Kamis, 7 Maret 2013
Hujan turun rintik, waktu itu.
Dengan menanggalkan semua schedule gue yang uda tertata rapi, tanpa pikir panjang bersama
seorang teman, gue berangkat menuju “pemutaran film indie”. Jauh banget si
engga, cuma konotasi perjalanan gue ini biasa disebut dengan “mau ke kota”.
Secara mahasiswa Telkom menganggap Dayeuh Kolot sebuah desa pinggiran, sudah
ngga asing memang.
Jam tujuh empat puluh lima menit, kami sampai di
sebuah tempat tongkrongan “Anak Bandung” tepatnya di Jalan Sumatra. Kenapa
disebut tempat tongkrongan ya, banyak event berbau anak muda dilakukan disini.
Selain yang tempatnya emang dikemas anak muda banget. Tapi, ada tapinya.
Makanan ataupun minuman yang di jual disini harganya menjulang, ngga sampe
nyekek leher si. Tau lah ya, anak kos pelitnya kek mana. Sama satu lagi,
parkirnya itu lo. Mobil di parkir di dalem area parkir tempat ini, tapi motor
di pinggiran jalan. Mana dempet-dempet, becek. Keliatan aja, ada diskriminasi
pengentara roda dua.
Dari luar, Bober
uda keliatan ramenya. Ngaca dulu di spion, kesempatan ngeceng ini mah. Hahhaa.
Sebelum menampaki pintu masuk, uda ada seorang dengan baju hitam dan kalung
name tag menggantung dilehernya nyuruh gue langsung masuk (heran, gue dikira
mau buka lapak dulu kali ya depan bober ampe disuruh “langsung masuk aja”).
Kalo gue gambarin, jalan masuknya seperti lorong
tanpa dinding. Hanya ada penyangga kayu, dengan lantai etnik keramik. Tepat
disebuah jalan dengan arah agak membelok, tersedia dua meja panitia. Ya,
kewajiban gue sebagai “peserta” harus registrasi dulu. Di area utama, uda rame
sama manusia-manusia penyuka Film Indie. Sama aja, sinergi dari penonton dan
panitia mereka sama-sama ingin menikmati tayangan yang disiarkan pada Layar
besar diatas panggung. Tapi kalo yang make kesempatan ini buat pacaran, mah cuma
menuhin tempat kalo kata gue. Soalnya, ternyata dibelakang masih banyak
penonton yang berdiri ngga dapet tempat.
Selain kursi kayu lengkap dengan meja, yang
disediakan panitia berjejer di bagian taman juga tersedia kursi dan meja kayu
dengan payung diatasnya. Dan tepat di depan pandangan gue, ada tulisan
tertempel di batang pohon “dilarang menginjakak rumput”. Itu bukan gue salah
ketik, tapi si abang Bobernya salah tulis. Pantes masih banyak yang nginjak
rumput. Hahahha.
Walau, temen gue sibuk ngobrol yang gue engga tau
arahnya kemana, gue masih anteng dengan tayangan film pendek yang di puter di
layar. Salah satu film yang menyedot perhatian gue “mepet pacar” dari anak ITB.
Seingat gue, warnanya yang mendominasi disitu warna item. Banyak banget panitia
yang lalu lalang pake baju warna item, termasuk gue.
Seru juga ada tempat kayak gini. Ngga perlu terlihat
kaku dengan ruang-ruang yang bersekat tembok. Tapi, kayu, bambu dan pepohonan
juga mampu membuat kita ngga beranjak untuk berkumpul. Ini seperti harmonisasi
alam, ruang yang nyaman ngga hanya terbentuk dari sekat beton dan semen.
(spesial,
menulis kali ini ditemani pertandingan MU vs Chelsea dengan kemenangan MU 2-0
di babak pertama. Sebagai pendukung setia Chelsea gue kecewa.)
No comments:
Post a Comment