Sunday, August 24, 2014

Beda, Kalo Tempat Nongkrong

Kamis, 7 Maret 2013
Hujan turun rintik, waktu itu.

Dengan menanggalkan semua schedule gue yang uda tertata rapi, tanpa pikir panjang bersama seorang teman, gue berangkat menuju “pemutaran film indie”. Jauh banget si engga, cuma konotasi perjalanan gue ini biasa disebut dengan “mau ke kota”. Secara mahasiswa Telkom menganggap Dayeuh Kolot sebuah desa pinggiran, sudah ngga asing memang.

Jam tujuh empat puluh lima menit, kami sampai di sebuah tempat tongkrongan “Anak Bandung” tepatnya di Jalan Sumatra. Kenapa disebut tempat tongkrongan ya, banyak event berbau anak muda dilakukan disini. Selain yang tempatnya emang dikemas anak muda banget. Tapi, ada tapinya. Makanan ataupun minuman yang di jual disini harganya menjulang, ngga sampe nyekek leher si. Tau lah ya, anak kos pelitnya kek mana. Sama satu lagi, parkirnya itu lo. Mobil di parkir di dalem area parkir tempat ini, tapi motor di pinggiran jalan. Mana dempet-dempet, becek. Keliatan aja, ada diskriminasi pengentara roda dua.

Dari luar, Bober uda keliatan ramenya. Ngaca dulu di spion, kesempatan ngeceng ini mah. Hahhaa. Sebelum menampaki pintu masuk, uda ada seorang dengan baju hitam dan kalung name tag menggantung dilehernya nyuruh gue langsung masuk (heran, gue dikira mau buka lapak dulu kali ya depan bober ampe disuruh “langsung masuk aja”).

Kalo gue gambarin, jalan masuknya seperti lorong tanpa dinding. Hanya ada penyangga kayu, dengan lantai etnik keramik. Tepat disebuah jalan dengan arah agak membelok, tersedia dua meja panitia. Ya, kewajiban gue sebagai “peserta” harus registrasi dulu. Di area utama, uda rame sama manusia-manusia penyuka Film Indie. Sama aja, sinergi dari penonton dan panitia mereka sama-sama ingin menikmati tayangan yang disiarkan pada Layar besar diatas panggung. Tapi kalo yang make kesempatan ini buat pacaran, mah cuma menuhin tempat kalo kata gue. Soalnya, ternyata dibelakang masih banyak penonton yang berdiri ngga dapet tempat.


 Gue sendiri, duduk bareng temen-temen “baru” gue. Kita ngga pernah kenalan secara resmi, tapi kita saling menyaut bila salah satu sedang ngobrol. Lucu juga, kedewasaan ternyata meningkatkan kepekaan berteman walau tanpa “berjabat tangan”.

Selain kursi kayu lengkap dengan meja, yang disediakan panitia berjejer di bagian taman juga tersedia kursi dan meja kayu dengan payung diatasnya. Dan tepat di depan pandangan gue, ada tulisan tertempel di batang pohon “dilarang menginjakak rumput”. Itu bukan gue salah ketik, tapi si abang Bobernya salah tulis. Pantes masih banyak yang nginjak rumput. Hahahha.

Walau, temen gue sibuk ngobrol yang gue engga tau arahnya kemana, gue masih anteng dengan tayangan film pendek yang di puter di layar. Salah satu film yang menyedot perhatian gue “mepet pacar” dari anak ITB. Seingat gue, warnanya yang mendominasi disitu warna item. Banyak banget panitia yang lalu lalang pake baju warna item, termasuk gue.

Seru juga ada tempat kayak gini. Ngga perlu terlihat kaku dengan ruang-ruang yang bersekat tembok. Tapi, kayu, bambu dan pepohonan juga mampu membuat kita ngga beranjak untuk berkumpul. Ini seperti harmonisasi alam, ruang yang nyaman ngga hanya terbentuk dari sekat beton dan semen.


 (spesial, menulis kali ini ditemani pertandingan MU vs Chelsea dengan kemenangan MU 2-0 di babak pertama. Sebagai pendukung setia Chelsea gue kecewa.)

No comments:

Post a Comment