkarya Bukan Sekedar Bicara

Senin, 25 Februari 2013, pukul 00.04

Malam dengan semburan angin kencang beberapa hari yang lalu, memberhentikan niat gue untuk pulang usai rapat. Gue memilih duduk di depan sebuah lobby kampus. Sembari menekuk tangan, mengurangi dinginnya udara yang masuk ketubuh, obrolan kecil pun dimulai.

Seseorang dari mereka bercerita dengan suara lantang. Sosok tubuh yang tinggi, kurus dengan kumis tipis mengkritik kebobrokan sistem kampus. Dia seakan punya banyak pengalaman, mencela satu persatu dosen yang dianggap memiliki cara mengajar yang “ngga becus”. Lantas orang lainnya, mereka seakan menjadi pendengar setia. Walau sesekali berpendapat, apabila tingkah laku si pria itu dianggap berlebihan. Termasuk gue. Gue menemukan sesuatu yang unik disini. Mari kita lanjutkan ke paragraf selanjutnya.

Si pria itu sebenarnya pimpinan gue disalah satu media kampus. Gue kenal dia sebagai sosok pemimpin yang tegas, berani, walau terkadang agak semena-mena. Tapi dia beruntung, dia memiliki keberanian berpendapat walau semua orang mencelanya. Dia berani berbeda, asal sesuai kehendak hatinya. Gue melihat semangat yang seharusnya dimiliki mahasiswa disitu. Seperti Hok Gie, mahasiswa sastra Universitas Indonesia yang berani menentang razim pemerintah yang dianggap melenceng dari Pancasila. Mahasiswa engga seharusnya di didik hanya beorientasi pada bisnis dan uang.

Gue sendiri mencerna beberapa kata yang pria itu ucapkan. Mengkaji, dan mencocokan dengan pengalaman yang gue dapat. Dan ternyata, emang bener. Di jurusan yang gue ambil, kurang dari 50 persen materi yang gue dapati sesuai. Sisanya, matakuliah pelengkap dengan kualitas dosen yang jauh dari kata standar. Bukan maksud menghujat, tapi sebagai mahasiswa gue rasa berhak bersikap kritis.

Bahkan kata yang gue inget dari ucapan pria itu, ia menganggap kuliah disini sebuah “pengisian waktu luang”. Dia juga mengatakan, gue ngga butuh nilai a dengan mohon-mohon sama dosen. Seandainya pun gue ngga lulus sidang skripsi, ya gue terima. Gue cuma butuh orang yang menghargai setiap karya gue. Dan kampus yang seharusnya menyediakan dukungan moral serta materil buat gue’pun ngga bisa berbuat banyak.

Dalam hal ini, gue sependapat dengan pria itu. Gue juga uda melakukan perlawan untuk dosen yang gue anggap melenceng. Walau akhirnya, gue harus menerima ganjaran dari perlawanan itu. Disinilah gue merasa seperti mahasiswa. Yang ngga cuma duduk manis, memainkan gadget super canggih tapi otaknya kosong. Gue mencoba objektif, ngga hanya menyalahkan intansi pendidik atas masalah ini. Lagian kita masih kampus yang baru, perlu pembenahan di berbagai bidang. Mahasiswa’lah yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mengikuti air mengalir seperti ikan mati, dengan menikmati kebobrokan kampus. Atau menjadi ikan hidup yang melawan arus, dengan berkarya hingga diakui.

Okay, obrolan berakhir karena perut gue uda ngga sanggup menahan rasa lapar.

No comments:

Post a Comment