Senin, 18 Maret 2013 pukul 11.12
Embun tidak pernah memilih tumbuhan
mana yang akan ia basahi
Sekalipun rumput
Suket. Ini kata baru pertama kali mampir di telinga
gue. Kata Pak Ipul itu bahasa jawa, yang artinya rumput atau tanaman liar.
Kenapa terlalu banyak bahasa yang membuat kita berbeda. Entahlah.
Cerita dimulai dari seorang seniman wayang, Slamet
Gundono asal Surakarta. Sejak tahun 1999 Gundono mengembangkan Sanggar Wayang
Suket, yang telah lama tenggelam. Dengan menonton Wayang Suket yang ditampilkan
Gundono, ia seakan memadukan seni wayang dan teater. Kreativitas memang
menuntut untuk berkarya beda dari biasa. Menabjubkan.
Walaupun dengan ukuran badan yang bisa dibilang
sangat besar, Gundono mampu dengan lihai memainkan “suketnya”. Selama
sanggarnya didirikan, Gundono telah tampil dari panggung ke panggung yang kini
menjadi sumber utama mata pencahariannya.
Menarik, suket atau rumput yang tak bernilai
disulapnya menyerupai wayang kulit. Disetiap penampilannya, ia membawakan cerita
daerah hingga tokoh pewayangan seperti Bambang Ekalaya. Walau terkesan
banyolan, banyak amanat yang ia sampikan dalam lakon wayang yang ditampilkan.
Ia mampu memadukan budaya tradisional dengan peradaban dunia modern.
Terlepas dari itu semua, suket dalam Budaya Jawa
sangat filosofis. Suket dikenal tanaman yang mandiri karena bisa hidup dimana
saja. Suket yang berwarna hijau mampu memperlihatkan lingkungan yang asri dan
sejuk. Walaupun image kumuh melekat
dalam dirinya, Suket masih bertahan dalam kondisi panas, dingin dan dengan
kondisi yang selalu terinjak.
Jika dikaitkan dengan kehidupan, suket adalah
kesabaran, rendah hati dan mudah beradaptasi. Manusia yang diibaratkan seperti
suket, mampu menahan dirinya dari godaan duniawi, iri dan dengki walaupun
banyak orang yang merendahkannya.
Gundono dan “suket” memiliki ceritanya masing-masing.
Mereka sama-sama bagian dari kehidupan yang pernah lepas dari roda perputaran.
Maknai hidup seperti suket, selanjutnya perjuangkan layaknya lakon pewayangan
Gundono.
No comments:
Post a Comment